News / Nasional
Senin, 10 November 2025 | 18:20 WIB
Tokoh buruh perempuan yang menjadi ikon perlawanan terhadap Orde Baru, Marsinah dan Presiden kedua RI yang menjadi pemimpin Pemerintahan Orde Baru, Soeharto diusulkan mendapat gelar pahlawan nasional pada Peringatan Hari Pahlawan 10 November 2025. [Kolase]
Baca 10 detik
  • Penetapan Marsinah sebagai Pahlawan Nasional bersama Soeharto menciptakan ironi sejarah, mengingat Marsinah adalah korban kekerasan pada masa rezim Orde Baru yang dipimpin Soeharto
  • Lebih dari 30 tahun berlalu, kasus pembunuhan brutal terhadap Marsinah masih belum terungkap sepenuhnya, dan dalang utama di baliknya belum pernah diadili
  • Marsinah dikenang sebagai simbol keberanian dan perlawanan kaum buruh terhadap represi negara dan ketidakadilan, di mana semangatnya terus dihidupkan oleh para aktivis hingga kini

Suara.com - Sebuah ironi sejarah menyelimuti pengumuman gelar Pahlawan Nasional terbaru oleh Presiden Prabowo. Di antara 10 tokoh yang geehormati, nama Marsinah, aktivis buruh yang menjadi simbol perlawanan, kini bersanding dengan Soeharto, presiden yang rezimnya kerap dikaitkan dengan kematian tragisnya.

Keputusan ini memicu perdebatan tajam di kalangan publik dan aktivis. Pasalnya, Marsinah ditemukan terbunuh secara brutal setelah memperjuangkan hak-hak pekerja pada masa Orde Baru, sebuah era yang dipimpin oleh Soeharto dengan cengkeraman militer yang kuat. Kematian Marsinah selalu menjadi noda kelam yang tak terpisahkan dari rezim tersebut.

Lebih dari tiga dekade telah berlalu, namun kasus pembunuhan Marsinah masih menjadi misteri yang menyisakan luka mendalam. Buruh perempuan pemberani dari PT Catur Putra Surya (CPS), Sidoarjo, itu ditemukan tewas pada 8 Mei 1993 di sebuah hutan di Nganjuk, dengan tanda-tanda penyiksaan berat di sekujur tubuhnya.

Perjuangan Berujung Maut di Bawah Represi Orde Baru

Marsinah dikenal sebagai sosok muda yang tak kenal takut dalam menyuarakan keadilan bagi kaum buruh. Ia adalah motor penggerak aksi mogok kerja yang menuntut kenaikan upah sesuai surat edaran Gubernur Jawa Timur pada tahun 1993. Perjuangannya adalah representasi suara para pekerja yang terbungkam di bawah tekanan rezim.

Namun, perjuangan itu harus dibayar mahal. Aksi buruh yang ia pimpin dibubarkan secara paksa oleh aparat militer. Sejumlah rekan kerjanya diinterogasi dan dipaksa menandatangani surat pengunduran diri. Beberapa hari setelah kejadian itu, Marsinah menghilang, hingga akhirnya ditemukan tak bernyawa.

Hasil autopsi mengungkap kekejaman yang tak terbayangkan; ia mengalami kekerasan fisik dan seksual yang sadis sebelum akhirnya dibunuh. Dugaan keterlibatan aparat negara di bawah rezim Soeharto menguat, mengingat Orde Baru dikenal sangat keras dalam menindak setiap bentuk perlawanan, terutama dari kalangan buruh dan aktivis.

Laporan-laporan dari lembaga hak asasi manusia (HAM) secara konsisten menyebut kasus Marsinah sebagai cermin brutalitas negara terhadap pekerja di masa itu. Pemerintah dituding menutup-nutupi fakta dan merekayasa proses hukum demi menjaga citra "stabilitas nasional" yang menjadi doktrin utama kekuasaan Soeharto.

Meskipun sempat ada proses pengadilan, para terdakwa yang diajukan akhirnya dibebaskan karena dianggap tidak cukup bukti. Sementara itu, dalang intelektual di balik pembunuhan keji ini tak pernah tersentuh oleh hukum, membiarkan keadilan bagi Marsinah menggantung hingga hari ini.

Baca Juga: Komnas Perempuan Usulkan Empat Tokoh Wanita Jadi Pahlawan Nasional

Setiap tanggal 8 Mei, berbagai kelompok buruh, aktivis, dan mahasiswa memperingati Hari Marsinah. Ia dikenang bukan sekadar sebagai korban, tetapi sebagai martir dan simbol abadi perlawanan terhadap ketidakadilan.

Marsinah telah tiada, namun semangatnya terus menyala, menjadi pengingat bahwa perjuangan untuk keadilan tidak akan pernah padam, bahkan ketika dibayangi oleh kekuasaan yang represif.

Load More