-
Ribuan kasus keracunan makanan dari program Makan Bergizi Gratis (MBG).
-
Prof Tjandra Yoga ungkap 3 titik kritis: dapur, bahan baku, distribusi.
-
Masalah bukan hanya di dapur, tapi juga pestisida dan truk macet.
Suara.com - Meledaknya kasus keracunan makanan dalam Program Makan Bergizi Gratis (MBG) yang telah menelan ribuan korban kini menjadi isu nasional yang disebut-sebut telah menjadi perhatian Istana.
Pakar Kesehatan Masyarakat, Prof dr Tjandra Yoga Aditama, menegaskan ada tiga titik kritis dalam rantai pasok program ini yang harus diawasi secara ketat untuk menghentikan tragedi serupa.
Menurut Prof Tjandra, evaluasi pertama harus dimulai dari jantung operasional program, yaitu dapur SPPG.
Proses persiapan dan pengolahan makanan di sini sangat menentukan keamanan produk akhir.
"Kebersihan berbagai alat dan persiapannya, proses masak yang baik dan benar serta pengemasanan. Tetapi harus diingat bahwa masalah bukan hanya dan belum tentu juga ada di dapur SPPG, masih ada kemungkinan titik kritis lain," ujarnya dalam keterangan yang diterima Suara.com, ditulis Selasa (23/9/2025).
Faktor kedua yang sering diabaikan adalah kualitas bahan mentah itu sendiri.
Ia memperingatkan bahwa sumber pangan bisa menjadi biang keladi utama jika tidak diawasi dengan benar.
Bahan makanan yang terkontaminasi sejak awal akan menghasilkan produk akhir yang berbahaya.
"Tentu ini tergantung dari jenis dan seberapa besar pencemarannya serta bagaimana pengolahan makanan selanjutnya," ujarnya.
Baca Juga: MBG di Bandung Barat Dihentikan Sementara setelah Ratusan Siswa Keracunan
Contohnya, sayuran dengan residu pestisida yang tinggi atau daging yang berasal dari hewan sakit dapat memicu keracunan massal.
Faktor terakhir yang tak kalah penting, yakni proses logistik.
Keterlambatan distribusi, misalnya truk pengangkut bahan pangan yang terjebak di jalan rusak selama berjam-jam atau bahkan berhari-hari, dapat secara drastis menurunkan kualitas dan keamanan makanan.
Hal yang sama berlaku untuk fasilitas penyimpanan.
Gudang yang tidak memenuhi standar suhu, ventilasi, atau kelembapan yang ideal dapat menjadi tempat berkembang biaknya bakteri dan patogen berbahaya.
"Memang ada beberapa alur proses yang harus dievaluasi secara mendalam. Dengan keracunan makanan yang sudah sampai ribuan ini maka analisa mendalam pada setiap kejadian tentu dapat menjadi acuan tentang apa yang sebenarnya terjadi di lapangan, yang harus diperbaiki agar jangan sampai terjadi lagi," ucapnya.
Berita Terkait
Terpopuler
- 8 Promo Makanan Spesial Hari Ibu 2025, dari Hidangan Jepang hingga Kue
- 5 Mobil Sedan Bekas yang Jarang Rewel untuk Orang Tua
- 5 Sepatu Lari Hoka Diskon 50% di Sports Station, Akhir Tahun Makin Hemat
- 5 Rekomendasi Sepatu Lokal Senyaman Skechers Buat Jalan-Jalan, Cocok Buat Traveling dan Harian
- 6 Mobil Bekas untuk Pemula atau Pasangan Muda, Praktis dan Serba Hemat
Pilihan
-
Bencana Sumatera 2025 Tekan Ekonomi Nasional, Biaya Pemulihan Melonjak Puluhan Triliun Rupiah
-
John Herdman Dikontrak PSSI 4 Tahun
-
Bukan Sekadar Tenda: Menanti Ruang Aman bagi Perempuan di Pengungsian
-
4 Rekomendasi HP Xiaomi Murah, RAM Besar Memori Jumbo untuk Pengguna Aktif
-
Cek di Sini Jadwal Lengkap Pengumuman BI-Rate Tahun 2026
Terkini
-
Pratikno di Gereja Katedral Jakarta: Suka Cita Natal Tak akan Berpaling dari Duka Sumatra
-
Kunjungi Gereja-Gereja di Malam Natal, Pramono Anung: Saya Gubernur Semua Agama
-
Pesan Menko Polkam di Malam Natal Katedral: Mari Doakan Korban Bencana Sumatra
-
Syahdu Misa Natal Katedral Jakarta: 10 Ribu Umat Padati Gereja, Panjatkan Doa untuk Sumatra
-
Melanggar Aturan Kehutanan, Perusahaan Tambang Ini Harus Bayar Denda Rp1,2 Triliun
-
Waspadai Ucapan Natal Palsu, BNI Imbau Nasabah Tidak Sembarangan Klik Tautan
-
Bertahan di Tengah Bencana: Apa yang Bisa Dimakan dari Jadup Rp 10 Ribu Sehari?
-
Hampir Sebulan Pasca Banjir Bandang, Aceh Tamiang Masih Berkubang Lumpur dan Menahan Lapar
-
Sikap PKB Usai Kiai Ma'ruf Amin Pilih Jalan Uzlah
-
Dari Masa ke Masa UMP DKI Jakarta Dalam 9 Tahun Terakhir