News / Nasional
Senin, 01 Desember 2025 | 15:21 WIB
Foto Ilustrasi banjir Sumatra. (Tim grafis Suara.com/Aldie)
Baca 10 detik
  • Banjir bandang dan longsor di Sumatra akhir November 2025 menewaskan ratusan jiwa akibat curah hujan ekstrem dan Siklon Tropis Senyar.
  • Kerusakan alam seperti deforestasi, sedimentasi sungai, dan tata ruang terabaikan di hulu memperparah dampak bencana.
  • Pemerintah fokus pada penanganan darurat korban dan pemulihan infrastruktur, sementara WALHI menuntut restorasi ekologis mendasar.

Penelitian menunjukkan, hutan alami mampu menyerap hingga 55 persen air hujan ke dalam tanah, sehingga hanya 10-20 persen yang menjadi aliran permukaan. Ketika hutan berganti menjadi perkebunan monokultur atau lahan terbuka, kemampuan tanah menyerap air turun drastis.

2. Sungai yang Sekarat

Air yang meluncur deras dari perbukitan gundul membawa serta material tanah dan batuan. Proses erosi masif ini menyebabkan pendangkalan atau sedimentasi parah di dasar sungai.

Sungai yang dulu dalam kini menjadi parit dangkal yang tak mampu lagi menampung debit air yang melonjak.

Kondisi ini diperburuk oleh penyempitan badan sungai akibat pembangunan permukiman dan infrastruktur di area sempadan, serta sampah yang menyumbat aliran air.

3. Tata Ruang yang Terabaikan

Bencana ini juga menelanjangi lemahnya perencanaan tata ruang dan penegakan hukum. Pembangunan seringkali dilakukan di zona rawan bencana tanpa mitigasi yang memadai.

Izin-izin konsesi lahan di kawasan hulu yang krusial sebagai daerah tangkapan air terus dipertanyakan.

"Tragedi banjir bandang yang melanda Sumatra pada November 2025 sejatinya merupakan akumulasi 'dosa ekologis' di hulu DAS (Daerah Aliran Sungai)," tegas Hatma Suryatmojo.

Baca Juga: Misteri Kayu Gelondongan Hanyut saat Banjir Sumatera, Mendagri Tito Siapkan Investigasi

Banjir dahsyat di Sumatra adalah sebuah alarm keras. Ini bukan lagi sekadar siklus alam, melainkan cerminan dari bagaimana manusia telah memperlakukan lingkungannya. Curah hujan ekstrem mungkin datang dari Tuhan, tetapi banjir adalah akibat dari pilihan-pilihan yang dibuat di daratan.

Korban Tembus Ratusan Jiwa, Pemerintah Dikejar Waktu

Sejumlah warga melintasi jembatan alternatif yang menghubungkan Desa Blang Meurandeh dan Desa Blang Puuk Beutong Ateuh Banggalang, Nagan Raya, Aceh, Minggu (30/11/2025). [ANTARA FOTO/Syifa Yulinnas/nz]

Angka korban jiwa akibat banjir Sumatra terus bertambah menembus ratusan, ribuan keluarga kehilangan tempat tinggal, dan kerugian materiil diperkirakan mencapai triliunan rupiah, menjadikannya salah satu bencana hidrometeorologi paling mematikan dalam dekade terakhir.

Pemerintah kini dihadapkan pada tugas raksasa, berpacu dengan waktu untuk mencari korban yang masih hilang, memulihkan akses yang terputus, dan memenuhi kebutuhan dasar puluhan ribu pengungsi.

Data yang dihimpun Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) melukiskan gambaran suram dari tragedi ini. Di Sumatra Barat saja, jumlah korban meninggal dunia akibat banjir lahar dingin dan longsor telah mencapai 129 jiwa, dengan 118 orang lainnya masih dalam status hilang.

Kabupaten Agam menjadi wilayah dengan dampak paling parah, mencatatkan puluhan korban jiwa dan hilang.

Load More