Suara.com - Ketua Tim Gabungan Pencari Fakta (TGPF) Peristiwa Kerusuhan Mei 1998, Marzuki Darusman, menegaskan ada bagian krusial dari sejarah reformasi yang tidak boleh diizinkan lenyap dari ingatan publik.
Menurutnya, Tragedi 98 bukan sekadar pergolakan politik, melainkan juga menyimpan luka mendalam akibat diskriminasi rasial yang secara spesifik menyasar perempuan keturunan Tionghoa.
“Kejadian diskriminasi rasial. Karena yang korban itu kebanyakan perempuan keturunan Tionghoa,” ujar Marzuki saat ditemui di Taman Ismail Marzuki, Jakarta, beberapa waktu lalu.
Dia menekankan agar tragedi kemanusiaan tersebut tidak sampai terhapus dari narasi sejarah nasional, yang kabarnya tengah disusun ulang oleh pemerintah.
Marzuki mewanti-wanti bahaya jika sejarah diinstrumentalisasi sebagai alat kekuasaan melalui dalih penulisan ulang.
Berkaca dari pengalaman era Orde Baru, ia menyebut bahwa monopoli penulisan sejarah versi penguasa terbukti efektif melumpuhkan nalar kritis masyarakat.
Oleh karena itu, Marzuki secara tegas menyatakan penolakannya terhadap wacana penulisan ulang sejarah Indonesia yang digulirkan oleh Kementerian Budaya.
“Kita harus tetap menolak sampai batal karena sejarah ini jadi alat. Sejarah itu nanti akan menentukan apa artinya kita jadi orang Indonesia."
"Tanda-tanda bahwa kalau satu pemerintahan mulai dengan menulis-nulis sejarah, itu kejadian juga waktu Orde Baru. Mereka mulai juga dengan penulisan sejarah,” tutur Marzuki.
Baca Juga: Hasto Ungkap Pesan Megawati Terkait Proyek Penulisan Ulang Sejarah RI
Ia menambahkan, narasi sejarah yang ditulis secara sepihak berisiko mengukuhkan kelompok tertentu sebagai pemenang yang merasa berhak menentukan arah bangsa.
“Setelah sejarah itu ditulis, bahwa ada kelompok tertentu yang istimewa dalam masyarakat yang memenangkan pertarungan, dan karena itu harus menentukan galah-galahnya, itu susah dah. Artinya masyarakat dilumpuhkan,” katanya.
Lebih jauh, Marzuki menilai penyelesaian yudisial Tragedi 98 telah terlalu lama dibiarkan menggantung.
Hingga kini, hampir tiga dekade berlalu, pemerintah dinilai masih gagal menuntaskan kasus pelanggaran HAM berat tersebut.
“Ini mesti cepat diselesaikan. Kalau tidak, terjadi seperti sekarang, sudah 30 tahun belum diselesaikan,” katanya.
Ia juga mengingatkan bahwa laporan yang dirilis TGPF pada masanya sebenarnya hanya mencakup sebagian kecil dari kasus yang terjadi di lapangan.
Tag
Berita Terkait
Terpopuler
- 6 Ramalan Shio Paling Beruntung di Akhir Pekan 4-5 Oktober 2025
- DANA Kaget Jumat Berkah: Klaim Saldo Gratis Langsung Cair Rp 255 Ribu
- Fakta-Fakta Korupsi Bupati HSS Kalsel, Diduga Minta Dana Proyek Puluhan Miliar
- 20 Kode Redeem FC Mobile Terbaru 4 Oktober 2025, Klaim Ballon d'Or dan 16.000 Gems
- 18 Kode Redeem FC Mobile Terbaru 3 Oktober: Klaim Ballon d'Or 112 dan Gems
Pilihan
-
Getol Jualan Genteng Plastik, Pria Ini Masuk 10 Besar Orang Terkaya RI
-
BREAKING NEWS! Maverick Vinales Mundur dari MotoGP Indonesia, Ini Penyebabnya
-
Harga Emas Terus Meroket, Kini 50 Gram Dihargai Rp109 Juta
-
Bursa Saham 'Pestapora" di Awal Oktober: IHSG Naik, Transaksi Pecahkan Rekor
-
165 Kursi Komisaris BUMN Dikuasai Politisi, Anak Buah Prabowo Merajai
Terkini
-
HUT ke-80 TNI di Monas, Ketua DPD RI : TNI Makin Profesional dan Dekat dengan Rakyat
-
Luhut dan Bahlil Apresiasi Pertemuan PrabowoJokowi, Tanda Kedewasaan Politik
-
Dari Salat di Reruntuhan hingga Amputasi: Cerita Mengharukan Korban Selamat Ponpes Al Khoziny
-
Atasi Masalah Sampah Ibu Kota, DPRD Dorong Pemprov DKI dan PIK Jalin Kolaborasi
-
Prabowo: Organisasi TNI yang Usang Harus Diganti Demi Kesiapan Nasional
-
MBG Tetap Jalan Meski Kekurangan Terjadi, Pemerintah Fokus Sempurnakan Perpres Tata Kelola
-
HUT ke-80 TNI, PPAD Ajak Rawat Persatuan dan Kawal Masa Depan Bangsa
-
Kejati Banten Siap Jadi Mediator Polemik Penutupan Jalan Puspitek Serpong
-
HUT ke-80 TNI, Dasco: TNI Profesional dan Berkarakter Rakyat Jaminan Demokrasi
-
Finalisasi Perpres Tata Kelola MBG, Istana Pastikan Rampung Minggu Ini