Suara.com - Sebuah fenomena sosial yang cukup mengejutkan datang dari Kabupaten Blitar, Jawa Timur.
Belakangan ini, puluhan guru perempuan yang baru saja diangkat menjadi Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja (PPPK) ramai-ramai mengajukan gugatan cerai.
Kabar ini sontak viral dan memicu berbagai spekulasi. Apakah status baru dan kemandirian finansial menjadi pemicu utama retaknya rumah tangga mereka? Atau ada masalah lebih dalam yang akhirnya terungkap?
Mari kita bedah lebih dalam, seberani apa para guru ini dan apa yang sesungguhnya terjadi di balik lonjakan angka perceraian di kalangan pendidik ini.
Lonjakan Gugatan Cerai yang Bikin Geger
Bayangkan, hanya dalam kurun waktu enam bulan pertama tahun ini, tercatat ada 20 guru PPPK di Kabupaten Blitar yang mengajukan izin untuk bercerai.
Angka ini menunjukkan peningkatan signifikan dibandingkan tahun sebelumnya.
Yang lebih menarik perhatian, sekitar 75 persen dari mereka yang mengajukan gugatan adalah pihak perempuan.
Mayoritas dari pernikahan ini bukanlah pernikahan seumur jagung; rata-rata sudah berjalan lebih dari lima tahun.
Baca Juga: Bikin Konten Mesum Demi Viral, Motovlog Pakansari Kini Merengek Minta Maaf
Hal ini mematahkan asumsi bahwa perceraian hanya rentan terjadi pada pasangan baru.
Justru, sepertinya ada bom waktu yang akhirnya meledak setelah salah satu pihak memiliki 'senjata' baru: kemapanan ekonomi.
Gaji PPPK: Katalisator Perceraian atau Jalan Menuju Kebebasan?
Faktor ekonomi disebut-sebut sebagai pemicu utama. Dinas Pendidikan Kabupaten Blitar mengonfirmasi bahwa banyak dari gugatan ini dilatari oleh kondisi finansial.
Sebagian besar suami dari para guru PPPK ini bekerja di sektor informal dengan penghasilan tidak menentu, bahkan ada yang tidak memiliki pekerjaan tetap.
Kepala Bidang Pengelolaan SD Disdik Kabupaten Blitar, Deni Setiawan, memberikan keterangan yang cukup jelas mengenai pola ini.
"Memang yang mengajukan kebanyakan PPPK wanita, dan usia pernikahan rata-rata lebih dari 5 tahun. Kemudian suami atau pasangannya bukan pekerja tetap atau di sektor formal yang secara nominal tidak bisa dipastikan penghasilannya. Mungkin itu juga (jadi penyebabnya)," ujar Deni.
Setelah diangkat menjadi PPPK, para guru ini menerima gaji dan tunjangan yang terbilang stabil dan layak.
Berdasarkan peraturan yang ada, gaji PPPK bisa berkisar antara Rp2,5 juta hingga lebih dari Rp4,5 juta per bulan, tergantung golongan, belum termasuk berbagai tunjangan.
Dengan penghasilan ini, mereka tak lagi sepenuhnya bergantung pada suami untuk menopang ekonomi keluarga.
Kemandirian finansial inilah yang diduga kuat menjadi katalisator.
Ia memberikan keberanian dan pilihan bagi para istri untuk keluar dari pernikahan yang mungkin sudah lama terasa tidak sehat.
Bukan Cuma Soal Uang: Bongkar Isu Kepercayaan yang Terpendam
Meskipun faktor ekonomi menjadi alasan yang paling sering muncul di permukaan, rasanya terlalu dangkal jika menyimpulkan ini semua hanya karena uang.
Kemandirian finansial seringkali hanya menjadi pemicu yang membuka kotak pandora masalah rumah tangga yang lebih kompleks, salah satunya adalah trust issue atau krisis kepercayaan.
Beberapa faktor yang bisa dianalisa dari kasus perceraian ini:
Pergeseran Peran: Ketika istri yang sebelumnya mungkin tidak berpenghasilan atau berpenghasilan kecil tiba-tiba menjadi penopang utama ekonomi, dinamika kekuasaan dalam rumah tangga bisa berubah.
