Suara.com - Kepala Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan atau PPATK, Dian Ediana Rae meminta Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Yasonna H. Laoly sebagai wakil pemerintah untuk mendorong ditetapkannya RUU Perampasan Aset Tindak Pidana sebagai RUU Prioritas 2021 atau setidaknya pada 2022.
"Hal ini sejalan dengan kerangka regulasi RPJMN tahun 2021 yang dibahas dan disepakati di Bappenas," kata Dian Ediana Rae dalam keterangan tertulis yang diterima Antara di Jakarta, Senin (15/2/2021).
Permintaan tersebut disampaikan Kepala PPATK saat melakukan kunjungan kerja ke Kementerian Hukum dan HAM, pada Senin (15/2) yang diterima oleh Menteri Hukum dan HAM Yasonna H. Laoly didampingi oleh Dirjen Administrasi Hukum Umum Cahyo Rahadian Muzhar , Dirjen Peraturan Perundang-Undangan Widodo Ekatjahjana, dan Direktur Perdata, Santun Maspari Siregar.
Turut hadir mendampingi Kepala PPATK Deputi Bidang Pencegahan, Muhammad Sigit, Direktur Bidang Pemberantasan, Ivan Yustiavandana, dan Direktur Hukum, Fithriadi.
Dalam kesempatan itu Kepala PPATK Dian Ediana Rae mengatakan saat ini, regulasi Indonesia memiliki keterbatasan dalam melakukan penyelamatan aset/asset recovery yang merupakan hasil tindak pidana atau proceed of crimes.
Berdasarkan hasil pemantauan PPATK, diperoleh informasi, bahwa upaya asset recovery atas hasil tindak pidana di Indonesia belum optimal, khususnya perampasan terhadap hasil tindak pidana yang tidak dapat atau sulit dibuktikan tindak pidananya, termasuk di antaranya hasil tindak pidana yang dimiliki atau berada dalam penguasaan tersangka atau terdakwa yang telah meninggal dunia.
Permasalahan tersebut, kata dia dapat diselesaikan dengan penetapan RUU Perampasan Aset. RUU ini telah diinisiasi penyusunannya oleh PPATK sejak tahun 2008 dengan mengadopsi ketentuan dalam The United Nations Convention Against Corruption/UNCAC dan konsep Non-Conviction Based Forfeiture dari negara-negara common law.
Dian yang pernah menjabat Kepala BI London tersebut menambahkan RUU Perampasan Aset memuat 3 substansi utama, yaitu unexplained wealth sebagai salah satu aset yang dapat dirampas untuk negara, hukum acara perampasan aset, dan pengelolaan aset. Unexplained wealth merupakan aset yang tidak seimbang dengan penghasilan atau tidak seimbang dengan sumber penambahan kekayaan yang tidak dapat dibuktikan asal usul perolehannya secara sah dan diduga terkait dengan aset tindak pidana.
Selanjutnya, hukum acara perampasan aset diatur khusus dikarenakan hukum acara perampasan di dalam RUU menekankan pada konsep negara versus aset (in rem), dan hal ini berbeda dengan hukum acara pidana yang menekankan konsep negara versus pelaku kejahatan (in personam).
Baca Juga: Periksa 92 Rekening FPI, PPATK: Ada Dugaan Perbuatan Melawan Hukum
Konsep in rem juga mengatur mengenai pelindungan bagi pihak ketiga yang beritikad baik dan memiliki keterkaitan dengan aset yang diajukan permohonan perampasan aset. Selain itu, RUU Perampasan Aset juga mengatur mengenai pengelolaan aset yang terdiri dari 9 jenis kegiatan, yaitu penyimpanan, pengamanan, pemeliharaan, penilaian, pemindahtanganan, penggunaan, pemanfaatan, pengawasan, dan pengembalian aset.
