Jum'at, 28 November 2025 | 14:36 WIB
Kriminolog dan Guru Besar FISIP Universitas Indonesia (UI), Prof. Adrianus Meliala. (Suara.com/ dok. Pribadi)
Baca 10 detik
  • Banyaknya peminat menjadi polisi didorong motivasi status sosial tinggi, peta karier jelas, dan teori "menumpang hidup" pada organisasi besar.
  • Profesi kepolisian lebih mengutamakan keterampilan hukum dan teknis daripada keterampilan sosial yang dibutuhkan saat berhadapan publik.
  • Reformasi diperlukan agar kepolisian lebih fokus pada pencegahan melalui penguatan keterampilan sosial, bukan penegakan hukum represif.

Terdapat situasi yang serba tanggung: Saat hendak memperkuat SDM yang memiliki social skill, organisasi kepolisian yang semakin teknokratis dan birokratis ternyata tidak meminati hal itu.

Saat hendak memperkuat legal skill, maka kepolisian seyogyanya menerima anggota berkualifikasi S-1. Saat hendak memperkuat technical skill maka seyogyanya kepolisian bergerak mengikuti prinsip perkembangan teknologi (peralatan menggantikan fungsi orang).

Khusus perihal pemanfaatan teknologi kepolisian pada umumnya, tidak atau belum terlihat bahwa semakin banyaknya peralatan lalu, pada gilirannya, meningkatkan kinerja baik secara tradisional (kecepatan respons pengaduan, penyelesaian kasus, pengurangan angka kejahatan) maupun kontemporer (produktivitas, finansial, strategis).

Apalagi bicara tentang job replacement atau tergantikannya tenaga manusia polisi oleh peralatan, hal mana bisa mengarah pada optimalisasi technology-based policing.

Terhadap satuan kepolisian yang menjalankan fungsi dimana social skill seyogyanya menjadi tekanan, terlihat bahwa semua berada di sayap yang menekankan peran polisi jauh sebelum kejahatan atau penyimpangan sosial terjadi (sayap preemptif dan preventif kepolisian).

Terkait statement saya, maka itu sejalan dengan tekanan organisasi yang pada kenyataannya lebih menekankan law-enforcement policing ketimbang berbagai model pemolisian yang lebih bernuansa pencegahan (community-oriented policing, intelligence-led policing, proactive policing dan sebagainya).

Reformasi dengan demikian diperlukan kalau mau meluruskan inkonsistensi di atas. Perlu diluruskan kembali bahwa seyogyanya kepolisian lebih fokus bekerja berbasis prevention-heavy ketimbang law-enforcement heavy.

Dengan demikian, yang diperkuat adalah satuan-satuan yang menjalankan fungsi preemptif dan preventif, bukan represif.

Selaras dengan itu, maka skill yang diperkuat bagi anggota kepolisian yang bertugas di sisi preemptif dan preventif adalah social skill.

Baca Juga: Wamen KP hingga Menteri Ngaku Terbantu dengan Polisi Aktif di Kementerian: Pengawasan Jadi Ketat

Pengedepanan social skill pula yang seyogyanya tergambar dalam rekrutmen kepolisian. Pada gilirannya, hal itu akan mengubah citra masyarakat perihal kepolisian dan animo untuk menjadi polisi agar menjadi lebih realistis.

Prof. Adrianus Meliala
Kriminolog dan Guru Besar FISIP Universitas Indonesia (UI)

Load More