Suara.com - Dalam kurun waktu dua tahun terakhir, kondisi demokrasi di Indonesia disebut terus menurun. Hal ini merujuk sorotan Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan atau KontraS pada awal tahun 2022.
Sorotan itu berkaitan dengan cara negara dalam mempersempit ruang kebebasan masyarakat sipil.
Dalam siaran virtual hari ini, Kamis (6/1/2022), perwakilan KontraS, Rozi Brilian mengatakan, terjadi 393 peristiwa berkaitan dengan pelanggaran kebebasan berekspresi. Tindakan paling dominan adalah penangkapan secara sewenang-wenang dengan total 165 kasus.
"Diikuti oleh pembubaran paksa dengan 140 kasus," kata Rozi.
KontraS juga mencatat, polisi masih menjadi aktor utama -- juga dominan -- dari ragam pelanggaran terhadap kebebasan berekspresi tersebut. Bahkan, tindakan represi pihak kepolisian menyasar masyarakat sipil yang sedang mengkritik dan menyeimbangkan diskursus negara.
"Sasaran utama dari represi tersebut ialah masyarakat yang sedang mengkritik dan menyeimbangkan diskursus negara," ujarnya.
Kata dia, sepanjang 2020 sampai 2021, masih kerap berkelindan dengan isu pandemi Covid-19. Dengan demikian, banyak akademisi hingga aktivis yang kemudian mengkritik kebijakan pemerintah kemudian pada akhirnya mendapatkan serangan, ancaman, hingga teror.
"Bahkan sampai berujung pada penangkapan," ucap Rozi.
Termutakhir, KontraS juga mencatat ada 10 tindakan hingga kebijakan yang justru menakut-nakuti warga dalam berekspresi. Pertama, terbitnya Surat Telegram Nomor ST/1100/IV/HUK.7.1.2020 tentang Penanganan Penghinaan Pejabat dan Hoaks Penanganan Covid-19 tanggal 4 April 2020.
Baca Juga: KontraS Sebut Kondisi Demokrasi Indonesia Mengalami Penyusutan
"Surat ini tentu berbahaya sebab akan membuka celah bagi kepolisian untuk melakukan tindakan penyalahgunaan kekuasaan atau abuse of power," ujarnya lagi.
Kedua, adalah Surat Telegram Kapolri Nomor STR/645/X/PAM.3.2./2020 tentang Patroli Cyber Isu RUU Cipta Kerja. Dalam catatan KontraS, surat telegram itu semakin menunjukan watak represif institusi Kepolisian dalam menyikapi suara yang berbeda dengan narasi pemerintah.
Ketiga, patroli siber atau virtual police sebagaimana tertuang dalam Surat Edaran Nomor: SE/2/11/2021 tentang Kesadaran Budaya Beretika untuk Mewujudkan Ruang Digital Indonesia yang Bersih, Sehat, dan Produktif. Hal itu dalam pandangan KontraS bersifat menindak dan mengatur ekspresi warga negara.
"Seharusnya penindakan diperuntukkan bagi mereka yang melakukan tindakan kriminal lewat media sosial, seperti penipuan online, pelecehan secara daring, dan lain-lain," beber Rozi.
Keempat, kriminalisasi dengan Undang-Undang Kekarantinaan Kesehatan yang begitu diskriminatif dalam penggunaan pasalnya. Kelima adalah maklumat Kapolri Nomor MAK/2/III/2020 tentang Kepatuhan Terhadap Pebijakan pemerintah dalam Penanganan Penyebaran Virus Corona atau Covid-19.
Keenam adalah Surat Telegram Nomor ST/750/IV/HUM.3.4.5./2021 tentang Pelaksanaan Peliputan Bermuatan Kekerasan dan atau Kejahatan dalam Program Siaran Jurnalistik. Hal itu berpotensi mengkriminalisasi masyarakat yang mengunggah video berkaitan dengan kekerasan dan kinerja buruk Kepolisian.
Ketujuh, somasi yang dilayangkan pejabat publik semakin menegaskan bahwa pemangku kebijakan saat ini anti kritik.
Kemudian delapan, pelibatan TNI dan BIN dalam Penanganan Pandemi Covid-19 yang memperlihatkan bentuk campur tangan terlalu jauh militer terhadap urusan sipil.
Selanjutnya poin kesembilan, terkait penghapusan mural yang semakin memperlihatkan watak anti kritik pemerintah.
Kesepuluh, penangkapan pembentang poster yang semakin mempertegas watak represif Kepolisian khususnya terhadap pengkritik pemerintah.
Rozi menegaskan, pola-pola semacam tentu tidak dapat diteruskan. Sebab akan memperparah kondisi dan situasi demokrasi di Indonesia tahun 2022.
"Masyarakat akan semakin takut menyampaikan kritik karena dibungkam dengan berbagai metode," imbuh dia.
Perwakilan KontraS lainnya, Rivanlee Anandar mengatakan, sejumlah faktor yang membikin menyusutnya kebebasan sipil. Misalnya, polarisasi politik yang tumbuh akibat karena adanya politik identitas hingga adanya tingkat nasionalisme yang tinggi.
