Kamis, 13 November 2025 | 19:05 WIB
Pius Lustrilanang. [Suara.com/Dok]
Baca 10 detik
    • Penetapan Soeharto sebagai pahlawan nasional menimbulkan perdebatan moral.
    • Bangsa ini tampak ingin berdamai dengan masa lalu tanpa keberanian menghadapi kebenaran.
    • Penghargaan terhadap penguasa otoriter mengancam standar moral bangsa dan menghapus makna keadilan sejarah.

Suara.com - Penetapan Soeharto sebagai Pahlawan Nasional menimbulkan guncangan moral yang sulit diabaikan.

Ia bukan sekadar penghargaan terhadap sosok yang pernah memimpin bangsa selama tiga dasawarsa, melainkan sebuah deklarasi politik tentang bagaimana negara ingin mengingat dirinya sendiri.

Di satu sisi, keputusan ini dianggap sebagai pengakuan atas jasa besar dalam pembangunan dan stabilitas nasional.

Namun di sisi lain, ia menimbulkan perasaan getir di hati mereka yang pernah hidup di bawah bayang represi, karena penghormatan itu terasa seperti penegasan bahwa luka mereka tidak pernah penting.

Bagi banyak orang, Soeharto memang hadir sebagai simbol keberhasilan pembangunan. Jalan raya, irigasi, pabrik, dan program swasembada pangan menjadi kenangan masa keemasan yang mudah dirayakan.

Tetapi sejarah tidak hanya dihitung dari beton dan angka pertumbuhan. Di balik 'stabilitas' itu berdiri sistem yang menutup mulut, membungkam kritik, dan menanam ketakutan sebagai mekanisme kekuasaan.

Orang-orang ditahan tanpa pengadilan, aktivis diculik, wartawan disensor, dan korupsi dijadikan bagian dari tata kelola negara.

Ketika figur yang berada di puncak sistem itu kini dinobatkan sebagai pahlawan, banyak korban merasakan sesuatu yang lebih dalam dari sekadar kekecewaan—sebuah kehilangan makna tentang apa itu keadilan.

Bangsa ini tampaknya ingin cepat berdamai dengan masa lalunya, tanpa pernah benar-benar menghadapinya. Kita ingin melupakan karena mengingat terlalu menyakitkan.

Baca Juga: Marsinah: Buruh, Perlawanan, dan Jejak Keadilan yang Tertunda

Namun yang sering luput disadari, luka yang tidak diakui tidak akan pernah sembuh. Penetapan ini, dalam pandangan banyak korban, bukanlah penutup sejarah, melainkan pembuka luka baru.

Ia seperti penghapus yang menghilangkan bekas darah dari catatan nasional, tanpa pernah menjelaskan mengapa darah itu tumpah.

Ketika Sejarah Ingin Dilupakan

Negara seolah lupa bahwa penghargaan adalah bentuk penilaian moral.

Ketika penghargaan tertinggi diberikan kepada tokoh yang di bawah kepemimpinannya lahir begitu banyak penderitaan, maka bangsa ini sesungguhnya sedang menegosiasikan nilai kemanusiaannya sendiri.

Massa dari Aliansi Nasional Pemuda Mahasiswa melakukan aksi di depan Gedung Kementerian Kebudayaan, Jakarta, Senin (10/11/2025). [Suara.com/Alfian Winanto]

Apakah pembangunan ekonomi dapat menebus hilangnya kebebasan? Apakah ketertiban sosial bisa dijadikan alasan untuk meniadakan hak asasi manusia?

Load More