Jika tidak diimbangi dengan komunikasi dan rasa saling menghargai, ini bisa menimbulkan konflik.
Masalah Lama yang Terkuak: Persoalan seperti kurangnya tanggung jawab, komunikasi yang buruk, atau bahkan ketidaksetiaan yang selama ini coba ditelan dan ditoleransi karena ketergantungan ekonomi, kini tak ada lagi alasan untuk dipertahankan.
Gaji PPPK menjadi tiket untuk lepas dari jerat tersebut.
Hilangnya Rasa Hormat: Kesenjangan pendapatan yang drastis, di mana istri kini jauh lebih mapan, bisa menggerus rasa hormat dan memicu pertengkaran terus-menerus yang merusak fondasi kepercayaan antar pasangan.
Fenomena di Blitar ini menjadi cerminan bahwa status ASN atau PPPK bukan sekadar tentang stabilitas karier, tetapi juga bisa menjadi titik balik dalam kehidupan personal.
Ia memberikan kekuatan bagi individu, terutama perempuan, untuk membuat keputusan besar yang sebelumnya tak terpikirkan.
Pihak Dinas Pendidikan pun mengingatkan agar para guru tidak merasa glamor dan melupakan keluarga terdekat yang telah mendukung dari awal.
Ini menunjukkan adanya kekhawatiran bahwa status baru ini bisa mengubah prioritas seseorang.
Jadi, apakah para guru ini egois? Atau mereka hanya wanita-wanita berani yang akhirnya mengambil kendali atas hidup mereka setelah bertahun-tahun terbelenggu dalam pernikahan yang tidak membahagiakan?
Berita Terkait
Terpopuler
- 6 Sabun Cuci Muka dengan Kolagen agar Kulit Tetap Kenyal dan Awet Muda
- 9 Sepatu Lokal Senyaman Skechers Ori, Harga Miring Kualitas Juara Berani Diadu
- Shio Paling Hoki pada 8-14 Desember 2025, Berkah Melimpah di Pekan Kedua!
- Sambut HUT BRI, Nikmati Diskon Gadget Baru dan Groceries Hingga Rp1,3 Juta
- 23 Kode Redeem FC Mobile Terbaru 7 Desember: Raih Pemain 115, Koin, dan 1.000 Rank Up
Pilihan
-
Penipuan Pencairan Dana Hibah SAL, BSI: Itu Hoaks
-
9 Mobil Bekas Paling Lega dan Nyaman untuk Mengantar dan Jemput Anak Sekolah
-
Belum Sebulan Diluncurkan, Penjualan Toyota Veloz Hybrid Tembus 700 Unit
-
Kekayaan dan Gaji Endipat Wijaya, Anggota DPR Nyinyir Donasi Warga untuk Sumatra
-
Emiten Adik Prabowo Bakal Pasang Jaringan Internet Sepanjang Rel KAI di Sumatra
Terkini
-
Menteri Pigai: Pembangunan Nasional Tak Cuma Ekonomi, Harus Berbasis HAM
-
Kebakaran Gedung Terra Drone Telan 22 Nyawa, Kemensos Bergerak Cepat Lakukan Asesmen Korban
-
DPR Dorong Status Bencana Nasional, Kesehatan Pengungsi Aceh Kian Memprihatinkan
-
Hasto PDIP: Bencana Alam Tak Lepas dari Korupsi SDA dan Mafia Kekuasaan
-
Kemensos Siapkan Santunan Rp 15 Juta untuk Korban Meninggal Bencana Sumatra, Kapan Cair?
-
Gempa M 4,7 Guncang Sumbar, BMKG Ungkap Sudah Terjadi 16 Kali Sepekan
-
Sidang Perkara Tata Kelola Minyak, Kerry Riza Bantah Intervensi Penyewaan Kapal Oleh Pertamina
-
Kurangi Risiko Bencana Hidrometeorologi, KLH Dukung Penanaman Pohon di Hulu Puncak
-
Penasihat DWP Kemendagri Tri Tito Karnavian Tegaskan Kualitas Manusia Indonesia: Mulai dari Keluarga
-
Trotoar 'Maut' di Tugu Yogyakarta, Pedestrian Jogja Belum Ramah Difabel