Suara.com - Kebijakan kontroversial Sri Lanka untuk mengkremasi jenazah korban COVID-19 memicu kemarahan umat Islam. Kritikus mengatakan keputusan itu tidak berdasarkan bukti ilmiah dan menargetkan minoritas.
Zeenat-ul-Razaniya sama sekali tidak memiliki kabar tentang jenazah suaminya, Mohammed Hilmi Kiyasdeen, yang menderita gagal ginjal dan meninggal pada 30 November tahun lalu.
Keluarga sebelumnya telah membawanya ke rumah sakit, di mana dia akan menjalani prosedur dialisis.
Namun pihak keluarga terkejut ketika tahu bahwa Kiyasdeen akan dikremasi sesuai dengan peraturan pemerintah Sri Lanka untuk korban meninggal karena komplikasi virus corona.
"Kami tidak diberi tahu laporan apa pun terkait bukti status infeksi virus corona. Dia tidak menunjukkan gejala [COVID-19]. Dia melakukan kontak dekat dengan kami di hari-hari terakhirnya," kata Zeenat kepada DW, menambahkan bahwa dia dan ketiga anaknya terkonfirmasi negatif corona.
"Bagaimana mungkin dia terkena virus? Mereka hanya mengambil paksa tubuhnya," tambah Seenat.
Zeenat lantas meminta intervensi penegak hukum, tetapi hakim justru mendukung kebijakan kremasi pemerintah Sri Lanka.
Keputusan tersebut merupakan pengalaman menyedihkan bagi keluarga Zeenat.
"(Kremasi atau tidak) harus diserahkan kepada kerabat almarhum (untuk memutuskan) apa yang ingin mereka lakukan. Kami bahkan tidak tahu apa yang mereka lakukan pada tubuhnya," kata Zeenat.
Baca Juga: Diklaim Meninggal Kena Serangan Jantung, Ibu Ini Bangun saat Mau Dikremasi
Kebijakan kontroversial pemerintah
Pemerintahan Presiden Gotabaya Rajapaksa mengklaim bahwa mengubur korban COVID-19 yang meninggal dapat mencemari air tanah, meskipun pedoman Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) menetapkan penguburan korban virus corona aman dan tidak menimbulkan risiko.
Kepala Epidemiologi Sri Lanka, Sugath Samaraweera, mengatakan komite ahli memperingatkan pemerintah bahwa penguburan dapat mencemari permukaan air tinggi negara pulau itu.
Beberapa keluarga Muslim dan Katolik, profesional kesehatan, dan pemimpin agama telah menantang keputusan Mahkamah Agung tentang kremasi dan meminta bukti penguburan korban COVID-19 dapat mencemari air tanah.
Pengadilan, bagaimanapun, telah menolak semua petisi tersebut.
"Ini adalah masalah hak asasi manusia. Penguburan diperbolehkan di setiap negara di dunia. Pemerintah harus menjawab mengapa menolak penguburan yang bermartabat bagi warganya yang meninggal," kata Azath Salley, seorang politisi dan mantan Gubernur Provinsi Barat, kepada DW.
"Apakah pemerintah ini menghukum Muslim karena tidak memilih mereka?" dia menambahkan.
Kisah lain yaitu Mohammed Minhaj yang berusia 19 tahun juga dikremasi secara paksa setelah meninggal karena komplikasi COVID-19 pada bulan Oktober lalu, demikian menurut anggota keluarga.
"Minhaj adalah adik laki-laki saya dan dia menderita kelainan bentuk dan kebutaan yang parah," kata Mohammed Mazeer, saudara laki-laki Minhaj, kepada DW.
Mazeer mengatakan pihak berwenang menguji 18 anggota keluarga dan mengkarantina keluarga tersebut.
Pihak berwenang kemudian menuntut 50.000 Rupee Sri Lanka (Rp3,6 juta) untuk mengkremasi jenazah Minhaj.
"Kami takut dan tidak punya pilihan lain. Itu terpaksa kami lakukan," kata Mazeer.
Keluarga mencari keadilan dan menginginkan penyelesaian segera atas masalah tersebut.
Pada bulan akhir tahun lalu, kremasi paksa bayi berusia 20 hari tanpa persetujuan keluarga memicu kemarahan nasional.
Sedangkan kedua orang tua bayi tersebut dinyatakan negatif COVID-19. Ada juga kasus kremasi paksa di mana pihak berwenang kemudian mengakui korban yang meninggal tidak terinfeksi virus corona.
Kasus-kasus seperti itu tidak hanya membuat marah kelompok minoritas Sri Lanka tetapi juga memicu masalah terkait perbedaan agama dan etnis di negara tersebut.
Aktivis hak asasi manusia mengatakan bahwa pemerintah Sri Lanka telah mengadopsi berbagai kebijakan yang mendiskriminasi minoritas Muslim dan Tamil.
