News / Nasional
Rabu, 17 Desember 2025 | 12:50 WIB
Puluhan warga Pulau Pari, Kepulauan Seribu mendatangi Balai Kota DKI Jakarta, Jakarta, Senin (30/4).
Baca 10 detik
    • Pertumbuhan Jakarta menekan kelompok rentan, yang paling terdampak krisis iklim dan ketimpangan ruang hidup.
    • Pulau Pari, Marunda, dan Bantargebang jadi wilayah terdampak terberat, dari abrasi, polusi industri, hingga beban sampah.
    • Warga bertahan lewat inisiatif kolektif, sementara peneliti mendesak kebijakan iklim yang lebih partisipatif.

Suara.com - Jakarta menjadi kota yang terus tumbuh dan melebar, gedung pencakar langitnya terus bermunculan, pusat perbisnisan terus terbentuk, dan arus investasi disini rasanya tak pernah benar-benar surut.

Statusnya yang dijuluki sebagai megacity kerap dirayakan sebagai penanda kemajuan peradaban dan daya saing ibu kota global. 

Namun, dibalik lajunya kota Jakarta, tersimpan setitik realitas yang kerap luput dari sorotan publik. Mereka yang masuk dalam kelompok rentan harus memikul beban paling berat dari krisis iklim, ruang hidup yang tak layak, serta regulasi pemprov Jakarta yang belum sepenuhnya berpihak pada mereka.

Kolaborasi riset terbaru Greenpeace Indonesia bersama The SMERU Research Institute memperlihatkan bagaimana wilayah Pulau Pari, Marunda, dan Bantargebang berada di posisi paling terdampak dari cara Jakarta tumbuh. 

Ruang aman bagi warga Pulau Pari kini kian menyusut bersamaan dengan garis pantai yang terus terkikis. Abrasi dan banjir rob datang lebih sering menggerus sumber penghidupan warga pesisir. 

Kondisi serupa juga dialami warga Rusunawa Marunda. Kawasan hunian tersebut kini terkepung ekspansi industri yang terus meluas. Aktivitas pabrik dan lalu lintas logistik menjadikan polusi udara sebagai bagian dari kehidupan sehari-hari mereka.

Dan untuk warga Bantargebang,  meski secara administratif berada di luar Jakarta, wilayah ini malah menanggung beban sampah kota Jakarta. Setiap hari, ribuan ton limbah masuk ke TPST.

Danantara mengatakan proyek waste to energy - yang mengolah sampah menjadi sumber energi listrik, akan diluncurkan pada akhir 2025. Foto: Antrean truk di Tempat Pengolahan Sampah Terpadu (TPST) Bantargebang, Bekasi Jawa Barat, Rabu (15/10/2025). [Antara/Fakhri Hermansyah].

Dampaknya langsung dirasakan warga sekitar—lingkungan tercemar, kesehatan terancam, dan ruang hidup semakin terbatas.

Rasa aman atas kesehatan dan kualitas lingkungan kian sulit dirasakan. Sebagian warga mengaku hidup dalam ketidakpastian dengan harapan akan masa depan yang menipis seiring memburuknya kondisi lingkungan tempat mereka hidup.

Baca Juga: Antisipasi Angin Kencang, Pramono Instruksikan Pangkas Pohon Tua di Jakarta

Peneliti SMERU Annabel Noor Asyah, menilai ketimpangan ini berakar pada arah pembangunan yang lebih berpihak pada kepentingan kebijakan sepihak dibanding keikutsertaan warga dalam menentukan arah kebijakan.

“Pemprov Jakarta harus meningkatkan kualitas tata kelola yang partisipatif dan transparan, khususnya dalam kebijakan iklim, untuk mengakomodasi kebutuhan dan karakteristik spesifik kelompok marginal dan rentan seperti di Pulau Pari, Marunda, dan Bantargebang,” ujar Abel. 

“Pemprov juga harus kembali menggiatkan musyawarah perencanaan pembangunan (musrenbang), memperbanyak dialog dengan warga, serta memperbanyak kajian krisis iklim.” 

Meski begitu warga di ketiga wilayah tersebut tidak tinggal diam. Di tengah keterbatasan, mereka membangun cara bertahan sendiri, menjaga pesisir dengan menanam mangrove, memenuhi kebutuhan pangan secara kolektif, hingga mengolah sampah dengan budidaya maggot.

Upaya-upaya kecil ini menjadi penopang ruang hidup mereka yang sudah sempit.

Penulis: Muhammad Ryan Sabiti

Load More