Suara.com - Presiden Palestina Mahmoud Abbas menegaskan bahwa Palestina bukanlah sesuatu yang dapat diperjualbelikan dan menolak segala upaya pemindahan rakyat Palestina.
"Palestina bukan untuk dijual," tegas Abbas, menekankan bahwa tidak ada bagian dari wilayah Palestina—termasuk Gaza, Tepi Barat, atau Yerusalem—yang akan dilepaskan.
Pernyataan tersebut disampaikan Abbas dalam pertemuan Komite Sentral Fatah di Ramallah, Tepi Barat, pada Rabu, sebagaimana dilaporkan oleh kantor berita Palestina, Wafa.
Ia juga menyoroti pentingnya berpegang teguh pada hukum internasional dan Inisiatif Perdamaian Arab sebagai dasar dalam mencari solusi bagi konflik Palestina.
Di sisi lain, Abbas menyambut baik pernyataan Presiden Uni Emirat Arab, Mohammed bin Zayed, yang dalam pertemuannya dengan Menteri Luar Negeri AS Marco Rubio pada Rabu menegaskan penolakannya terhadap upaya pemindahan rakyat Palestina dari Jalur Gaza. Zayed menekankan bahwa rekonstruksi Gaza harus dikaitkan dengan proses menuju perdamaian yang menyeluruh.
Komite Sentral Fatah turut menegaskan penolakan mereka terhadap semua upaya pemindahan warga Palestina dari Gaza atau wilayah Palestina lainnya yang diduduki Israel. Menurut mereka, rencana semacam itu akan menemui kegagalan karena mendapat penolakan luas dari negara-negara Arab dan komunitas internasional, yang menganggapnya sebagai pelanggaran hukum internasional.
Komite tersebut juga memberikan apresiasi kepada Yordania, Mesir, Arab Saudi, serta negara-negara Arab lainnya atas sikap tegas mereka dalam menolak upaya pengusiran warga Palestina dan melindungi hak-hak sah mereka.
Sebagai referensi, Inisiatif Perdamaian Arab yang diadopsi dalam KTT Liga Arab di Beirut pada 2002 menyerukan pembentukan negara Palestina berdasarkan perbatasan tahun 1967 dengan Yerusalem Timur sebagai ibu kotanya. Rencana tersebut menawarkan pengakuan dan normalisasi hubungan dengan Israel sebagai imbalannya.
Namun, gagasan yang diajukan oleh mantan Presiden AS Donald Trump, yang mengusulkan untuk "mengambil alih" Gaza dan merelokasi penduduknya demi mengubah wilayah tersebut menjadi "Riviera Timur Tengah," menuai kecaman keras dari dunia Arab dan komunitas internasional. Usulan tersebut dianggap sebagai bentuk pembersihan etnis dan ditolak secara luas. [Antara].
Baca Juga: Donald Trump: Saya Cinta Ukraina
Berita Terkait
Terpopuler
- Pelatih Argentina Buka Suara Soal Sanksi Facundo Garces: Sindir FAM
- Kiper Keturunan Karawang Rp 2,61 Miliar Calon Pengganti Emil Audero Lawan Arab Saudi
- Usai Temui Jokowi di Solo, Abu Bakar Ba'asyir: Orang Kafir Harus Dinasehati!
- Ingatkan KDM Jangan 'Brengsek!' Prabowo Kantongi Nama Kepala Daerah Petantang-Petenteng
- 30 Kode Redeem FC Mobile Terbaru 28 September: Raih Hadiah Prime Icon, Skill Boost dan Gems Gratis
Pilihan
-
Here We Go! Jelang Lawan Timnas Indonesia: Arab Saudi Krisis, Irak Limbung
-
Berharap Pada Indra Sjafri: Modal Rekor 59% Kemenangan di Ajang Internasional
-
Penyumbang 30 Juta Ton Emisi Karbon, Bisakah Sepak Bola Jadi Penyelamat Bumi?
-
Muncul Tudingan Ada 'Agen' Dibalik Pertemuan Jokowi dengan Abu Bakar Ba'asyir, Siapa Dia?
-
BBM RI Dituding Mahal Dibandingkan Malaysia, Menkeu Purbaya Bongkar Harga Jual Pertamina
Terkini
-
Merasa Terlindungi, Barang Pemberian Kapolda Herry Heryawan Bikin Penyandang Tunarungu Ini Terharu
-
Kolaborasi Bareng DPRD DKI, Pramono Resmikan Taman Bugar Jakbar
-
Menteri Hukum Ultimatum PPP: Selesaikan Masalah Internal atau AD/ART Jadi Penentu
-
Satu Bulan Tragedi Affan Kurniawan: Lilin Menyala, Tuntutan Menggema di Benhil!
-
Polemik Relokasi Pedagang Pasar Burung Barito, DPRD DKI Surati Gubernur Pramono Anung
-
Siapa Ketum PPP yang Sah? Pemerintah akan Tentukan Pemenangnya
-
KPAI Minta Polri Terapkan Keadilan Restoratif untuk 13 Anak Tersangka Demonstrasi
-
Program Magang Fresh Graduate Berbayar Dibuka 15 Oktober, Bagaimana Cara Mendaftarnya?
-
DPR RI Kajian Mendalam Putusan MK soal Tapera, Kepesertaan Buruh Kini Sukarela
-
Setelah Kasih Nilai Merah, ICW Tagih Aksi Nyata dari Pemerintah dan Aparat Penegak Hukum