News / Nasional
Sabtu, 06 Desember 2025 | 16:06 WIB
Hutan Mangrove (unsplash/david chode)
Baca 10 detik
  • Perubahan iklim mendorong adopsi Solusi Berbasis Alam, dengan hutan mangrove diakui sebagai infrastruktur pertahanan pesisir utama.
  • Riset 2002-2022 menegaskan mangrove vital mengurangi risiko banjir, melindungi dari badai, dan menstabilkan garis pantai.
  • Mangrove menyimpan karbon empat kali lebih besar dari hutan tropis dan mendukung ekonomi perikanan pesisir secara signifikan.

Suara.com - Perubahan iklim kini menjadi ancaman terbesar bagi peradaban global. Fenomena mencairnya es di Kutub Utara, kenaikan permukaan air laut, hingga cuaca ekstrem seperti badai tropis dan kebakaran hutan semakin nyata dirasakan di berbagai belahan dunia.

Di tengah situasi genting ini, kerentanan wilayah pesisir meningkat drastis, diperparah oleh pembangunan yang tidak berkelanjutan.

Dunia kini berpaling pada pendekatan ekologis untuk memitigasi risiko tersebut. Solusi Berbasis Alam (Nature-Based Solutions) mulai dikampanyekan secara masif sebagai jawaban atas kegagalan infrastruktur buatan dalam menghadapi amukan alam.

Dalam konteks ini, hutan mangrove muncul bukan hanya sebagai pelengkap ekosistem, melainkan sebagai infrastruktur pertahanan pesisir yang paling canggih dan efisien.

Sebuah penelitian terbaru yang diterbitkan dalam Journal of Sea Research (2023) menegaskan kembali peran vital mangrove. Studi ini menyoroti bagaimana spesies tanaman pesisir ini berfungsi sebagai tameng alami untuk Pengurangan Risiko Bencana (PRB) dan Adaptasi Perubahan Iklim (API).

Hasil Riset Dua Dekade: Mangrove sebagai Penstabil Pantai

Penelitian tersebut melakukan tinjauan sistematis menggunakan pedoman PRISMA terhadap literatur ilmiah dari tahun 2002 hingga 2022. Dari ribuan data yang disaring, studi menyimpulkan bahwa hutan mangrove memiliki kapasitas luar biasa dalam mengurangi risiko banjir pesisir, melindungi daratan dari badai, dan menstabilkan garis pantai dari erosi.

Studi kasus yang dilakukan di Mauritius menyoroti dua spesies lokal, yakni Rhizophora mucronata dan Bruguiera gymnorrhiza. Kedua spesies ini terbukti efektif sebagai solusi berbasis alam yang tangguh.

Kelompok Camar membudidayakan mangrove di Tambakrejo Semarang. (Suara.com/Ikhsan)

Temuan ini menjadi landasan ilmiah yang kuat bagi para pembuat kebijakan dan perencana tata ruang laut untuk memprioritaskan restorasi lahan mangrove yang terdegradasi dibandingkan membangun tembok laut beton semata.

Baca Juga: Di Bawah Bayang Rob: Kisah Perjuangan Sunyi Perempuan Pesisir Melawan Krisis Iklim

Penyerap Karbon Empat Kali Lebih Kuat

Selain fungsi fisiknya sebagai pemecah ombak, World Wide Fund for Nature (WWF) menyoroti "kekuatan super" lain dari mangrove yang sering luput dari perhatian: kemampuannya sebagai penyerap karbon raksasa.

Mangrove tumbuh di tanah berlumpur yang sangat kaya akan karbon. Melalui sistem perakarannya yang kompleks, mangrove tidak hanya menangkap sedimen, tetapi juga mengunci karbon di dalam tanah agar tidak lepas ke atmosfer.

Estimasi WWF menyebutkan bahwa jumlah karbon yang tersimpan di bawah hutan mangrove bisa mencapai empat kali lebih besar dibandingkan hutan tropis lainnya. Fakta ini menjadikan pelestarian hutan pesisir sebagai salah satu strategi paling bernilai dalam perang global melawan emisi karbon.

Ekonomi dan Kehidupan di Sela Akar

Keberadaan mangrove juga menjadi nadi bagi perekonomian masyarakat pesisir. Sistem akar mangrove yang rumit dan saling mengunci berfungsi sebagai tempat pembibitan (nursery) alami bagi kehidupan laut muda.

Load More