News / Nasional
Minggu, 07 September 2025 | 06:59 WIB
Direktur Eksekutif Lokataru Foundation, Delpedro Marhaen ditetapkan sebagai tersangka oleh Polda Metro Jaya. (Linkedln)
Baca 10 detik
  • TAUD mengkritik keras penangkapan dan penetapan tersangka Delpedro Marhaen
  • Mereka menilai penetapan tersangka Delpedro dan aktivis atas tudingan sebagai provokator kericuhan sebagai bentuk kriminalisasi
  • Polda Metro Jaya sebelumnya telah menetapkan 43 orang sebagai tersangka terkait aksi demo ricuh 25 dan 28 Agustus 2025 di Jakarta.
[batas-kesimpulan]

Suara.com - Tim Advokasi untuk Demokrasi (TAUD) mengkritik keras penangkapan dan penetapan tersangka Direktur Eksekutif Lokataru Foundation, Delpedro Marhaen dan sejumlah aktivis terkait aksi demo.

Anggota TAUD, Fadhil Alfatan, menilai penetapan tersangka Delpedro dan aktivis atas tudingan sebagai provokator kericuhan sebagai bentuk kriminalisasi.

"Kami menduga kuat, konstruksi tuduhan terhadap orang-orang yang dituduh sebagai penghasut, khususnya yang menjadi klien kami Delpedro Marhaen dan kawan-kawan, adalah tuduhan yang konspiratif," ujar Fadhil dalam konferensi pers dikutip dari YouTube YLBHI, Sabtu (6/9/2025).

Upaya kriminalisasi ini, kata Fadhil, nampak terlihat ketika aparat kepolisian nampak mencoba mengait-kaitkan postingan di media sosial dengan peristiwa kerusuhan yang terjadi saat demo 25 dan 28 Agustus 2025.

Namun, polisi menurutnya gagal membuktikan adanya kausalitas atau hubungan sebab-akibat yang jelas, sebuah prasyarat inti yang wajib dipenuhi sebelum menerapkan pasal penghasutan.

Ia mencontohkan bahwa Lokataru sebagai lembaga riset dan advokasi HAM tidak memiliki kapasitas apa pun untuk menggerakkan massa, melakukan kekerasan, atau melempar bom molotov seperti yang dituduhkan.

"Sehingga kami menilai di sini, tidak ada suatu tuduhan yang jelas, dan karena itu kami menduga kuat ini konspiratif," tegasnya.

Penegakan Hukum Prematur dan Gagal Ungkap Aktor Intelektual

TAUD juga menilai proses hukum yang berjalan saat ini sangat prematur.

Baca Juga: Buku Reggae Jadi Bukti Hasutan? Polisi Sita 'Negeri Pelangi' dari Kamar Delpedro

Fadil menyoroti bahwa prioritas aparat kepolisian bukanlah mengungkap fakta sebenarnya atau akar persoalan, seperti mencari siapa "penunggang gelap" atau aktor intelektual di balik kerusuhan.

"Mengungkap fakta yang sebenarnya dan menyelesaikan akar persoalan yang sesungguhnya bukan merupakan prioritas pemerintah, dalam hal ini secara spesifik aparat kepolisian," katanya.

Alih-alih membentuk tim independen pencari fakta yang komprehensif seperti pada kasus-kasus besar lainnya, aparat justru buru-buru memburu para aktivis yang vokal di media sosial.

"Menjadi wajar bahwa ketika banyak orang menyampaikan, penegakan hukum yang terjadi diduga kuat sebagai operasi pencarian kambing hitam," ungkap Fadil.

Massa aksi bentrok dengan personel kepolisian di kawasan Senayan saat menggelar unjuk rasa di depan Gedung DPR RI, Jakarta, Kamis (28/8/2025). [Suara.com/Alfian Winanto]

Kejanggalan lain, lanjutnya, terlihat dari kegagapan aparat dalam proses pemeriksaan dan penggeledahan. Ia merujuk pada kasus Delpedro di mana penyidik sempat berupaya menyita deodoran hingga celana dalam saat menggeledah kantor Lokataru Foundation.

"Jadi datang dan cari, ambil semua baru dianalisis di kantor. Kan enggak gitu cara main penegakan hukum," kritiknya.

Load More