Usman menegaskan Majelis Hakim bisa lebih adil tanpa harus menjatuhkan hukuman mati kepada Ferdy Sambo. "Amnesty tidak anti penghukuman, kami sepakat bahwa segala bentuk kejahatan di bawah hukum internasional yang dilakukan aparat negara harus dihukum yang berat tetapi tetap harus adil, tanpa harus menjatuhkan hukuman mati. Ini hukuman yang ketinggalan zaman," kata Usman, Senin (13/2).
Dia menegaskan, negara seharusnya fokus membenahi keseluruhan sistem penegakan akuntabilitas aparat keamanan yang terlibat kejahatan. Tidak untuk melanggengkan impunitas. "Jangan melanggengkan impunitas atas kejahatan serius yang dilakukan oleh aparatus negara atas nama apapun, bahkan dalam keadaan darurat sekali pun. Amnesty mencatat kasus pembunuhan di luar hukum yang melibatkan aparat kerap tidak diusut tuntas," tegasnya.
Kendati demikian, Usman mengaku perbuatan Ferdy Sambo yang membunuh ajudannya, Brigadir J adalah kejahatan yang serius dan sulit ditoleransi. "Terlebih mengingat kapasitasnya sebagai kepala dari polisinya polisi. Komnas HAM menyebut kasus ini sebagai extrajudicial killing atau pembunuhan di luar putusan pengadilan. Artinya perbuatan itu tergolong kejahatan di bawah hukum internasional. Meski Sambo perlu dihukum berat, ia tetap berhak untuk hidup," ucapnya.
The Institute for Criminal Justice Reform (ICJR) menyayangkan majelis hakim yang memutus Ferdy Sambo dengan pidana mati. ICJR berharap korban dan keluarga korban mendapatkan pemulihan dan keadilan. “Tuntutan penjara seumur hidup dari penuntut umum semestinya sudah tepat dibanding vonis pidana mati yang dijatuhkan majelis hakim,” kata Erasmus Napitupulu, Direktur Eksekutif ICJR, Kamis (16/2).
Eras menuturkan, pihaknya memahami terdapat kemarahan keluarga korban dan masyarakat pada kasus tersebut, namun ICJR menilai hukuman mati bukanlah jawaban. ICJR menilai sistem di Indonesia saat ini lebih pada menghukum pelaku, di sisi lain fokus tidak terlalu banyak berorientasi pada pemulihan korban. Merujuk Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1/2022 tentang Tata Cara Penyelesaian Permohonan dan Pemberian Restitusi dan Kompensasi Kepada Korban Tindak Pidana misalnya, menyatakan bahwa dalam hal korban tindak pidana belum mengajukan restitusi/ganti kerugian, maka hakim memberitahukan hak korban tersebut untuk bisa mengajukannya sebelum tuntutan dibacakan oleh jaksa penuntut umum atau setelah putusan berkekuatan hukum tetap.
Hal ini sayangnya belum terjadi di ruang sidang, pun belum jelas langkah lanjutan pemulihan korban atau keluarga korban. Mekansime pemulihan seperti bantuan psikososial bagi keluarga korban baiknya dapat mulai diinisiasi oleh LPSK atau institusi berwenang lainnya.
Jika dilihat dari kacamata kebijakan pidana yang lebih luas, ICJR juga memandang bahwa penggunaan pidana mati bukan menjadi cara yang tepat untuk merespons kejahatan. Sebab, dengan dijatuhkannya hukuman mati, masalah kemudian seolah-olah dianggap selesai. “Padahal ada pekerjaan rumah yang lebih penting dan mendasar untuk menyelesaikan akar masalah mengapa kejahatan tersebut masih terjadi, sedangkan fokus perhatian hanya menjadi soal menghukum berat pelaku,” terangnya.
Namun begitu, ICJR mengapresiasi Hakim dan Jaksa karena perkara ini juga berhasil membongkar kasus dan memberikan gambaran budaya kekerasan di tubuh kepolisian.
