Suara.com - Mantan Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi Agus Rahardjo menyatakan tersangka Edhy Prabowo dan Juliari Peter Batubara yang terjerat kasus suap sebaiknya dijatuhi hukuman penjara seumur hidup dan dikenai tindak pidana pencucian uang, ketimbang dihukum mati.
Edhy merupakan tersangka penerima suap terkait dengan perizinan ekspor benih lobster di Kementerian Kelautan dan Perikanan. Sementara Juliari menjadi tersangka penerima suap dalam pengadaan bantuan sosial di wilayah Jabodetabek pada tahun 2020.
"Saya termasuk yang berprinsip, hidup itu yang berhak mengambil, ya, yang memberi hidup. Oleh karena itu, hukuman maksimal yang lain pantas digunakan, yaitu hukuman seumur hidup dan diberlakukan TPPU kepada yang bersangkutan," kata Agus dalam keterangan pers, hari ini.
Namun, dia menyatakan bahwa dalam Pasal 2 Ayat (2) Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi hukuman mati memang dimungkinkan.
"Undang-undangnya memungkinkan apabila syaratnya terpenuhi bisa diterapkan hukuman mati," kata Agus.
Ia menilai pertimbangan hukuman mati mungkin dapat memberikan efek jera sehingga membuat seseorang takut melakukan korupsi.
"Mungkin pertimbangan penting lainnya efek pencegahan karena hukuman mati akan membuat orang takut/jera melakukan korupsi (deterrent effect)," katanya.
Sebelumnya, Wakil Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Edward Omar Sharif Hiariej menyebutkan dua mantan menteri yang tersandung kasus pidana korupsi di tengah masa pandemi Covid-19 layak dituntut hukuman mati.
"Bagi saya mereka layak dituntut dengan ketentuan Pasal 2 Ayat (2) Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi yang pemberatannya sampai pada pidana mati," kata Eddy dalam acara Seminar Nasional "Telaah Kritis terhadap Arah Pembentukan dan Penegakan Hukum pada Masa Pandemi" yang berlangsung secara virtual, dipantau di Yogyakarta, Selasa (16/2).
Baca Juga: Jadi Wamenkumham, Edward Omar Diminta Tak Banyak Ngoceh Kasus
Menurut dia, ada dua alasan pemberat yang membuat kedua mantan menteri tersangka tindak pidana korupsi itu layak dituntut pidana mati. Pertama, mereka melakukan tindak pidana korupsi saat dalam keadaan darurat, yakni darurat COVID-19. Kedua, mereka melakukan kejahatan itu dalam jabatan.
Dalam Pasal 2 UU Nomor 20/2001 tentang Perubahan atas UU Nonor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi menyebutkan:
(1) Setiap orang yang secara melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara, dipidana penjara dengan penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat empat tahun dan paling lama dua puluh tahun dan denda paling sedikit Rp200 juta (dua ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp1 miliar.
(2) Dalam hal tindak pidana korupsi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan dalam keadaan tertentu, pidana mati dapat dijatuhkan.
Yang dimaksud dengan keadaan tertentu dalam ketentuan ini dimaksudkan sebagai pemberatan bagi pelaku tindak pidana korupsi apabila tindak pidana tersebut dilakukan pada waktu negara dalam keadaan bahaya sesuai dengan undang-undang yang berlaku, pada waktu terjadi bencana alam nasional, sebagai pengulangan tindak pidana korupsi, atau pada waktu negara dalam keadaan krisis ekonomi dan moneter.
Berita Terkait
-
Wamenkum: Penyadapan Belum Bisa Dilakukan Meski Diatur dalam KUHAP Nasional
-
Hindari Overkapasitas Lapas, KUHP Nasional Tak Lagi Berorientasi pada Pidana Penjara
-
Wamenkumham Bongkar Aturan: Polisi Tak Bisa Asal Jerat Demonstran, Ini Satu-satunya Celah Hukum
-
PT Tusam Hutani Lestari Punya Siapa? Menguasai Lahan Hutan Aceh Sejak Era Soeharto
-
Di Negara Ini Koruptor Dihukum Mati, Beda dengan Indonesia
Terpopuler
- 5 HP RAM 8 GB Memori 256 GB Harga Rp1 Jutaan, Terbaik untuk Pelajar dan Pekerja
- 7 Sepatu Adidas Diskon hingga 60% di Sneakers Dept, Cocok Buat Tahun Baru
- 5 Mobil Bekas yang Anti-Rugi: Pemakaian Jangka Panjang Tetap Aman Sentosa
- Diminta Selawat di Depan Jamaah Majelis Rasulullah, Ruben Onsu: Kaki Saya Gemetar
- Kencang bak Ninja, Harga Rasa Vario: Segini Harga dan Konsumsi BBM Yamaha MT-25 Bekas
Pilihan
-
Kaleidoskop Sumsel 2025: Menjemput Investasi Asing, Melawan Kepungan Asap dan Banjir
-
Mengungkap Gaji John Herdman dari PSSI, Setara Harga Rumah Pinggiran Tangsel?
-
Aksi Adik Kandung Prabowo yang Makin Mencengkeram Bisnis Telekomunikasi
-
Sesaat Lagi! Ini Link Live Streaming Final Futsal ASEAN 2025 Indonesia vs Thailand
-
Cerita 1.000 UMKM Banyuasin: Dapat Modal, Kini Usaha Naik Kelas Berkat Bank Sumsel Babel
Terkini
-
Mensesneg: 24 Perusahaan Pemegang HPH dan HTI Diaudit Kementerian Kehutanan
-
Antisipasi Cuaca Ekstrem Saat Perayaan Malam Tahun Baru 2026, Pemprov DKI Lakukan Ini
-
KPK Ungkap Alasan Hentikan Penyidikan Kasus Tambang Nikel Konawe Utara
-
Lebih 'Merdeka' di Balai Kota, Pramono Anung Blak-blakan: Jujur, Enak Jadi Gubernur
-
Fraksi Partai Nasdem Dukung Pilkada Lewat DPRD: Sesuai Konstitusi dan Pancasila
-
DPR Desak KPK Jelaskan Penghentian Penyelidikan Kasus Aswad Sulaiman Secara Transparan
-
Hadapi Tantangan Geografis, Pendidikan dan Kesejahteraan Anak di Maluku Utara Jadi Fokus Eiger
-
AMAN Catat Konflik 202 Ribu Hektare Wilayah Adat Bengkulu Sepanjang 2025
-
Harapan Publik Tinggi, KPK Tegaskan Penghentian Kasus Aswad Sulaiman Berbasis Alat Bukti
-
Rentetan Kecelakaan Kerja di Galangan PT ASL Shipyard Kembali Terjadi, Polisi Turun Tangan