"Bagi keluarga yang sudah berduka karena kehilangan orang yang dicintai, pembuangan jenazah secara paksa oleh pemerintah Rajapaksa dengan cara yang bertentangan dengan keyakinan mereka adalah serangan yang keterlaluan dan ofensif terhadap hak-hak agama dan martabat dasar," kata Meenakshi Ganguly, Direktur Human Rights Watch Asia Selatan.
Ketegangan antaragama memuncak
Dalam beberapa tahun terakhir, ada beberapa contoh kerusuhan terhadap masyarakat Muslim di negara tersebut.
Ketegangan meningkat setelah aksi pemboman Paskah 2019 yang mematikan, yang dilakukan oleh kelompok ekstrimis setempat.
Sejak saat itu, perasaan ketakutan dan pembalasan terhadap komunitas Muslim semakin menguat.
Tahun lalu, empat pelapor khusus PBB mengajukan banding ke pemerintah Sri Lanka, menyatakan bahwa kebijakan kremasi melanggar hak kebebasan beragama.
Mereka meminta pemerintah untuk memerangi upaya yang memicu kebencian dan kekerasan agama.
"Kami mengimbau umat manusia untuk menang. Pemerintah harus mengikuti pedoman WHO. Menggunakan aturan ini sebagai tabir asap untuk menganiaya minoritas harus segera dihentikan," kata Azath Salley.
Sri Lanka telah mengalami lonjakan kasus virus corona sejak Oktober 2020. Negara ini telah mencatat lebih dari 65.300 kasus COVID-19 dengan 323 kasus kematian.
Umat Muslim terdiri dari sekitar 10% dari 21 juta total populasi Sri Lanka, tetapi mereka terkena dampak tidak proporsional akibat pandemi, kata Dewan Muslim Sri Lanka. Akanksha Saxena (ha/gtp)
Berita Terkait
-
5 Buronan Kakap Sri Lanka Terciduk usai Ngumpet di Kebon Jeruk Jakbar, Kasus-kasusnya Ngeri!
-
Gembong Kriminal Nomor Wahid Sri Lanka Sembunyi di Apartemen Jakarta, Tertangkap di Kebon Jeruk!
-
Penggerebekan di Apartemen Kebon Jeruk, Buronan Narkoba dan Pelaku Kasus Pembunuhan Diciduk
-
Negara Mau Bangkrut Ini Pilih Bangun Tempat Judi Buat Dongkrak Ekonomi
-
Menyusuri Sri Lanka, Saat Konservasi Satwa dan Ekowisata Tropis Berjalan Beriringan
Terpopuler
- 5 Sepatu Running Lokal Paling Juara: Harga Murah, Performa Berani Diadu Produk Luar
- 7 Bedak Padat yang Awet untuk Kondangan, Berkeringat Tetap Flawless
- 8 Mobil Bekas Sekelas Alphard dengan Harga Lebih Murah, Pilihan Keluarga Besar
- 5 Rekomendasi Tablet dengan Slot SIM Card, Cocok untuk Pekerja Remote
- 7 Rekomendasi HP Murah Memori Besar dan Kamera Bagus untuk Orang Tua, Harga 1 Jutaan
Pilihan
-
Pertemuan Mendadak Jusuf Kalla dan Andi Sudirman di Tengah Memanasnya Konflik Lahan
-
Cerita Pemain Keturunan Indonesia Han Willhoft-King Jenuh Dilatih Guardiola: Kami seperti Anjing
-
Mengejutkan! Pemain Keturunan Indonesia Han Willhoft-King Resmi Pensiun Dini
-
Kerugian Scam Tembus Rp7,3 Triliun: OJK Ingatkan Anak Muda Makin Rawan Jadi Korban!
-
Ketika Serambi Mekkah Menangis: Mengingat Kembali Era DOM di Aceh
Terkini
-
Kondisi Terkini Pelaku Ledakan SMAN 72 Jakarta: Masih Lemas, Polisi Tunggu Lampu Hijau Dokter
-
Duka Longsor Cilacap: 16 Nyawa Melayang, BNPB Akui Peringatan Dini Bencana Masih Rapuh
-
Misteri Kematian Brigadir Esco: Istri Jadi Tersangka, Benarkah Ada Perwira 'W' Terlibat?
-
Semangat Hari Pahlawan, PLN Hadirkan Cahaya Bagi Masyarakat di Konawe Sulawesi Tenggara
-
Diduga Rusak Segel KPK, 3 Pramusaji Rumah Dinas Gubernur Riau Diperiksa
-
Stafsus BGN Tak Khawatir Anaknya Keracunan karena Ikut Dapat MBG: Alhamdulillah Aman
-
Heboh Tuduhan Ijazah Palsu Hakim MK Arsul Sani, MKD DPR Disebut Bakal Turun Tangan
-
Pemkab Jember Kebut Perbaikan Jalan di Ratusan Titik, Target Rampung Akhir 2025
-
Kejagung Geledah Sejumlah Rumah Petinggi Ditjen Pajak, Usut Dugaan Suap Tax Amnesty
-
Kepala BGN Soal Pernyataan Waka DPR: Program MBG Haram Tanpa Tenaga Paham Gizi