Senin, 29 Desember 2025 | 11:15 WIB
Muh. Husain Sanusi, Pemerhati Pendidikan Pesantren. [Bowo/Suara.com]
Baca 10 detik
  • KH Imam Jazuli meyakini tugas pesantren adalah pendidikan, bukan alat tawar politik sektarian, menjaga kesucian amanah.
  • Pesantren BIMA tetap unggul kompetitif mencetak santri mendunia, terbukti dari ribuan beasiswa dan persebaran lulusan global.
  • Beliau menolak dana eksternal dan menghargai keragaman politik walisantri, menunjukkan integritas finansial dan demokrasi tinggi.

Suara.com - Sekali waktu, ketika pikiran semakin membuncah, saya memberanikan diri mengajukan satu pertanyaan tajam kepada pengasuh Pondok Pesantren Bina Insan Mulia: Kiai Haji Imam Jazuli

Terus terang, pertanyaan yang saya ajukan sebenarnya menjadi kegelisahan banyak orang, terutama yang mencintai beliau.

"Kiai, tidakkah panjenengan khawatir ketokohan panjenengan akan luntur akibat kritik-kritik tajam yang selalu 'update' panjenengan sampaikan melalui media sosial?" kata saya saat itu.

Lalu, saya terus mengajukan pertanyaan lanjutan, "Apakah panjenengan tidak merasa takut bila Pesantren Bina Insan Mulia akan ditinggalkan santri dan walisantri hanya karena kevokalan panjenengan di ruang publik?"

Mendengar itu, beliau tidak menunjukkan gurat kecemasan.

Sebaliknya, dengan ketenangan seorang pejuang yang sudah meyakini dirinya untuk memegang sebuah prinsip, dia memberikan jawaban yang melampaui logika pragmatis.

Bagi KH Imam Jazuli, keberadaan santri dan besarnya pesantren bukanlah alat tawar politik, melainkan amanah pendidikan yang harus dijaga kesuciannya dari kepentingan sektarian.

Dari sinilah, sebuah pelajaran besar tentang pendidikan politik bermula.

Pesantren BIMA Melampaui Politik

Baca Juga: Bikin Acara Istighosah, Gus Miftah Paksa Gus Ipul dan Gus Ipang Wahid Rogoh Kocek Sendiri

Para walisantri Bina Insan Mulia (BIMA) tidak perlu merasa khawatir atau ragu terhadap pernyataan-pernyataan vokal KH Imam Jazuli di media sosial.

Dinamika pemikirannya di ruang publik, sama sekali tidak mereduksi apalagi mengganggu stabilitas operasional pesantren.

Justru sikap kritis beliau adalah cerminan dari kecerdasan intelektual, yang juga ditanamkan dalam kurikulum pesantren.

Hingga saat ini, BIMA tetap tegak berdiri sebagai pesantren favorit yang unggul secara kompetitif.

Fokus utama lembaga ini tetap konsisten pada kualitas pengajaran dan prestasi akademik.

Alih-alih terpengaruh oleh hiruk-pikuk politik, BIMA justru semakin memantapkan diri dalam mencetak output santri yang mendunia.

Ribuan beasiswa yang telah dinikmati oleh para santri adalah bukti nyata dedikasi KH Imam Jazuli, terhadap masa depan anak didik jauh melampaui aktivitas politiknya.

Kesuksesan lulusan BIMA yang kini tersebar di berbagai belahan dunia—mulai dari Mesir, Maroko, Tunisia, Yordania, hingga Turki di kawasan Timur Tengah, serta Tiongkok, Taiwan, hingga negara-negara Eropa—adalah jawaban telak atas segala keraguan yang diembuskan oleh para hatters.

Kepercayaan dunia internasional terhadap kualitas lulusan BIMA, menunjukkan manajemen pendidikan di bawah kepemimpinan beliau berjalan dengan standar profesionalisme yang sangat tinggi.

Menghargai Keragaman Walisantri

Secara sosiologis, KH. Imam Jazuli sedang meredefinisi hubungan kiai dan santri menjadi lebih emansipatoris.

