News / Nasional
Kamis, 16 Oktober 2025 | 10:47 WIB
Ilustrasi ppekerja menggunakan traktor saat mengolah tanah untuk tanaman singkong di areal lumbung pangan nasional 'food estate' di Tewai Baru, Kabupaten Gunung Mas, Kalimantan Tengah. [ANTARA FOTO/Makna Zaezar]
Baca 10 detik
  • Putra mmengatakan kebijakan melalui food estate serta perkebunan skala besar gagal mewujudkan ketahanan pangan.
  • Pemerintah sengaja membuat desain “kehancuran”, mengingat proyek di lahan gambut sempat memicu dampak besar pada tahun 1997.
  • Menurutnya salah satu contoh nyata adalah kegagalan panen singkong di lokasi food estate yang hasilnya tidak layak konsumsi.

Suara.com - Salah satu anggota Pantau Gambut, Putra Saptian, melontarkan kritik keras terhadap kebijakan pangan pemerintah.

Ia menilai, kebijakan melalui food estate serta perkebunan skala besar gagal mewujudkan ketahanan pangan, dan justru memicu kerusakan lingkungan dan merampas hak-hak petani.

Secara spesifik, Putra menyoroti proyek food estate yang berada di Kalimantan Tengah, dimana dalam hasil studi di penghujung tahun lalu 2024, Pantau Gambut menemukan hanya sedikit area ekstensifikasi program ini yang layak ditanam untuk tanaman pemerintah.

“Kita memantau di tiga kabupaten (di Kalimantan Tengah) yang berada di 30 titik, temuan utama yang kita dapatkan itu hanya 1 persen area ekstensifikasi food estate yang layak ditanami untuk tanaman pertanian,” jelasnya, Rabu (15/10/2025).

Menurut Putra, pemerintah sengaja membuat desain “kehancuran”, mengingat proyek di lahan gambut sempat memicu dampak besar pada tahun 1997.

“Kita mungkin ingat tahun 1997 saat Indonesia dihadapkan atau dilanda oleh kebakaran hutan dan lahan yang sangat hebat karena masifnya konversi lahan gambut di titik yang sama,” ujar Putra, melalui Konferensi Pers, di KeKini Coworking Space, Jakarta Pusat.

Ironisnya, alih-alih melakukan restorasi atau rehabilitasi ekosistem gambut, dan belajar dari kesalahan di masa lalu, Putra menilai pemerintah justru melanjutkan kesalahan ini, dengan melanjutkan proyek yang sama, di tempat, dan dengan pendekatan yang sama.

Tidak hanya secara ekologis seperti masifnya deforestasi dan kegagalan hasil panen, area perencanaan food estate juga dianggap Putra tidak sesuai.

“Selain dampak ekologis, masifnya deforestasi, kegagalan hasil panen, area yang direncanakan di food estate juga tidak sesuai dengan lahan tanaman pertanian untuk tanaman pangan,” kritik Putra.

Baca Juga: DPR RI Resmi Sahkan Pansus Penyelesaian Konflik Agraria, Ini Daftar Anggotanya

Salah satu contoh nyata adalah kegagalan panen singkong di lokasi food estate yang hasilnya tidak layak konsumsi.

“Singkong yang ada di food estate Kalimantan Tengah itu rasanya sangat pahit dan sangat tidak layak dimakan, karena memang jenis tanahnya tidak sesuai dengan komoditas ini,” ucap Putra, lahan gambut ini menurutnya, dipaksa untuk ditanami komoditas panen.

Lebih lanjut, Putra menegaskan bahwa proyek ini lebih didesain untuk kepentingan industri agribisnis daripada petani.

“Ada desain monopoli industri agribisnis, yang dilakukan oleh negara pemberi legitimasi dan di operasionalisasi oleh perusahaan,” tambahnya.

Ia mengklaim bahwa hal ini mengakibatkan munculnya konflik horizontal dan transformasi kelas yang dimana petani menjadi pelaku produksi.

“Proyek food estate di berbagai wilayah telah terbukti terlibat dalam berbagai konflik horizontal, dan juga semacam transformasi kelas yang dimana petani menjadi pelaku produksi, petani malah menjadi guru tani di wilayah atau di sumber kehidupannya sendiri,” tegas Putra.

Load More