Kamis, 13 November 2025 | 19:05 WIB
Pius Lustrilanang. [Suara.com/Dok]
Baca 10 detik
    • Penetapan Soeharto sebagai pahlawan nasional menimbulkan perdebatan moral.
    • Bangsa ini tampak ingin berdamai dengan masa lalu tanpa keberanian menghadapi kebenaran.
    • Penghargaan terhadap penguasa otoriter mengancam standar moral bangsa dan menghapus makna keadilan sejarah.

Pertanyaan-pertanyaan semacam ini tidak pernah dijawab secara jujur oleh negara, hanya diredam oleh nostalgia tentang harga beras dan minyak tanah yang murah.

Di titik ini, gugatan terhadap keputusan tersebut menjadi wajar, bahkan perlu. Bukan hanya karena sebagian besar rakyat merasa tidak dilibatkan dalam penilaian sejarah yang begitu besar, melainkan karena keputusan ini mengandung konsekuensi moral bagi arah bangsa ke depan.

Mungkinkah keputusan itu dibatalkan? Secara administratif mungkin tampak sulit, tetapi secara moral sangat mungkin—sepanjang bangsa ini masih memiliki nurani dan keberanian untuk meninjau ulang langkahnya.

Tidak ada keputusan politik yang lebih tinggi dari kebenaran sejarah. Negara yang sehat justru mampu mengoreksi dirinya sendiri.

Kita tidak sedang membicarakan dendam masa lalu. Kita sedang berbicara tentang keadilan yang tertunda. Tentang mereka yang tak pernah mendapat kesempatan untuk bersuara.

Tentang ibu-ibu yang kehilangan anaknya tanpa tahu di mana jasad mereka dikuburkan. Tentang mahasiswa yang hilang di malam hari dan tak pernah kembali.

Tentang wartawan yang dibungkam, cendekiawan yang dikucilkan, dan generasi yang tumbuh dalam ketakutan untuk berpikir berbeda.

Mereka semua adalah bagian dari cerita yang kini terancam dihapus oleh keputusan negara yang terlalu tergesa melupakan.

Ironisnya, bangsa ini bukan tidak tahu bagaimana seharusnya berdamai dengan sejarah. Kita telah melihat contoh dari banyak negara yang memilih jalur kebenaran.

Baca Juga: Marsinah: Buruh, Perlawanan, dan Jejak Keadilan yang Tertunda

Jerman tidak pernah menghapus tragedi Nazi dari buku pelajarannya. Afrika Selatan menegakkan Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi untuk membuka luka bersama, bukan menutupnya.

Argentina menghukum pelaku pelanggaran HAM, bahkan puluhan tahun setelah kediktatoran berakhir. Sementara Indonesia memilih cara paling nyaman: diam.

Kita membiarkan sejarah diselimuti kabut nostalgia, membiarkan generasi muda mengenal Soeharto hanya sebagai wajah tersenyum di poster-poster 'pahlawan pembangunan.'

Mereka yang menolak lupa tidak sedang menolak bangsa, melainkan sedang menjaga agar bangsa ini tidak kehilangan jiwanya.

Kegagalan terbesar kita bukan pada masa lalu yang kelam, melainkan pada ketakutan untuk menatapnya dengan jujur.

Setiap bangsa memiliki masa kelam, tetapi hanya bangsa yang berani mengakuinya yang akan tumbuh menjadi dewasa.

Load More