Sambo Divonis Mati
Sebelumnya, Ketua Majelis Hakim Wahyu Iman Santoso menjatuhkan hukuman mati terhadap Ferdy Sambo terdakwa pembunuh Nofriansyah Yosua Hutabarat atau Brigadir J di Pengadilan Negeri Jakarta Selan pada Senin (13/2). "Menjatuhkan pidana terdakwa Ferdy Sambo SH. SiK MH, divonis pidana mati," kata Ketua Majelis Hakim.
Hakim menyatakan perbuatan Ferdy Sambo terbukti secara sah dan meyakinkan melakukan tindak pidana turut serta merampas nyawa seseorang dengan perencanaan terlebih dahulu sebagaimana yang didakwakan.
Dalam putusannya, majelis hakim menyatakan Ferdy Sambo bersalah melanggar Pasal 340 juncto pasal 55 ayat 1 ke-1 KUHP sebagaimana dakwaan primer dari jaksa penuntut umum (JPU).
Tak hanya itu, Ferdy Sambo juga dinyatakan bersalah melanggar Pasal 49 juncto Pasal 33 UU ITE Nomor 19 Tahun 2016 juncto pasal 55 ayat 1 ke (1) KUHP dalam kasus dugaan perintangan penyidikan atau obstraction of justice tewasnya Brigadir J.
Berita Terkait
Terpopuler
- 7 Serum Vitamin C yang Bisa Hilangkan Flek Hitam, Cocok untuk Usia 40 Tahun
- Sunscreen untuk Usia 50-an Sebaiknya SPF Berapa? Cek 5 Rekomendasi yang Layak Dicoba
- 5 Mobil Diesel Bekas Mulai 50 Jutaan Selain Isuzu Panther, Keren dan Tangguh!
- Harta Kekayaan Abdul Wahid, Gubernur Riau yang Ikut Ditangkap KPK
- 5 Mobil Eropa Bekas Mulai 50 Jutaan, Warisan Mewah dan Berkelas
Pilihan
-
4 Rekomendasi Tablet RAM 8 GB Paling Murah, Multitasking Lancar Bisa Gantikan Laptop
-
Jusuf Kalla Peringatkan Lippo: Jangan Main-Main di Makassar!
-
Korban PHK Masih Sumbang Ratusan Ribu Pengangguran! Industri Pengolahan Paling Parah
-
Cuma Mampu Kurangi Pengangguran 4.000 Orang, BPS Rilis Data yang Bikin Kening Prabowo Berkerut
-
Rugi Triliunan! Emiten Grup Djarum, Blibli PHK 270 Karyawan
Terkini
-
Geledah Rumdin Gubernur Riau Abdul Wahid usai Tersangka, KPK Cari Bukti Apa Lagi?
-
Miris! Kakak Adik di Kendal 2 Minggu Cuma Minum Air, Tidur Bersama Jasad Ibu Demi Wasiat
-
Terbongkar! Segini Uang 'Jatah Preman' yang Diterima Gubernur Riau, KPK Beberkan Alirannya
-
Warga Protes Bau Tak Sedap, Pemprov DKI Hentikan Sementara Uji Coba RDF Rorotan
-
Pasca OTT, KPK Bergerak Geledah Rumah Dinas Gubernur Riau Abdul Wahid
-
Gubernur Riau Plesiran ke Inggris-Brasil Pakai Duit 'Jatah Preman', Mau ke Malaysia Keburu Diciduk
-
Soeharto Bakal Dapat Gelar Pahlawan Nasional? Legislator Minta Penilaian Berimbang dan Komprehensif
-
Lewat 1x24 Jam Pasca-OTT, Dalih KPK Baru Umumkan Gubernur Riau Tersangka: Masalah Teknis, Bukan...
-
Bappenas Sebut Penerapan Manajemen Risiko Menjadi Arah Baru Dalam Tata Kelola Pembangunan Nasional
-
Adies Kadir Lolos Sanksi Etik MKD Dinilai Kabar Baik, Golkar: Konstituen di Dapil Pasti Ikut Senang