Suara.com - Kerja dari terang ketemu gelap seolah menjadi karib bagi Andini (bukan nama sebenarnya). Setiap harinya ia menghabiskan 12 hingga 15 jam waktu dalam hidupnya untuk bekerja. Jumlah itu tidak termasuk waktu komuter selama satu jam untuk sekali jalan, atau butuh dua jam untuk perjalanan pulang dan pergi Andini ke tempat kerja.
Tidak jarang pula Andini menghabiskan waktu berkutat di depan laptop hingga tengah malam tiba. Padahal waktu kerja yang tertera di kontrak Andini hanya dari pukul 09.00 hingga 17.00. Tetapi, setiap kali Andini pulang sebelum pukul 21.00, berulang kali juga ia mendapat teguran dari atasannya.
“Kok jam segini sudah pulang, memang (pekerjaan) sudah selesai?" ujar Andini menirukan atasannya saat bercerita ke Suara.com, Rabu, 15/11/2023.
Andini adalah seorang Key Opinion Leader (KOL) specialist. Ia bekerja di sebuah perusahaan creative agency di Jakarta Selatan. Sebagai KOL specialist tugasnya merentang mulai dari meriset KOL, membangun relasi, merencanakan dan menjalankan kampanye, hingga mengevaluasi kinerja KOL.
Dari siang hingga malam ponsel Andini tidak pernah berhenti berbunyi. Deretan notifikasi masuk tanpa henti. Setiap hari ada kurang lebih 200 KOL yang harus ia tangani. Tidak jarang waktu istirahat akhir pekannya juga terpaksa dibagi.
Situasi jam kerja panjang, beban kerja berlebih, hingga tekanan dari atasan terus menumpuk menjadi bom waktu bagi kondisi kesehatan mental Andini yang kapan saja bisa meledak.
Semakin hari, Andini mulai tidak fokus bekerja. Tangannya bergetar dan tak berhenti menangis setiap mendapat tambahan pekerjaan baru dari atasannya. Dalam kondisi tertentu napasnya juga kerap terengah tidak beraturan. Dadanya sesak dan nyeri. Ia kelelahan dan kurang istirahat.
“Sering banget anak-anak (pekerja) kalau sakit enggak disuruh pulang malah disuruh semangat untuk kerja sesuai target,” ujar Andini.
Situasi tadi terus berulang hingga akhirnya Andini memutuskan memeriksakan diri ke profesional. Ia pun dirujuk ke Poli Jiwa di salah satu rumah sakit di Jakarta. Dokter menyarankannya untuk mendapatkan perawatan selama 14 hari. Dalam rentang waktu itu pula Andini tidak diperbolehkan memegang ponsel, ataupun laptop.
Baca Juga: Berhasil Tingkatkan Kualitas Layanan Digital, BPJamsotek Raih Penghargaan di Ajang ICXC 2023
Namun, alih-alih peduli akan kondisi yang dialami Andini, perusahaan malah memutus hubungan kerjanya. Andini di-PHK. Kondisi kesehatan mentalnya dijadikan alasan hubungan kerjanya berakhir. Atasannya bahkan marah lantaran Andini tidak memberitahukan masalah kejiwaan yang ia alami. Padahal besar kemungkinan bahwa kondisi mental yang dialami oleh Andini erat kaitannya dengan kondisi kerjanya sehari-hari.
“Dia bilang, dia enggak mau menerima orang dengan masalah kejiwaan, karena katanya manusia lemah kalau sampai punya masalah kejiwaan,” katanya.
Akhirnya ia diputus satu bulan lebih awal sebelum kontraknya sebagai Pekerja Kerja Waktu Tertentu (PKWT). Andini bahkan tidak mendapatkan kompensasi apapun dari perusahaan tempatnya bekerja.
Andini kala itu tidak tahu bahwa BPJS Ketenagakerjaan bisa mengover perawatan dari masalah kejiwaan yang ia alami. Perusahaan juga tidak pernah menginformasikan hal itu kepadanya.
Gunung Es Masalah Kesehatan Mental Pekerja Kreatif
Andini jelas tidak sendiri. Masalah kesehatan mental sendiri memang banyak ditemukan pada pekerja media dan industri kreatif.
Berita Terkait
Terpopuler
- 7 Mobil Bekas Terbaik untuk Anak Muda 2025: Irit Bensin, Stylish Dibawa Nongkrong
- 7 Rekomendasi Lipstik Mengandung SPF untuk Menutupi Bibir Hitam, Cocok Dipakai Sehari-hari
- Gibran Hadiri Acara Mancing Gratis di Bekasi, Netizen Heboh: Akhirnya Ketemu Jobdesk yang Pas!
- 7 Lipstik Halal dan Wudhu Friendly yang Aman Dipakai Sehari-hari, Harga Mulai Rp20 Ribuan
Pilihan
-
Jeje Koar-koar dan Bicara Omong Kosong, Eliano Reijnders Akhirnya Buka Suara
-
Saham TOBA Milik Opung Luhut Kebakaran, Aksi Jual Investor Marak
-
Isuzu Kenalkan Mesin yang Bisa Telan Beragam Bahan Bakar Terbarukan di JMS 2025
-
Pabrik Sepatu Merek Nike di Tangerang PHK 2.804 Karyawan
-
4 HP Baterai Jumbo Paling Murah mulai Rp 1 Jutaan, Cocok untuk Ojol!
Terkini
-
Mengapa Jakarta Selatan Kembali Terendam? Ini Penyebab 27 RT Alami Banjir Parah
-
Korupsi Pertamina Makin Panas: Pejabat Internal Hingga Direktur Perusahaan Jepang Diinterogasi
-
Mengapa Kemensos Gelontorkan Rp4 Miliar ke Semarang? Ini Penjelasan Gus Ipul soal Banjir Besar
-
Soal Progres Mobil Nasional, Istana: Sabar Dulu, Biar Ada Kejutan
-
Kenapa Pohon Tua di Jakarta Masih Jadi Ancaman Nyawa Saat Musim Hujan?
-
Tiba di Korea Selatan, Ini Agenda Presiden Prabowo di KTT APEC 2025
-
Pernah Jadi Korban, Pramono Anung Desak Perbaikan Mesin Tap Transjakarta Bermasalah
-
Skandal Whoosh Memanas: KPK Konfirmasi Penyelidikan Korupsi, Petinggi KCIC akan Dipanggil
-
Formappi Nilai Proses Etik Lima Anggota DPR Nonaktif Jadi Ujian Independensi MKD
-
Ketua DPD: GKR Emas Buktikan Pena Juga Bisa Jadi Alat Perjuangan Politik