Beliau menegaskan bahwa loyalitas terhadap pesantren tidak berarti penyeragaman pilihan politik.

Di BIMA, walisantri diberikan kebebasan penuh untuk memiliki preferensi politik yang berbeda dengan sang pengasuh.

Beliau memposisikan walisantri sebagai mitra yang setara dan berdaya dalam menentukan pilihan tanpa tekanan struktural.

Bukti nyata dari sikap ini terlihat jelas pada momentum pemilihan presiden serta pemilihan legislatif tahun 2024.

Meskipun KH. Imam Jazuli dikenal aktif sebagai motor penggerak politik kultural, beliau tidak pernah sekali pun mengeluarkan surat maklumat atau perintah instruksional yang mewajibkan walisantri mengikuti pilihan politiknya.

Statemen beliau mengenai "Warga NU Wajib ber-PKB" adalah gagasan ideologis untuk konsumsi publik luas, bukan paksaan bagi wali muridnya. Slogan tersebut hanya ditujukan kepada warga NU bukan Walisantri BIMA.

Maka tak heran, latar belakang politik walisantri di BIMA sangatlah beragam; mulai dari simpatisan PKB, Golkar, PDI Perjuangan, hingga partai lainnya.

Bahkan, beliau menunjukkan kedermawanan politik yang luar biasa: jika ada walisantri yang mencalonkan diri dalam Pilkada atau Pileg, KH. Imam Jazuli bersedia membantu dan mendoakan tanpa memandang sekat partainya.

Ini adalah level tertinggi dari sebuah komitmen demokrasi di lingkungan pesantren.

Integritas: Selesai dengan Urusan Materi

Salah satu pilar yang memperkokoh posisi kritis KH. Imam Jazuli adalah kemandirian finansial yang absolut.

Beliau menunjukkan integritas luar biasa dengan konsisten menolak menerima infak, sedekah, wakaf, maupun hadiah dari pihak manapun—baik walisantri maupun aktor politik.

Seluruh sumber daya dikerahkan secara mandiri untuk pengembangan pesantren.

Kerelaan beliau menggunakan dana pribadi demi menegakkan prinsip menjadi bukti kuat bahwa KH. Imam Jazuli telah "selesai" dengan urusan materi.

Integritas inilah yang membuat suara beliau begitu merdeka; beliau bersuara bukan karena pesanan, melainkan karena panggilan idealisme yang tulus.

Politik sebagai Alat Pelayanan, Bukan Ambisi

Meski mengasuh lebih dari 5.000 santri, KH. Imam Jazuli tetap memilih jalur kultural.

Selama delapan tahun terakhir, beliau konsisten menjaga jarak dari agenda seremonial yang tidak substansial, kecuali momen-momen krusial yang menyangkut hajat hidup kaum santri, seperti forum-forum strategis PKB atau Presidium MLB.

Ini mempertegas bahwa keterlibatan KH. Imam Jazuli dalam lingkaran kritis PBNU bukanlah upaya mengejar jabatan.

Sebaliknya, ini adalah bentuk khidmah (pelayanan) untuk memastikan organisasi tetap berada di atas rel yang benar.

Beliau memilih jalan berisiko demi memastikan rumah besar NU tetap menjadi pengayom bagi pesantren dan aspirasi politik kaum santri.

KH. Imam Jazuli adalah potret kiai muda yang memiliki pendirian baja. Beliau mengajarkan bahwa politik adalah instrumen pelayanan, bukan tangga pemuas ambisi.

Kritik lantang yang beliau suarakan adalah bentuk cinta yang mendalam terhadap NU.

Bagi para walisantri, tidak ada alasan untuk ragu. BIMA tetap menjadi rumah belajar yang profesional, progresif, dan fokus pada prestasi global.

KH. Imam Jazuli membuktikan bahwa seorang pemimpin bisa memiliki prinsip politik yang tajam di luar, namun tetap menjaga profesionalitas dan memberikan kasih sayang total bagi kemajuan santri-santrinya di dalam.

Muh. Husain Sanusi
Pemerhati Pendidikan Pesantren
Penulis buku Trimurti: menelusuri jejak berdirinya Ponpes Gontor

Load More