News / Nasional
Jum'at, 14 November 2025 | 08:25 WIB
Pakar Hukum Tata Negara Bivitri Susanti saat mengikuti Aksi Kamisan ke-886 di depan Istana Merdeka, Jakarta, Kamis (13/11/2025). [Suara.com/Alfian Winanto]
Baca 10 detik
  • Pakar hukum Bivitri Susanti nilai penetapan pahlawan Soeharto cacat secara prosedural.

  • Pemerintah diduga gunakan berkas lama dan abaikan partisipasi publik dalam prosesnya.

  • Pembatalan gelar lewat PTUN masih dimungkinkan, meski akan hadapi tantangan pembuktian.

Suara.com - Pakar Hukum Tata Negara, Bivitri Susanti, menilai bahwa proses penetapan Presiden ke-2 RI Soeharto sebagai pahlawan nasional bermasalah secara prosedural. Menurutnya, sejumlah tahapan administrasi dalam pemberian gelar tersebut tidak memenuhi prinsip keterbukaan dan partisipasi publik yang diamanatkan oleh undang-undang.

“Secara prosedural, itu memang banyak yang keliru,” tegas Bivitri saat ditemui di sela-sela Aksi Kamisan di depan Istana Negara, Jakarta, Kamis (13/11/2025).

Bivitri memaparkan beberapa kekeliruan utama. Pertama, pemerintah diduga menggunakan berkas pengajuan lama dari tahun 2010, tanpa adanya proses pengusulan baru yang melibatkan partisipasi publik.

“Pengajuannya itu mereka ambil dari yang lama, dari tahun 2010. Jadi, tidak ada pengajuan baru sebenarnya,” ujarnya.

Kedua, proses rekomendasi dari Kementerian Sosial hingga ke Dewan Gelar, Tanda Jasa, dan Tanda Kehormatan (GTK) yang diketuai oleh Fadli Zon, dinilai berjalan terlalu cepat dan tertutup.

“Secara prosedural, (rekomendasi) langsung diberikan dari Mensos, kemudian ke ketua Dewan Gelar, lalu langsung diberikan kepada presiden,” lanjutnya.

Bivitri mengungkapkan bahwa ia bersama sejumlah elemen masyarakat sipil telah mencoba menyampaikan keberatan ke Kementerian Sosial, namun tidak mendapat tanggapan.

“Kalau membuat keputusan seperti itu, harusnya partisipatif. Tapi kan ini tidak. Kami sudah ke Mensos, tapi diabaikan,” katanya.

Meskipun demikian, ia melihat celah untuk membatalkan keputusan tersebut melalui gugatan di Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN). Namun, Bivitri mengakui bahwa pembatalan secara substantif akan sulit, terutama jika harus membuktikan adanya pelanggaran HAM berat, mengingat ketiadaan putusan hukum akibat impunitas di masa lalu.

Baca Juga: Bivitri Susanti: Penetapan Soeharto Sebagai Pahlawan Bisa Digugat ke PTUN dan MK

Load More