Suara.com - Indonesia Corruption Watch (ICW) menyebut tuntutan terhadap eks Menteri Sosial Juliari P. Batubara yang diberikan Jaksa Penuntut Umum dari KPK dibilang cukup rendah. Peneliti ICW Kurnia Ramadhana mengatakan tuntutan ringan 11 tahun Juliari, semakin menegaskan Jaksa KPK tidak tegas dalam melakukan oemberantasan korupsi di perkara bansos covid-19 Se-Jabodetabek tahun 2020.
"Ringannya tuntutan tersebut semakin menggambarkan keengganan KPK menindak tegas pelaku korupsi bansos.
Tuntutan KPK ini terkesan ganjil dan mencurigakan," ungkap Kurnia dalam keterangannya, Kamis (29/7/2021).
Sebab, kata Kurnia, pasal yang menjadi alas tuntutan, yakni Pasal 12 huruf b Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, sebenarnya mengakomodir penjatuhan hukuman hingga penjara seumur hidup dan denda Rp1 miliar. Tapi, Jaksa KPK dalam tuntutannya hanya meminta Juliari membayar uang pengganti sebesar Rp14,5 Miliar. Apalagi, kata Kurnia, sangat jauh memuaskan karena besaran tersebut kurang dari 50 persen dari total nilai suap yang diterima Juliari.
"Tuntutan yang rendah ini kontradiktif dengan semangat pemberantasan korupsi. Padahal, pimpinan KPK telah sesumbar menyatakan akan menghukum berat koruptor bansos Covid-19," ucap Kurnia.
Dia juga mengingatkan, bahwa penegak hukum merupakan representasi negara dan korban yang bertugas meminta pertanggungjawaban atas kejahatan pelaku. Hal ini pun tertuang dalam Pasal 5 huruf d UU No. 19 tahun 2019 tentang KPK. Regulasi itu menjelaskan bahwa dalam menjalankan tugas dan wewenangnya, KPK mengedepankan asas kepentingan umum.
"Alih-alih dijalankan, KPK justru lebih terlihat seperti perwakilan pelaku yang sedang berupaya semaksimal mungkin agar terdakwa dijatuhi hukuman rendah," ujarnya.
Dalam dakwaan Jaksa, kata Kurnia, Juliari menerima suap Rp32,4 miliar. Apalagi, dengan menarik sejumlah fee dari 109 vendor penyedia bansos melalui Kuasa Pengguna Anggaran (KPA) dan Pejabat Pembuat Komitmen (PPK) Adi Wahyono dan Matheus Joko Santoso yang juga menjadi terdakwa dalam kasus ini.
"Perbuatan korupsi yang diduga terjadi dalam distribusi bansos Covid-19 ini, diduga kuat tidak hanya terkait dengan suap-menyuap, tetapi juga berpotensi merugikan keuangan atau perekonomian negara," kata dia.
Perkara korupsi bansos Covid-19 ini, kata Kurnia, sebagai bentuk kesengajaan para terdakwa dalam menghambat upaya pemerintah dalam memberikan perlindungan sosial kepada warga dalam rangka menangani dampak pandemi Covid-19.
Baca Juga: Sebut Juliari Tak Layak Dituntut 11 Tahun Penjara, PSI: Harusnya Hukuman Seumur Hidup!
"Kondisi yang semestinya menjadi dasar pemberat bagi penuntut umum, dalam menyusun dan membaca surat tuntutan kepada Juliari. Namun, JPU KPK gagal mewakili kepentingan negara dan korban," katanya.
Melihat tuntutan Jaksa KPK rendah, ICW pun berharap dalam putusannya nanti, majelis hakim dapat mengambil langkah progresif dengan menjatuhkan hukuman maksimal pidana seumur hidup.
"Penjatuhan hukuman yang maksimal terhadap Juliari Batubara, sudah sepatutnya dilakukan, mengingat ada banyak korban bansos yang haknya dilanggar di tengah pandemi Covid-19, akibat praktik korupsi ini," kata Kurnia
"Ke depannya, vonis maksimal tersebut diharapkan berdaya cegah terhadap potensi terjadinya kasus serupa, terutama di tengah kondisi pandemi."
