News / Nasional
Senin, 17 November 2025 | 14:15 WIB
Ketua Komnas HAM, Anis Hidayah. (tangkap layar/Ist)
Baca 10 detik
  • Komnas HAM mengkritisi adanya potensi ancaman independensi Komnas HAM.
  • Anies mengatakan penanganan pelanggaran HAM oleh Kementerian HAM tidak dapat dibenarkan karena kementerian bagian dari pemerintah.
  • Pembatasan kewenangan akan menutup ruang bagi Komnas HAM untuk berkolaborasi dengan lembaga HAM di negara lain.

Suara.com - Ketua Komnas HAM, Anis Hidayah, khawatir ada upaya menghapus keberadaan Komnas HAM lewat revisi Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia.

Ia mencatat ada 21 pasal krusial di dalam draf yang berpotensi melemahkan kewenangan Komnas HAM sebagai lembaga independen.

Catatan itu disampaikan Anis melalui keterangan video resmi yang tayang di YouTube Humas Komnas HAM RI, dikutip Senin (17/11/2025).

Anis menyebutkan pasal-pasal krusial yang sudah disusun oleh pemerintah Indonesia melalui Kementerian HAM baik itu menyangkut norma kelembagaan, kelembagaan menyangkut kewenangan, baik itu kewenangan pemerintah maupun kewenangan Komnas HAM sebagai lembaga independen.

Beberapa pasal tersebut, antara lain pasal 1, pasal 10, Pasal 79, Pasal 80, Pasal 83, hingga Pasal 85. Kemudian Pasal 87, Pasal 100, Pasal 102 hingga Pasal 104. Berikutnya Pasal 109 dan Pasal 27.

Hal pertama yang menjadi kritik dari Komnas HAM terhadap draf revisi UU HAM yang disusun pemerintha adalah terkait dengan kewenangan Komnas HAM sebagai lembaga independen.

Undang-Undang Nomor 39 tahun 99 tentang HAM telah ditetapkan bahwa Komnas HAM memiliki tugas dan kewenangan untuk melakukan pendidikan dan penyuluhan hak asasi manusia, kajian dan penelitian HAM, pemantauan dan penyelidikan kasus dugaan pelanggaran hak asasi manusia dan mediasi hak asasi manusia.

Sementara, di dalam draf revisi UU HAM Pasal 109, Komnas HAM tidak lagi memiliki kewenangan untuk menerima dan menangani pengaduan dugaan pelanggaran hak asasi manusia, tidak lagi memiliki kewenangan untuk melakukan mediasi, tidak lagi memiliki kewenangan untuk melakukan pendidikan dan penyuluhan HAM, serta pengkajian HAM kecuali dalam hal regulasi dan instrumen internasional.

Kedua, Komnas HAM mengkritisi adanya potensi ancaman independensi Komnas HAM.

Baca Juga: Komnas HAM: Gelar Pahlawan Soeharto Cederai Sejarah Pelanggaran HAM Berat dan Semangat Reformasi

Anis mengatakan potensi itu ditemukan melalui pasal 100 ayat 2B di mana panitia seleksi anggota Komnas HAM ditetapkan oleh presiden. Padahal dalam UU 39 Tahun 199, panitia seleksi ditetapkan oleh sidang paripurna Komnas HAM. Anis mengatakan hal tersebut bertentangan dengan Paris Principle.

"Prinsip-prinsip internasional terkait dengan National Human Rights Institution, di mana prinsip independency dalam proses seleksi Komnas HAM itu menjadi salah satu prinsip yang diatur dan harus dihormati sebagai lembaga HAM nasional," kata Anis.

Ketiga, Komnas HAM mengkritik terkait dengan kewenangan pelanggaran hak asasi manusia yang diberikan kepada Kementerian HAM. Anis mengingatkan bahwa posisi Kementerian HAM sebagai pemerintah dan pemangku kewajiban.

Gedung Kementerian Hak Asasi Manusia (HAM) di Jakarta, Selasa (3/6/2025). [Suara.com/Alfian Winanto]

Anies mengatakan penanganan pelanggaran HAM oleh Kementerian HAM tidak dapat dibenarkan karena kementerian merupakan bagian dari pemerintah sebagai pemangku kewajiban HAM.

Ia berujar ketentuan tersebut berpotensi menimbulkan konflik kepentingan, mengingat pemerintah kerap menjadi pihak yang diadukan dalam kasus dugaan pelanggaran HAM.

"(Kementerian HAM) tidak seharusnya juga berperan sebagai penilai atau wasit penanganan dugaan pelanggaran HAM, di mana salah satu pelaku atau terlapornya adalah pemerintah. Semestinya tetap dilakukan oleh lembaga independen," kata Anis.

Load More