News / Nasional
Kamis, 04 Desember 2025 | 18:11 WIB
Ilustrasi sejumlah calon penumpang tertidur di Stasiun Cikarang, Jawa Barat. (Suara.com/Bowo)
Baca 10 detik
  • Banyak penumpang KRL menginap di Stasiun Cikarang karena terlambat kereta terakhir, menjadikan stasiun ruang singgah darurat.
  • KAI Commuter perlu menghentikan operasi 3-4 jam untuk perawatan prasarana dan armada demi menjaga keselamatan operasional.
  • Pengamat menyarankan penyediaan ruang istirahat layak di stasiun sebagai solusi manusiawi bagi penumpang yang tertinggal.

Suara.com - Angin malam yang menusuk tulang tak pernah benar-benar menyurutkan niat para penumpang Kereta Rel Listrik (KRL) Commuter Line untuk bertahan di Stasiun Cikarang, Kabupaten Bekasi, Jawa Barat.

Menjelang tengah malam, pemandangan pilu namun lazim tersaji di sana. Deretan tubuh berbalut jaket, tas ransel yang dijadikan bantal, hingga alas kardus seadanya memenuhi sudut-sudut peron.

Sebagian tertidur pulas karena lelah, sebagian lagi hanya memejamkan mata sembari menunggu waktu bergulir menuju pagi.

Fenomena "menginap" di stasiun ini bukan cerita baru. Rekaman video dan foto para pejuang nafkah yang terlelap di lantai dingin Stasiun Cikarang kerap viral di media sosial, memancing simpati sekaligus pertanyaan publik.

Di kota industri yang tak pernah berhenti berdenyut ini, banyak pekerja baru tiba di stasiun saat larut malam—terlalu lambat mengejar kereta terakhir, namun terlalu cepat untuk menunggu kereta pertama.

Alhasil, stasiun beralih fungsi: dari simpul mobilitas menjadi ruang singgah darurat.

Ketika Mobilitas Tidak Tidur, tetapi Kereta Harus Istirahat

Pukul 01.15 dini hari adalah batas akhir denyut nadi KRL. Saat pengumuman kereta terakhir bergema, rel memasuki fase sunyi. Namun, bagi petugas pemeliharaan, ini justru awal dari kesibukan.

Infografis muncul wacana KRL 24 jam buntut sejumlah pekerja tidur di peron Stasiun Cikarang. (Suara.com/Adie)

Di balik ketidaknyamanan penumpang yang terpaksa menginap, terselip realitas teknis yang tak bisa ditawar.

Baca Juga: Masih Pikir-pikir Operasional KRL 24 Jam, Dirut KAI: Ini Tidak Simpel!

Manajer Humas KAI Commuter, Leza Arlan, menegaskan bahwa armada kereta dan infrastrukturnya memiliki batas fisik.

“Sarana dan prasarana kereta api tetap perlu perawatan, rel, listrik aliran atas, stasiun, hingga jaringan e-ticketing. Kami hanya memiliki waktu perawatan diantara jam keberangkatan awal dan kedatangan terakhir perjalanan kereta,” ungkap Leza.

Operasional KRL saat ini nyaris tanpa henti, dimulai pukul 03.50 WIB hingga pukul 01.15 WIB. Praktis, waktu efektif untuk merawat "kesehatan" kereta hanya tersisa sekitar 3-4 jam per hari.

Kereta mungkin bisa dipaksa terus berjalan, tetapi sistem keselamatan dan infrastruktur pendukungnya harus "tidur".

"Dengan demikian kami tentunya akan terus meningkatkan layanan sehingga perjalanan commuter line aman dan nyaman," tambahnya.

KRL 24 Jam: Solusi atau Masalah Baru?

Wacana KRL beroperasi 24 jam pun menyeruak. Namun, suara penumpang ternyata terbelah.

Emma, salah satu penumpang yang pernah merasakan dinginnya bangku besi peron karena tertinggal kereta, justru menolak ide operasional non-stop tersebut. Baginya, keselamatan jauh lebih mahal daripada kenyamanan jadwal, bahkan jika tiket dinaikkan sekalipun.

"Soalnya kalau 24 jam malah berisiko lebih banyak gangguan kayaknya deh, soalnya kereta dan relnya kan perlu maintainance,” kata Emma.

Baginya, solusi tertinggal kereta bukan memaksakan mesin bekerja 24 jam.

"Ya sudah akhirnya naik transportasi lain," ujarnya pasrah.

Sebaliknya, Adit memiliki pandangan berbeda. Bekerja di Jakarta dan kerap tiba di stasiun lewat pukul 11 malam membuat pilihannya terbatas.

Rute Jakarta–Cikarang terlalu jauh dan mahal jika ditempuh tanpa moda transportasi massal ini.

"Kebijakan KRL 24 jam, saya sangat setuju apalagi yang arah Cikarang, itu jauh banget, gak bisa ditempuh selain kereta," tuturnya.

Adit bahkan rela merogoh kocek lebih dalam asalkan akses transportasi tetap tersedia.

"Selagi harganya masih terjangkau dibeli masyarakat, misalnya dari Rp 3.500 dinaikan jadi 5 ribu atau 6 ribu masih oke. Selagi gak di atas 10 ribu masih oke buat pekerja seperti saya di jakarta," tegasnya.

Jalan Tengah yang Manusiawi

Pengamat transportasi Djoko Setijowarno mencoba mendudukkan perkara ini dengan jernih. Publik perlu memahami bahwa KRL adalah transportasi perkotaan berfrekuensi tinggi (high frequency). Jeda operasional bukan soal biaya, melainkan soal keselamatan nyawa.

Menurut Djoko, waktu henti operasi 3–4 jam sehari adalah standar ideal untuk pemeriksaan jalur.

Ilustrasi KRL Jakarta atau commuter line. (Foto: Antara)

"Bukan masalah mahalnya, dia memang (kereta dan rel) harus istirahat karena permakaian frekuensinya tinggi," ucap Djoko.

Namun, Djoko tidak menutup mata terhadap sisi kemanusiaan para penumpang yang terlantar. Di lantai dingin Stasiun Cikarang, ada wajah lelah karyawan shift malam dan buruh pabrik yang butuh perlindungan.

Menurutnya jika KRL tak bisa jalan 24 jam, maka fasilitas stasiunlah yang harus beradaptasi. Djoko menyarankan solusi yang lebih manusiawi ketimbang membiarkan penumpang tidur sembarangan di lantai: penyediaan ruang istirahat yang layak.

"Alternatifnya, mereka ya dirikan tempat istirahat saja. PT KAI bisa kasih tempat istirahat, berupa karpet atau apa ya, sederhana gitu. Disediakan saja tempat yang tidak di depan, di sebelah mana, di area stasiun itu yang sekiranya bisa untuk istirahat, tidak kepanasan, tidak kehujanan kalau malam hari," sarannya.

Pada akhirnya, polemik ini bukan sekadar tentang jadwal kereta, melainkan bagaimana negara hadir memberikan rasa aman.

Tantangan terbesarnya adalah menjaga rel tetap prima, sekaligus memastikan stasiun seperti Cikarang tak lagi menjadi "rumah darurat" yang dingin, melainkan gerbang mobilitas yang memanusiakan manusianya.

Load More