PPATK berpandangan bahwa apabila RUU Perampasan Aset dapat segera ditetapkan akan dapat membantu pengembalian kerugian negara baik yang berasal dari hasil tindak pidana korupsi, tindak pidana pencucian uang, dan tindak pidana ekonomi lainnya, dan akan memberi efek jera kepada pelaku dan deterrent effect bagi calon pelaku kejahatan ekonomi.
Menurut Dian, RUU Perampasan Aset Tindak Pidana sejalan dengan salah satu agenda presiden tahun 2020-2024, yaitu memperkuat stabilitas politik, hukum dan keamanan, dan transformasi pelayanan publik.
Rancangan Undang-Undang tentang Perampasan Aset Tindak Pidana (RUU PA) telah mulai disusun pada tahun 2008 dan telah selesai pembahasan antar kementerian pada November 2010, serta harmonisasi pada November 2010.
Adapun K/L yang terlibat dalam penyusunan adalah Kemenkumham, PPATK, Kemenpan dan RB, Kementerian Keuangan, Kementerian Sekretariat Negara, Akademisi FH UI, POLRI, KPK, Kejaksaan Agung, dan Tenaga Ahli.
RUU Perampasan Aset Tindak Pidana telah disampaikan kepada Presiden melalui surat Menteri Hukum dan HAM Nomor M.HH.PP.02.03-46 tanggal 12 Desember 2011. (Antara)
Berita Terkait
Terpopuler
- JK Kritik Keras Hilirisasi Nikel: Keuntungan Dibawa Keluar, Lingkungan Rusak!
- Nikmati Belanja Hemat F&B dan Home Living, Potongan Harga s/d Rp1,3 Juta Rayakan HUT ke-130 BRI
- 5 Mobil Diesel Bekas di Bawah 100 Juta, Mobil Badak yang Siap Diajak Liburan Akhir Tahun 2025
- 9 Mobil Bekas dengan Rem Paling Pakem untuk Keamanan Pengguna Harian
- Sambut HUT ke-130 BRI: Nikmati Promo Hemat Hingga Rp1,3 Juta untuk Upgrade Gaya dan Hobi Cerdas Anda
Pilihan
-
Kehabisan Gas dan Bahan Baku, Dapur MBG Aceh Bertahan dengan Menu Lokal
-
Saham Entitas Grup Astra Anjlok 5,87% Sepekan, Terseret Sentimen Penutupan Tambang Emas Martabe
-
Pemerintah Naikkan Rentang Alpha Penentuan UMP Jadi 0,5 hingga 0,9, Ini Alasannya
-
Prabowo Perintahkan Tanam Sawit di Papua, Ini Penjelasan Bahlil
-
Peresmian Proyek RDMP Kilang Balikpapan Ditunda, Bahlil Beri Penjelasan
Terkini
-
Lumpur Setinggi 2 Meter Mustahil Disingkirkan? Ini Solusi Manfaatkan Kayu Gelondongan Sisa Banjir
-
Kemensos Siapkan Jaminan Hidup Korban Bencana Sumatra Selama 3 Bulan
-
Kubu Roy Suryo Ungkap Detik-detik 'Penyusup' Kepergok Masuk Ruang Gelar Perkara Kasus Ijazah Jokowi
-
Prabowo Kunjungan di Sumatra Barat, Tinjau Penanganan Bencana dan Pemulihan Infrastruktur
-
Viral Tumpukan Sampah Ciputat Akhirnya Diangkut, Pemkot Tangsel Siapkan Solusi PSEL
-
KPK Buka Peluang Periksa Istri Ridwan Kamil di Kasus Korupsi Bank BJB, Sebut Perceraian Tak Pengaruh
-
Membara Kala Basah, Kenapa Kebakaran di Jakarta Justru Meningkat Saat Hujan?
-
Keroyok 'Mata Elang' Hingga Tewas, Dua Polisi Dipecat, Empat Lainnya Demosi
-
Disebut-sebut di Sidang Korupsi Chromebook: Wali Kota Semarang Agustina: Saya Tak Terima Apa Pun
-
Kemenbud Resmi Tetapkan 85 Cagar Budaya Peringkat Nasional, Total Jadi 313