News / Nasional
Senin, 22 September 2025 | 12:49 WIB
Ilustrasi menu makanan di program Makan Bergizi Gratis (MBG). (Antara)
Baca 10 detik
  • KPAI mendesak pemerintah untuk menghentikan sementara program Makan Bergizi Gratis karena kasus keracunan pada anak-anak terus meningkat dan sudah tidak bisa ditolerir
  • Kepala Badan Gizi Nasional (BGN) mengakui adanya masalah serius, namun menganggapnya sebagai kelalaian SOP dari dapur-dapur baru 
  • Kasus spesifik seperti keracunan 314 siswa di Banggai dan penemuan belatung menunjukkan adanya kegagalan pengawasan dalam rantai pasok dan produksi

Suara.com - Rentetan kasus keracunan massal yang menimpa anak-anak sekolah penerima program Makan Bergizi Gratis (MBG) memicu alarm darurat. Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) secara tegas mengusulkan agar pemerintah menghentikan sementara program ambisius ini.

Namun, di tengah desakan kuat dan jatuhnya korban, program terus berjalan, memunculkan pertanyaan besar mengapa program MBG tak dihentikan saja atau dialihkan?

KPAI menilai, insiden keracunan yang terus meningkat sudah tidak bisa lagi dianggap sebagai kejadian biasa. Penghentian sementara program diperlukan segera agar Badan Gizi Nasional (BGN) selaku penyelenggara dapat melakukan evaluasi total, memastikan panduan dan pengawasan yang ada benar-benar dijalankan di lapangan, bukan sekadar dokumen di atas kertas.

"KPAI menyoroti berbagai peristiwa keracunan makanan yang terus meningkat, kejadiannya bukan menurun ya. Satu kasus anak yang mengalami keracunan bagi KPAI sudah cukup banyak," kata Wakil Ketua KPAI Jasra Pustra dalam siaran persnya, Minggu (21/9/2025).

Bagi KPAI, pertaruhan dalam program ini adalah nyawa dan kesehatan anak-anak Indonesia, termasuk mereka yang masih di usia Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD). Jasra menegaskan bahwa daya tahan tubuh anak sangat rentan dan berbeda jauh dari orang dewasa, membuat mereka menjadi korban yang paling menderita ketika terjadi kelalaian dalam penyediaan makanan.

"Keracunan makanan yang dialami anak Indonesia dalam program MBG, seperti sudah tidak bisa ditolerir. Saya kira pertahanan anak sekecil itu, sangat berbeda dengan orang dewasa. Apalagi kita tahu, kebijakan negara yang mengetahui kondisi dari dalam keluarga (masih sulit di tembus)," ujarnya.

Jasra memahami bahwa pemerintah memiliki target yang harus dicapai. Namun, target tersebut tidak boleh mengorbankan aspek fundamental, yaitu keselamatan dan kesehatan anak.

"Anak anak ini pertahanannya masih sangat lemah, tubuhnya masih perlu di tegakkan dengan dukungan khusus. Dan mereka tidak mudah mendiskripsikan kondisi kesehatan," tutur Jasra.

BGN Akui 'Sport Jantung', Salahkan Dapur Baru

Baca Juga: Banyak Siswa Keracunan MBG, FKBI Menuntut Adanya Skema Ganti Rugi dan Pemulihan Korban

Di sisi lain, Kepala Badan Gizi Nasional (BGN) Dadan Hindayana tidak menampik adanya masalah serius di lapangan. Ia bahkan secara terbuka mengaku was-was setiap hari, terutama saat ada Satuan Pelayanan Pemenuhan Gizi (SPPG) atau dapur baru yang mulai beroperasi.

"Memang sampai Desember ini saya setiap hari selalu sport jantung karena akan lahir 1 SPPG baru," kata Dadan dalam sebuah wawancara yang ditayangkan SCTV dalam program Liputan6 talks, Jumat (19/9/2025).

Menurut Dadan, rentetan kasus keracunan massal ini bukanlah kesengajaan, melainkan buah dari kelalaian dalam penerapan Standar Operasional Prosedur (SOP), khususnya oleh SPPG yang baru dibentuk dan belum berpengalaman.

"Ada beberapa hal yang masih terjadi karena kelalaian di dalam penerapan SOP terutama masalah teknis. Beberapa hal terjadi dan seringkali ini dialami SPPG yang baru terbentuk," ujar dia.

BGN berdalih bahwa sebuah SPPG baru biasanya membutuhkan waktu adaptasi sekitar tiga bulan untuk bisa berjalan stabil dan sesuai standar.

"Pengalaman kami waktu uji coba 1 SPPG baru akan berjalan lebih baik itu ketika sudah berjalan 3 bulan," ujar Dadan.

Load More