News / Nasional
Selasa, 09 September 2025 | 18:33 WIB
Para pegawai Kementerian Keuangan menyambut Mantan Menteri Keuangan Sri Mulyani usai serah terima jabatan di Kementerian Keuangan, Jakarta, Selasa (9/9/2025). [Suara.com/Alfian Winanto]
Baca 10 detik
  • Sri Mulyani sebelumnya menjadi target kemarahan publik karena kebijakan fiskal yang dianggap memberatkan rakyat,
  • Pencopotan Sri Mulyani memunculkan narasi viral bahwa ia ibarat “karyawan terbaik yang dipecat karena bos punya target tak realistis.”
  • Fenomena simpati terhadap Sri Mulyani mencerminkan “The Underdog Effect”:
[batas-kesimpulan]

Suara.com - Roda nasib berputar begitu cepat di panggung politik Indonesia. Sri Mulyani Indrawati, sosok yang beberapa waktu lalu menjadi salah satu target utama kemarahan publik, yang puncaknya hingga rumahnya dijarah lalu kini justru mengalami pembalikan nasib yang dramatis.

Setelah resmi dicopot dari kursi Menteri Keuangan oleh Presiden Prabowo Subianto, ia kini dibanjiri gelombang simpati yang luar biasa. Fenomena "dari musuh menjadi pahlawan" ini sontak menjadi perbincangan di media sosial.

Apa sebenarnya yang menyebabkan persepsi publik bisa berbalik 180 derajat dalam waktu yang begitu singkat?

1. Dulu: Dimusuhi

Mari kita putar waktu sejenak. Belum lama ini, nama Sri Mulyani identik dengan kebijakan-kebijakan yang dianggap tidak pro-rakyat. Kenaikan cukai, reformasi pajak, dan persepsi bahwa ia adalah bagian dari elite yang abai terhadap kesulitan rakyat membuatnya menjadi sasaran empuk kemarahan.

Puncak dari kebencian ini adalah saat rumahnya menjadi sasaran aksi penjarahan, sebuah tindakan ekstrem yang menunjukkan betapa dalamnya rasa frustrasi publik terhadapnya. Saat itu, hanya sedikit yang membelanya.

2. Kini: Simbol Profesionalisme yang "Dikorbankan"

Semuanya berubah pada hari ia dicopot. Momen pencopotannya langsung melahirkan sebuah narasi baru yang sangat kuat di benak publik: Sri Mulyani bukanlah penjahat, melainkan korban.

Narasi yang paling viral adalah analogi "karyawan terbaik yang di-layoff karena bosnya punya target yang tidak realistis." Dalam narasi ini:

Baca Juga: Intip Isi Garasi Menkeu Baru Purbaya Yudhi Sadewa dari Toyota Alphard Sampai Mercedes-Benz

Sri Mulyani dilihat sebagai seorang profesional berintegritas yang mencoba menjaga "kesehatan keuangan" negara (APBN).

Pemerintahan baru dilihat sebagai "bos" dengan program-program ambisius (seperti makan siang gratis) yang dianggap tidak "napak tanah" dan berisiko membahayakan anggaran negara.

Pencopotannya dianggap sebagai bukti bahwa ia menolak untuk berkompromi dengan kebijakan yang ia anggap salah, dan karena itu ia "dibuang".

3. Psikologi di Balik Simpati: Efek "The Underdog"

Perubahan sikap publik ini adalah contoh klasik dari Efek Underdog (The Underdog Effect). Ketika seorang figur yang kuat dan berkuasa tiba-tiba jatuh atau "dizalimi" oleh kekuatan yang lebih besar, persepsi publik secara alami akan bergeser dari benci menjadi simpati.

Sri Mulyani, yang tadinya dilihat sebagai bagian dari "penguasa yang menindas", kini dilihat sebagai "korban dari sistem kekuasaan yang baru." Publik kini melihatnya sebagai sosok yang sendirian berjuang mempertahankan prinsip di tengah pragmatisme politik, dan akhirnya kalah.

Pelajaran Pahit tentang Politik Persepsi

Kisah berbaliknya nasib Sri Mulyani adalah sebuah pelajaran yang sangat berharga tentang betapa cairnya persepsi publik di era digital.

Kebencian dan simpati bisa datang dan pergi secepat kilat, tergantung pada narasi mana yang paling berhasil merebut hati rakyat.

Kini, Sri Mulyani mungkin meninggalkan jabatannya dengan kepala tegak, membawa serta simpati dari jutaan orang yang dulu pernah menghujatnya. Sebuah akhir yang ironis, tragis, namun juga sangat manusiawi.

Bagaimana menurut Anda?

Apakah gelombang simpati untuk Sri Mulyani ini tulus, atau publik hanya sedang mencari simbol baru untuk melawan pemerintahan? Diskusikan di kolom komentar!

Load More