Suara.com - Pernyataan Menteri Hak Asasi Manusia (HAM), Natalius Pigai, yang menyebut pengalihan data pribadi WNI ke Amerika Serikat tidak melanggar prinsip HAM sontak menjadi pusat kontroversi.
Di atas kertas, jaminannya terdengar logis: selama prosesnya tunduk pada Undang-Undang Pelindungan Data Pribadi (UU PDP), segalanya akan aman dan terkendali.
Ia menekankan bahwa pertukaran data tersebut tidak dilakukan secara serampangan, melainkan dengan tata kelola yang aman dan terukur.
"Selama dijalankan berdasarkan aturan yang ada, maka tidak ada pelanggaran terhadap prinsip HAM," ujar Pigai dikutip Selasa (29/7/2025).
Pernyataannya menggarisbawahi bahwa kerangka hukum Indonesia telah disiapkan untuk mengawasi transfer data lintas negara secara bertanggung jawab.
Secara teori, UU PDP memang menjadi benteng yang dirancang untuk melindungi setiap informasi pribadi warga dari penyalahgunaan.
Namun, di ruang publik yang riuh, jaminan tersebut disambut dengan skeptisisme mendalam, bukan tanpa alasan.
Kredibilitas pernyataan Pigai dipertaruhkan di hadapan memori kolektif masyarakat mengenai penegakan HAM di Indonesia.
Bagi banyak warga, terutama aktivis dan korban, masa jabatan seorang pejabat HAM diukur dari kemampuannya menuntaskan kasus-kasus yang menggantung.
Baca Juga: Amerika Sumringah Dapat Data RI, Pemerintah: Bukan Info Pribadi dan Strategis
Kenyataannya, sejumlah kasus pelanggaran HAM berat di masa lalu tak kunjung menemukan titik terang dan keadilan, meninggalkan luka lama yang terus menganga.
Kegagalan inilah yang membangun tembok ketidakpercayaan yang kini harus dihadapi oleh Pigai.
Ketika sosok yang rekam jejaknya dalam penegakan HAM dianggap belum memuaskan oleh sebagian besar publik mengeluarkan jaminan, keraguan pun muncul secara alami.
Pertanyaannya menjadi lebih fundamental: bagaimana publik bisa memercayai jaminan perlindungan HAM dalam ranah digital dari figur yang dinilai belum berhasil menuntaskan pelanggaran HAM di dunia nyata?
Pernyataan langsung Pigai alih-alih menenangkan, justru memicu perdebatan lebih lanjut.
Argumennya yang berlandaskan kepatuhan hukum pada UU PDP seolah mengabaikan konteks yang lebih besar: ekosistem digital Indonesia yang keropos dan rentan.
Berita Terkait
Terpopuler
- Profil 3 Pelatih yang Dirumorkan Disodorkan ke PSSI sebagai Pengganti Kluivert
- 5 Pilihan Produk Viva untuk Menghilangkan Flek Hitam, Harga Rp20 Ribuan
- 5 Rekomendasi Mobil Sunroof Bekas 100 Jutaan, Elegan dan Paling Nyaman
- Warna Lipstik Apa yang Bagus untuk Usia 40-an? Ini 5 Rekomendasi Terbaik dan Elegan
- 5 Day Cream Mengandung Vitamin C agar Wajah Cerah Bebas Flek Hitam
Pilihan
-
4 HP Memori 512 GB Paling Murah, Cocok untuk Gamer dan Konten Kreator
-
3 Rekomendasi HP Infinix 1 Jutaan, Speknya Setara Rp3 Jutaan
-
5 HP Layar AMOLED Paling Murah, Selalu Terang di Bawah Terik Matahari mulai Rp1 Jutaan
-
Harga Emas Naik Setelah Berturut-turut Anjlok, Cek Detail Emas di Pegadaian Hari Ini
-
Cerita Danantara: Krakatau Steel Banyak Utang dan Tak Pernah Untung
Terkini
-
Megawati Tawarkan Pancasila Jadi Etika Global Baru: Dunia Butuh Moralitas, Bukan Dominasi Baru
-
Terkuak! Detik-detik Mengerikan Sebelum Pemuda Nekat Gantung Diri di Flyover Pasupati Bandung
-
Bupati Sudewo Gagal Dimakzulkan: DPRD Pati Bantah Ada Rekayasa, Apa Hasil Rapat Paripurna?
-
Kala Megawati Kenang Momen Soeharto Tolak Bung Karno Dimakamkan di TMP
-
Peringatan Megawati Buat Dunia: Penjajahan Kini Hadir Lewat Algoritma dan Data
-
Wanti-wanti Pemprov DKI Hadapi Cuaca Ekstrem, DPRD Pesimistis Jakarta Bebas Banjir, Mengapa?
-
Ada Apa dengan Jokowi? Batal Hadiri Kongres III Projo Karena Anjuran Tim Dokter
-
Pengunjung Tak Perlu Cemas, Ini Kantong-kantong Parkir Konser BLACKPINK di SUGBK Jakarta
-
Megawati Ingatkan Soal Bahaya AI: Buat Saya yang Paling Baik Adalah Otak yang Diberikan Tuhan
-
Cahaya dan Harapan di HLN ke-80: PLN Sambungkan Listrik Gratis bagi Keluarga Prasejahtera di Padang