News / Nasional
Jum'at, 19 Desember 2025 | 12:08 WIB
Kepala BPOM, Taruna Ikrar. (Suara.com/Dini Afrianti Efendi)
Baca 10 detik
  • BPOM mengamankan pangan ilegal senilai lebih dari Rp42 miliar selama pengawasan jelang Nataru 2025/2026.
  • Sebanyak 34,9% dari 1.612 sarana pangan diperiksa tidak memenuhi ketentuan (TMK) berdasarkan pendekatan risiko.
  • Pangan tanpa izin edar mendominasi temuan; nilai terbesar berasal dari peredaran daring (online) senilai Rp40,8 miliar.

Suara.com - Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) menemukan pangan ilegal, kedaluwarsa, dan rusak dengan nilai ekonomi lebih dari Rp42 miliar dalam Intensifikasi Pengawasan Pangan Jelang Natal 2025 dan Tahun Baru 2026 (Inwas Nataru). Pengawasan dilakukan selama periode 28 November 2025 hingga 31 Desember 2025.

Hingga 17 Desember 2025, temuan tersebut berasal dari pengawasan peredaran pangan secara offline dan online. 

Dalam pengawasan tersebut, BPOM memeriksa 1.612 sarana peredaran pangan olahan di 38 provinsi. Sarana yang diperiksa terdiri dari 698 ritel modern atau 43,3 persen, 663 ritel tradisional atau 41,1 persen, 243 gudang distributor atau 15,1 persen, 7 gudang importir atau 0,4 persen, serta 1 gudang marketplace atau e-commerce atau 0,1 persen.

Dibandingkan Inwas Nataru 2024, jumlah sarana yang diperiksa pada 2025 menurun sebesar 46,2 persen. Namun, persentase temuan sarana yang tidak memenuhi ketentuan (TMK) justru meningkat dari 27,9 persen menjadi 34,9 persen.

Kepala BPOM Taruna Ikrar menyebut pengawasan dilakukan dengan pendekatan berbasis risiko, terutama pada sarana yang memiliki rekam jejak pelanggaran dan menjadi salah satu faktor yang memengaruhi peningkatan temuan tersebut. 

Hasil pemeriksaan menunjukkan sebanyak 1.049 sarana (65,1%) telah memenuhi ketentuan (MK), sementara 563 sarana (34,9%) TMK. Sarana TMK tersebut terdiri dari 273 ritel tradisional (16,9%), 264 ritel modern (16,4%), 25 gudang distributor (1,6%), dan 1 gudang importir (0,06%).

Lebih lanjut, Taruna menyebut ada 126.136 pieces pangan TMK. Jenis temuan terbesar adalah pangan olahan tanpa izin edar (TIE) sebesar 73,5% (92.737 pieces), disusul pangan kedaluwarsa sebesar 25,4% (32.080 pieces), serta pangan rusak sebesar 1,1% (1.319 pieces). 

Pangan TIE banyak ditemukan di wilayah kerja unit pelaksana teknis (UPT) BPOM Tarakan, Jakarta, Pekanbaru, Dumai, dan Tasikmalaya, khususnya di wilayah perbatasan dan toko oleh-oleh.

Temuan produk tersebut didominasi produk impor asal Malaysia, Korea, India, dan Tiongkok, seperti minuman sari kacang, pasta dan mi, minuman serbuk coklat, krimer kental manis, serta olahan daging. Menurut Taruna, kondisi geografis Indonesia yang memiliki banyak jalur masuk ilegal di wilayah perbatasan menjadi tantangan dalam pengawasan.

Baca Juga: 10,5 Juta Orang Diproyeksikan Bakal Berlibur Naik Pesawat di Nataru

“Produk ilegal banyak ditemukan di jalur tikus perbatasan, seperti Tarakan dan Dumai, sehingga sulit diawasi," ungkap Taruna, Jumat (19/12/2025).

Selain itu, juga ada faktor tingginya permintaan produk spesifik dari Malaysia dan Korea ditambah ketidaktahuan pelaku usaha akan regulasi, serta maraknya perdagangan melalui e-commerce, yang mempermudah distribusi produk ilegal secara luas tanpa pemeriksaan fisik.

Pangan kedaluwarsa itu banyak ditemukan di wilayah Kupang, Sumba Timur, Ambon, Bau-Bau, dan Kepulauan Tanimbar, dengan jenis produk antara lain minuman serbuk berperisa, permen, bumbu siap pakai, serta pasta dan mi. 

Sedangkan pangan rusak banyak ditemukan di Ambon, Mamuju, Sofifi, Balikpapan, dan Surabaya. Jenis pangan terbanyak yakni ikan dalam kaleng, susu kental manis, susu UHT, pasta, dan mi.

“Pangan rusak dan kedaluwarsa banyak terjadi di wilayah timur karena rantai pasok panjang. Sistem penyimpanan di gudang yang tidak benar (juga) dapat menyebabkan produk mudah rusak dan tertahan lama sehingga kedaluwarsa,” jelasnya.

Selain pengawasan peredaran offline, BPOM juga melakukan pengawasan peredaran online melalui patroli siber pada 2.607 tautan penjualan pangan TMK di platform digital. Hasilnya sebanyak 1.583 tautan (60,7%) menjual pangan TIE dan 1.024 tautan (39,3%) menjual pangan mengandung bahan berbahaya. Produk TIE tersebut mayoritas berasal dari Malaysia, Amerika Serikat, Italia, Turki, dan Uni Emirat Arab.

Load More