Suara.com - Kebijakan Gubernur Jawa Barat (Jabar) Dedi Mulyadi yang mengizinkan kelas SMA negeri diisi hingga 50 siswa menjadi polemik panas.
DPR RI menyebut langkah ini ilegal karena menabrak aturan menteri, sementara sekolah swasta mulai merasakan dampak ditinggal para siswanya.
Benarkah ini solusi atau justru awal dari masalah baru?
Kebijakan tersebut menuai sorotan tajam dari Komisi X DPR RI.
Anggota Fraksi Partai Kebangkitan Bangsa (PKB), Habib Syarief Muhammad, menilai kebijakan itu bertentangan langsung dengan Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Permendikbud) No. 17 Tahun 2017.
Habib menjelaskan bahwa dalam peraturan tersebut, batas maksimal jumlah siswa per rombongan belajar (rombel) telah diatur secara tegas.
"Berkaitan dengan statement yang disampaikan oleh Gubernur Jawa Barat, bahwa SMA Negeri dipersilahkan untuk bisa mengisi bangku SMA Negeri 50 orang, yang tidak sesuai dengan Permen hanya 36," kata Habib saat rapat dengar pendapat bersama Menteri Pendidikan Dasar dan Menengah (Dikdasmen) di Senayan, Jakarta, Kamis (10/7/2025).
Menurut Habib, kebijakan yang memperbolehkan satu kelas menampung hingga 50 siswa itu telah memicu efek domino, terutama di tengah proses penerimaan siswa baru yang masih berlangsung.
"Sekarang banyak anak-anak yang sudah daftar di SMA swasta, akhirnya pindah ke sekolah negeri," kritiknya.
Baca Juga: Banjir Bekasi Ternyata 'Disengaja', Dedi Mulyadi Ngamuk: Pak Bupati, Kontraktornya Gak Ahli
Dalam rapat tersebut, Habib meminta Menteri Dikdasmen Abdul Mu'ti untuk turun tangan meluruskan kebijakan Pemerintah Provinsi Jawa Barat tersebut.
"Kami mohon semacam arahan dari Pak Menteri khusus untuk Provinsi Jawa Barat," ucapnya.
Solusi Darurat
Sebelumnya, Gubernur Jawa Barat Dedi Mulyadi menyatakan bahwa kebijakan ini adalah solusi darurat untuk mengatasi tingginya angka anak putus sekolah.
Ia berdalih, banyak anak dari keluarga kurang mampu tidak bisa mengakses sekolah negeri karena keterbatasan daya tampung.
Kebijakan ini diklaim sebagai respons cepat agar anak-anak dari keluarga miskin tetap dapat melanjutkan pendidikan, meskipun berisiko menurunkan kualitas pembelajaran karena ruang kelas menjadi terlalu padat.
Tag
Berita Terkait
Terpopuler
- 4 Link DANA Kaget Khusus Jumat Berkah: Klaim Saldo Gratis Langsung Cuan Rp 345 Ribu
- Owner Bake n Grind Terancam Penjara Hingga 5 Tahun Akibat Pasal Berlapis
- Beda Biaya Masuk Ponpes Al Khoziny dan Ponpes Tebuireng, Kualitas Bangunan Dinilai Jomplang
- 5 Link DANA Kaget Terbaru Bernilai Rp 434 Ribu, Klaim Sekarang Sebelum Kehabisan!
- Unggahan Putri Anne di Tengah Momen Pernikahan Amanda Manopo-Kenny Austin Curi Perhatian
Pilihan
-
Grand Mall Bekasi Tutup, Netizen Cerita Kenangan Lawas: dari Beli Mainan Sampai Main di Aladdin
-
Jay Idzes Ngeluh, Kok Bisa-bisanya Diajak Podcast Jelang Timnas Indonesia vs Irak?
-
278 Hari Berlalu, Peringatan Media Asing Soal Borok Patrick Kluivert Mulai Jadi Kenyataan
-
10 HP dengan Kamera Terbaik Oktober 2025, Nomor Satu Bukan iPhone 17 Pro
-
Timnas Indonesia 57 Tahun Tanpa Kemenangan Lawan Irak, Saatnya Garuda Patahkan Kutukan?
Terkini
-
93 KK di Kampung Nelayan Indramayu Mendapatkan Layanan Sambung Listrik Gratis dari PLN
-
Modal Rp 20 Ribu, Pria Ini Bikin Geger Pasar Malam Usai Sabet Dua Sepeda Listrik Sekaligus
-
Mengenang Kejayaan Grand Mall Bekasi, Dulu Primadona Kini Sepi Bak Rumah Hantu
-
4 Fakta Tutupnya Grand Mall Bekasi, Kalah Saing hingga Tinggalkan Kenangan Manis
-
Agustina Wilujeng: Kader Posyandu Adalah Garda Terdepan Kesehatan Warga Semarang
-
Viral Airlangga Hartarto Terekam Dorong Dedi Mulyadi, Biar Bisa Foto di Samping Jusuf Kalla
-
Wajar Kepala Daerah Ngamuk, Ini Sederet Masalah jika TKD Dipotong Kemenkeu
-
Tewas usai Melahirkan Bayi, Mayat Terapis Wanita Ditemukan di Musala Terminal Kalideres
-
Polisi Kondisi Mabuk Perkosa Gadis 16 Tahun, Begini Nasib Bripka RN Gegara Ulah Cabulnya!
-
Kejar Target 80 GW PLTS Desa, Bahlil Kirim Tim ke India Pelajari Listrik Murah 3 Sen/KWh