News / Nasional
Selasa, 07 Oktober 2025 | 08:05 WIB
Kuliah Terbuka “Demokrasi, Agonisme, dan Oposisi Permanen”. (Suara.com/Nur Saylil Inayah)
Baca 10 detik
  • Dosen filsafat Augustinus Setyo Wibowo menyebut struktur politik dan sosial Indonesia masih terjebak dalam budaya feodal yang anti-kritik.

  • Ia menyoroti pentingnya demokrasi agonistik, di mana konflik dan perbedaan justru dilembagakan untuk menjaga dinamika demokrasi.

  • Hilangnya oposisi dan semangat reflektif disebut membuat masyarakat kehilangan otonomi berpikir dan melemahkan demokrasi itu sendiri.

Suara.com - Sebuah kritik tajam datang dari dosen Filsafat Sekolah Tinggi Filsafat (STF) Driyarkara, Augustinus Setyo Wibowo. Ia menilai bahwa struktur politik Indonesia hingga kini masih terjebak dalam logika “feodal”.

Pernyataan itu disampaikan Setyo dalam kuliah terbuka bertajuk “Demokrasi, Agonisme, dan Oposisi Permanen” yang digelar di Perpustakaan Nasional RI, Jakarta Pusat, Senin (6/10/2025).

Menurutnya, hampir seluruh institusi di Indonesia—mulai dari partai politik, kementerian, hingga kampus—masih beroperasi dengan kultur feodal yang berpusat pada patronase dan simbol kekuasaan.

“Kalau mau ngomong demokrasi, semua parpol kita, parpol feodal. Seluruh kementerian kita, mohon maaf, feodal. Lembaga-lembaga kita feodal. Kampus-kampus kita, feodal,” tegasnya.

Setyo kemudian mengutip pemikiran filsuf asal Belgia, Chantal Mouffe, tentang konsep “agonisme” sebagai kerangka untuk memahami demokrasi yang sehat. Dalam demokrasi agonistik, konflik dan perbedaan pendapat bukanlah sesuatu yang harus dihilangkan, melainkan dilembagakan agar tidak menjadi destruktif.

“Demokrasi yang sejati bukanlah tanpa konflik, tapi konflik yang dilembaga dan diatur agar tidak menjadi kekerasan,” jelasnya.

Ia menambahkan, dalam sistem demokrasi agonistik, lawan politik tidak dianggap sebagai musuh yang harus dimusnahkan (antagonisme), melainkan sebagai lawan tanding (adversary) yang legitimasinya diakui.

“Agonisme itu ketika musuh diubah menjadi lawan, sekadar adversary—saling menentang, tapi tetap mengakui legitimasi satu sama lain dalam tantangan demokrasi,” ujar Setyo.

Lebih lanjut, ia menyebut sistem politik dan sosial yang masih feodal melahirkan apa yang disebutnya sebagai “subjek kosong”—individu yang tidak memiliki otonomi dan keberanian untuk berpikir atau berpendapat berbeda.

Baca Juga: Janji Kapolri Sigit Serap Suara Sipil Soal Kerusuhan, Siap Jaga Ruang Demokrasi

“Maka lahirlah subjek yang kosong dalam kegiatan refleksi; dia ada, tapi tidak sadar akan dirinya sebagai berbeda. Dia hidup, tapi tanpa pusat keputusan yang kokoh,” ungkapnya.

Kondisi inilah yang, menurut Setyo, membuat demokrasi agonistik sulit tumbuh di Indonesia. Alih-alih melembagakan perbedaan, sistem politik justru cenderung meniadakan konflik dengan merangkul semua pihak di bawah nama harmoni.

“Dalam situasi Indonesia, di mana konflik diredam atas nama ‘harmoni kosmis’, di mana oposisi tidak ada, bagaimana demokrasi agonistik bisa terjadi? Lawan politik jadi kawan semua, dirangkul semua, selesai,” tutupnya.

Reporter : Nur Saylil Inayah

Load More