"Kedua, yang jadi penyebab dari menyusutnya kebebasan sipil adalah represi dari demokrasi itu sendiri dan kebangkitan rezim otoritarian," kata Rivanlee.
Rivanlee menjelaskan, kebangkitan rezim otoritarian itu ditandai dari beberapa hal. Pertama, pembuatan aturan yang mendiskriminasi kebebasan sipil warga negara, kemudian pembiaran terhadap praktik-praktik represif oleh alat negara, dan ketiga mulai bergeraknya pejabat publik untuk langsung menyerang atau melakukan pembungkaman terhadap warga negara.
"Faktor itu menjadi penanda bahwa beberapa cara-cara yang dilakukan negara belakangan ini, menunjukkan serangan-serangan terhadap kebebasan sipil," papar dia.
Pihak-pihak yang menjadi target pembungkaman dalam gelanggang demokrasi juga beraneka ragam. Misalnya human right defender atau pembela HAM, aktivis antikorpusi, jurnalis, hingga akademisi.
Dia menyebut, target-target itu memang kerap terjadi di Indonesia, terutama dalam beberapa bulan ke belakang.
Pembungkaman itu dalam pandangan Rivanlee tidak disertai dengan alat ukur atau parameter yang jelas.
"Artinya dilakukan secara sewenang-wenang," ucap dia.
Dalam temuannya, KontraS menyebut bahwa pembungkaman itu berimbas pada takutnya orang-orang untuk bereksprsi di ruang-ruang yang ada. Baik ruang digital maupun di ruang nyata.
"Adanya tindakan represif yang tidak terukur pada konteks kebebasan berekspresi, berkumpul, dan juga berserikat," katanya.
Berita Terkait
-
KontraS Sebut Kondisi Demokrasi Indonesia Mengalami Penyusutan
-
Honorer Terancam Disingkirkan dengan Dalih Anggaran, Politisi PDIP Sentil Kepala Daerah
-
Bahar Jadi Tersangka, Luqman Hakim Dukung Polri Tindak Tegas Pihak Yang Mainkan Isu SARA
-
Habib Bahar; Jika Ditetapkan Tersangka Maka Demokrasi Telah Mati!
-
Habib Bahar Sebelum Diperiksa: jika Saya Ditahan maka Demokrasi Sudah Mati di NKRI
Terpopuler
- Pelatih Argentina Buka Suara Soal Sanksi Facundo Garces: Sindir FAM
- Kiper Keturunan Karawang Rp 2,61 Miliar Calon Pengganti Emil Audero Lawan Arab Saudi
- Usai Temui Jokowi di Solo, Abu Bakar Ba'asyir: Orang Kafir Harus Dinasehati!
- Ingatkan KDM Jangan 'Brengsek!' Prabowo Kantongi Nama Kepala Daerah Petantang-Petenteng
- 30 Kode Redeem FC Mobile Terbaru 28 September: Raih Hadiah Prime Icon, Skill Boost dan Gems Gratis
Pilihan
-
Lowongan Kerja PLN untuk Lulusan D3 hingga S2, Cek Cara Daftarnya
-
Here We Go! Jelang Lawan Timnas Indonesia: Arab Saudi Krisis, Irak Limbung
-
Berharap Pada Indra Sjafri: Modal Rekor 59% Kemenangan di Ajang Internasional
-
Penyumbang 30 Juta Ton Emisi Karbon, Bisakah Sepak Bola Jadi Penyelamat Bumi?
-
Muncul Tudingan Ada 'Agen' Dibalik Pertemuan Jokowi dengan Abu Bakar Ba'asyir, Siapa Dia?
Terkini
-
Cerita Lengkap Cucu Mahfud MD Jadi Korban Keracunan MBG
-
Kronologi Berdarah Polisi Bacok Polisi di Kelab Malam: Aipda S dan Bripka I Adu Bacot saat Teler!
-
Sudah Ditangkap? Misteri Hilangnya Nama Gembong Narkoba Fredy Pratama dari Situs Interpol
-
MBG di SDN 01 Pasar Rebo Disetop Imbas Keracunan Massal, Sampel Muntahan Siswa Diteliti Puskesmas
-
Miris! Polisi Bacok Polisi di Tempat Hiburan Malam, Propam Polda Gorontalo Ancam Sanksi Berat
-
Acungkan Jari Telunjuk, Ekspresi Prabowo 'Pecah' saat Nyanyi Bareng Sederet Pejabat di Lubang Buaya
-
Keracunan MBG di Pasar Rebo! Mie Pucat dan Bau Busuk Diduga Jadi Biang Kerok
-
Bau Busuk dari Mobil Terparkir Ungkap Tragedi: Sopir Taksi Online Ditemukan Tewas di Pejaten
-
Korupsi Menggila di Desa! ICW Ungkap Fakta Mencengangkan Sepanjang 2024
-
Menkeu Purbaya Curhat Gerak-geriknya di Tiktok Dipantau Prabowo, Mengapa?