Senin, 01 Desember 2025 | 11:23 WIB
Dosen Ilmu Pemerintahan Universitas Pamulang dan Member International Political Science Association Cusdiawan. [Suara.com]
Baca 10 detik
  • Peningkatan ekspresi Islam publik pasca Orde Baru berbanding terbalik dengan stagnasi suara partai politik Islam sekitar 30 persen.
  • Kegagalan PPP masuk parlemen 2024 diakibatkan oleh buruknya pelembagaan partai, termasuk masalah dualisme kepemimpinan yang muncul.
  • Masa depan PPP bergantung pada konsolidasi internal, perbaikan kaderisasi, serta artikulasi kepentingan untuk menguatkan basis konstituen.

Suara.com - Di negara yang mayoritas berpenduduk muslim seperti Indonesia, ada gejala sosial pasca kejatuhan rezim Orde Baru.

Greg Fealy dan White pada catatan pendahuluan dalam buku Expressing Islam: Religious Life and Politics in Indonesia (2008) menyebut bahwa ekspresi keberislaman di ruang publik meningkat secara tajam.

Namun uniknya, hal itu justru tidak berbanding lurus dengan perolehan suara yang didapat oleh partai politik Islam.

Dalam beberapa pemilu ke belakang, suara total parpol Islam relatif stagnan di kiasaran 30 persen.

Puncaknya adalah kegagalan Partai Persatuan Pembangunan (PPP) masuk parlemen pada 2024, sehingga parpol Islam yang berlaga di parlemen semakin berkurang.

Dalam kasus PPP, salah satu faktor terbesar mengapa perolehan suara mereka terus menurun adalah karena tingkat pelembagaan parpol yang terbilang buruk.

Padahal, pelembagaan dalam konteks partai politik sejatinya diperlukan, baik dalam konteks pertarungan elektoral secara khususnya maupun pembangunan politik secara umumnya.

Buruknya pelembagaan PPP tersebut tercemin dari ramainya masalah dualisme kepemimpinan yang sempat menghiasi pemberitaan di ruang publik, yang sebetulnya masalah dualisme tersebut hanyalah suatu puncak dari gunung es.

Maka menjadi perbincangan menarik untuk menakar masa depan PPP pasca dualisme kepemimpinan tersebut.

Baca Juga: Konsolidasi PPP: Mardiono dan Din Syamsuddin Bahas Kebangkitan Politik Islam untuk Persiapan 2029

Dualisme Kepemimpinan, 'Puncak Gunung Es?'

Dalam Muktamar PPP yang berlangsung pada 27 September 2025 terdapat dua kubu yang saling klaim memenangkan pertarungan untuk menduduki kursi sebagai Ketua Umum PPP, yakni kubu Mardiono dan Agus Suparmanto.

Adanya dua kubu yang saling klaim tersebut, dalam hemat saya, hanyalah suatu 'puncak gunung es'. Akar masalahnya ada pada tingkat pelembagaan partai yang sangat lemah.

Secara teoretis, sebagaimana yang dikemukakan oleh Vicky Randall dan Lars Svasand dalam Party Institutionalization in New Democracies (2002). Dia menyebut bahwa pelembagaan partai yang kuat salah satunya mensyaratkan kemampuan partai politik di dalam mengelola faksionalisme.

Kemampuan dalam mengelola faksionalisme akan berpengaruh terhadap stabilitas dari suatu partai politik.

Implikasi dari stabilnya partai politik, yakni mereka bisa memaksimalkan potensi dan kekuataan mereka agar terfokus untuk mewujudkan tujuan-tujuan partai, termasuk dalam konteks pemenangan elektoral maupun pembangunan politik secara umumnya.

Load More