News / Nasional
Selasa, 09 September 2025 | 19:27 WIB
Tim Advokasi untuk Demokrasi (TAUD) hari ini merilis data mengejutkan mengenai dugaan pelanggaran hak digital di Indonesia. (tangkap layar)
Baca 10 detik
  • TAUD adalah gabungan dari beberapa lembaga yang berhimpun, dan berfokus pada demokrasi dan hak asas manusia
  • TAUD mencatat korban anak-anak dibawah umur pada aksi akhir Agustus 2025
  • TAUD mencatat jenis pelanggaran hak digital paling banyak adalah serangan digital.
[batas-kesimpulan]

Suara.com - Tim Advokasi untuk Demokrasi (TAUD) hari ini merilis data mengejutkan mengenai dugaan pelanggaran hak digital di Indonesia.

Dalam konferensi pers yang disiarkan melalui akun YouTube Yayasan LBH Indonesia pada Selasa, 9 September, TAUD membeberkan total 92 catatan pelanggaran hak digital yang melibatkan 108 jenis pelanggaran berbeda, terhitung sejak 25 Agustus hingga 8 September 2025.

TAUD adalah gabungan dari beberapa lembaga yang berhimpun, dan berfokus pada demokrasi dan hak asas manusia.

“TAUD sendiri merupakan beberapa gabungan lembaga yang berhimpun, yang fokus terhadap demokrasi dan hak asasi manusia yang dalam aksis kemarin turut memantau, memonitoring, dan juga mendampingi serta turut di lapangan, terkait situasi hak asasi manusia yang dialami massa aksi,” ucap moderator tersebut.

TAUD mencatat korban anak-anak dibawah umur pada aksi akhir Agustus 2025. Terdapat 399 korban anak dibawah umur, 362 yang pernah ditahan, 331 yang sudah dibebaskan, 5 yang masih ditahan, dan 59 masih perlu konfirmasi.

Menurut data TAUD, sumber aduan pelanggaran didominasi oleh pemantauan langsung dengan 55,4 %, disusul oleh aduan melalui Website SAFENet (22,8 %), Aduan TAUD (16,3 %), dan Aduan Helpline SAFENet (5,4 %).

TAUD mencatat jenis pelanggaran hak digital paling banyak adalah serangan digital (35 kasus), diikuti oleh akses internet (26 kasus), dan kriminalisasi (19 kasus).

Selain itu, terdapat juga moderasi berlebihan (16 kasus), operasi informasi (8 kasus), dan hate speech/KBGO (4 kasus).

Rincian kasus yang diungkap TAUD meliputi:

Baca Juga: Geger Isu Prabowo Diisolasi Saat Demo Memanas, Nama Teddy Terseret dalam Pusaran Curiga Netizen

  • Kriminalisasi: Terjadi terhadap admin-admin media sosial yang kritis dan netizen yang bersuara terkait demonstrasi, semuanya dituduh menjadi dalang kerusuhan pada demonstrasi tanggal 25 dan 28 Agustus.
  • Serangan Digital: Menargetkan tidak hanya demonstran tetapi juga netizen kritis yang menyuarakan kondisi saat ini. Bentuknya beragam, mulai dari spam call, doxing, hack akun, fake order, hingga kontak WhatsApp sejumlah pegiat koalisi masyarakat sipil yang direpresentasikan sebagai milik sejumlah anggota Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia. Hal ini menimbulkan spam, pelecehan, dan gangguan keamanan. Bahkan terdapat informasi DPO (Daftar Pencarian Orang) dengan doxing yang disebar menyasar mahasiswa-mahasiswa yang berdemonstrasi. Bentuk pelanggaran lainnya termasuk penangkapan, penyitaan handphone, dan permintaan password.
  • Pembatasan Akses Internet dan Perangkat: Pembatasan akses terhadap internet dan sejumlah fitur di media sosial, penangguhan akun, serta pemadaman listrik di beberapa wilayah Jakarta dan Bandung saat demonstrasi. Ini menghambat arus informasi bagi masyarakat dan berpotensi memperbesar ancaman fisik bagi peserta aksi. TAUD juga menemukan dugaan sabotase kabel optik server yang terbakar dan penonaktifan fitur live TikTok ketika demonstrasi.
  • Moderasi Berlebihan: Informasi seputar aksi dan konten kritis menjadi sasaran. Salah satunya adalah konten video perintah polisi menembak para demonstran yang masuk ke markas. Akun-akun penyebar video tersebut ditangguhkan di media sosial.
  • Temuan Informasi Bohong (Operasi Informasi): Diduga ada operasi informasi yang bertujuan membuat demonstrasi 1 September menjadi kerusuhan. Informasi bohong ini diproduksi seperti laporan telkap dan konsolidasi mahasiswa bernada provokatif hingga doxing, terjadi di Bogor, Bali, dan Yogyakarta.
  • Hate Speech dan KBGO (Kekerasan Berbasis Gender Online): Masih terus terjadi, menyasar etnis dan perempuan.

Alif, dari LBH Jakarta mengatakan berdasarkan pendampingan dan pemantauan lapangan, TAUD menemukan beberapa dugaan pelanggaran terhadap prosedur hukum, dan TAUD juga mencatat berbasis pemantauan langsung dan pendampingan hukum kepada peserta Aksi yang dilakukan penangkapan oleh Satuan Kewilayahan Polda Metro Jaya.

“TAUD pada peristiwa akhir Agustus, 25-31 Agustus, mencoba memberikan akses bantuan hukum. Paling tidak, kita cangkupannya adalah satuan kewilayahan Polda Metro Jaya," kata Alif.

Massa aksi bentrok dengan personel kepolisian di kawasan Senayan saat menggelar unjuk rasa di depan Gedung DPR RI, Jakarta, Kamis (28/8/2025). [Suara.com/Alfian Winanto]

“Dalam catatan kami, dalam berbasiskan pemantauan di lapangan juga ketika pendampingan hukum kepada beberapa peserta aksi yang dilakukan penangkapan oleh satuan kewilayahan Polda Metro Jaya, kami menemukan 8 dugaan pelanggaran atau tindakan oleh anggota kepolisian,” katanya menambahkan.

Berdasarkan catatan mereka, mencakup:

  • Penangkapan dilakukan lebih dari 1x24 jam.
  • Penangkapan dan penahanan tidak diberitahukan kepada pihak keluarga.
  • Pembatasan informasi perihal identitas dan jumlah yang ditangkap.
    Pemeriksaan tanpa didampingi penasihat hukum.
  • Korban atau keluarga korban tidak dapat memilih penasihat hukum secara leluasa.
  • Penyitaan dan penggeledahan yang tidak sesuai prosedur dalam KUHAP.
  • Penangkapan dilakukan dengan kekerasan.

Penangkapan dan penahanan tidak disertai dengan surat perintah dan surat pemberitahuan penangkapan dan/atau penahanan.
Penangkapan dibuat seolah-olah "tertangkap tangan" padahal tidak memenuhi syarat-syarat tertangkap tangan dalam KUHAP.

Data ini kata dia, akan terus berkembang dan akan terus bergulir karena sampai saat ini TAUD belum menutup akses bantuan tersebut.

TAUD menyerukan agar pemerintah dan aparat penegak hukum segera menghentikan segala bentuk pelanggaran hak digital dan memastikan kebebasan berekspresi serta hak-hak dasar warga negara dijamin sepenuhnya.

Reporter: Safelia Putri

Load More