Juliari Dituntut 11 Tahun Penjara
Dalam tuntutannya, Jaksa memberikan hukuman 11 tahun penjara kepada Juliari. Selain pidana badan, Juliari juga turut membayar denda sebesar Rp 500 juta subsider enam bulan kurungan penjara.
Berita Terkait
-
Sebut Juliari Tak Layak Dituntut 11 Tahun Penjara, PSI: Harusnya Hukuman Seumur Hidup!
-
Tak Terima Dituntut 11 Tahun Penjara, Eks Mensos Juliari Batubara Bakal Lakukan Pembelaan
-
11 Tahun Penjara Untuk Menteri Koruptor Bansos di Tengah Pandemi, Pantas atau Tidak?
-
Bantah Bisnis Ivermectin, Sindiran Telak Demokrat ke Moeldoko: Dulu Gak Ngaku Begal Partai
Terpopuler
- Selamat Datang Elkan Baggott Gantikan Mees Hilgers Bela Timnas Indonesia, Peluangnya Sangat Besar
- KPK: Perusahaan Biro Travel Jual 20.000 Kuota Haji Tambahan, Duit Mengalir Sampai...
- Jangan Ketinggalan Tren! Begini Cara Cepat Ubah Foto Jadi Miniatur AI yang Lagi Viral
- Hari Pelanggan Nasional 2025: Nikmati Promo Spesial BRI, Diskon Sampai 25%
- Maki-Maki Prabowo dan Ingin Anies Baswedan Jadi Presiden, Ibu Jilbab Pink Viral Disebut Korban AI
Pilihan
-
Rieke Diah Pitaloka Bela Uya Kuya dan Eko Patrio: 'Konyol Sih, tapi Mereka Tulus!'
-
Dari Anak Ajaib Jadi Pesakitan: Ironi Perjalanan Karier Nadiem Makarim Sebelum Terjerat Korupsi
-
Nonaktif Hanya Akal-akalan, Tokoh Pergerakan Solo Desak Ahmad Sahroni hingga Eko Patrio Dipecat
-
Paspor Sehari Jadi: Jurus Sat-set untuk yang Kepepet, tapi Siap-siap Dompet Kaget!
-
Kunker Dihapus, Pensiun Jalan Terus: Cek Skema Lengkap Pendapatan Anggota DPR Terbaru!
Terkini
-
Israel Bunuh 15 Jurnalis Palestina Sepanjang Agustus 2025, PJS Ungkap Deretan Pelanggaran Berat
-
Mengenal Tuntutan 17+8 yang Sukses Bikin DPR Pangkas Fasilitas Mewah
-
Arie Total Politik Jengkel Lihat Ulah Jerome Polin saat Demo: Jangan Nyari Heroiknya Doang!
-
Sekarang 'Cuma' Dapat Rp65,5 Juta Per Bulan, Berapa Perbandingan Gaji DPR yang Dulu?
-
SBY: Seni Bukan Hanya Indah, Tapi 'Senjata' Perdamaian dan Masa Depan Lebih Baik
-
Hartanya Lenyap Rp 94 Triliun? Siapa Sebenarnya 'Raja Kretek' di Balik Gudang Garam
-
3 Fakta Viral Lutung Jawa Dikasih Napas Buatan Petugas Damkar, Tewas Tersengat Listrik di Sukabumi!
-
Bos Gudang Garam Orang Kaya Nomor Berapa di Indonesia versi Forbes? Isu PHK Massal Viral
-
UU Perlindungan Anak Jadi Senjata Polisi Penjarakan Delpedro Marhaen, TAUD: Kriminalisasi Aktivis!
-
Akhirnya Terjawab! Inilah Penyebab SPBU Swasta Kehabisan BBM, Sementara Pertamina Aman