Suara.com - Merespons protes publik yang begitu masif terhadap pengesahan (UU) Sapu Jagat Cipta Kerja pada 5 Oktober lalu, Presiden Joko Jokowi Widodo berusaha mengklarifikasi informasi yang beredar di masyarakat tentang UU Cipta Kerja. Presiden mengatakan unjuk rasa yang berlangsung di jalan-jalan dipicu semata-mata dari hoaks dan disinformasi.
Menteri Komunikasi dan Informasi Johnny G. Plate mengulang tuduhan serupa dalam sebuah diskusi publik.
Sontak saja, para pendemo marah besar. Mereka mengatakan tuduhan ini berupaya untuk mendiskreditkan perjuangan rakyat yang menentang pembatalan UU Cipta Kerja yang tidak hanya proses legislasinya melanggar prosedur hukum tapi substansinya juga berpotensi melanggar hak asasi manusia (HAM).
Klaim Presiden Jokowi pun sudah dipatahkan oleh berbagai pihak.
Tapi berdasarkan pengamatan yang saya lakukan, strategi pemerintah sangat efektif dalam mengalihkan perhatian masyarakat dari demo.
Data dari CrowdTangle—alat yang merekam percakapan publik yang dimiliki dan dioperasikan oleh Facebook, seminggu sebelum pernyataan presiden terdapat 15.819 percakapan dengan kata kunci “cipta kerja” di Indonesia.
Berdasarkan total jumlah Likes, Comments, Shares, dan pemberian impresi Loves, Wow, Haha, Sad, Angry, dan Care di Facebook, konten yang paling mendominasi terkait demontrasi dan kejanggalan proses pengesahan UU.
Namun setelah adanya pernyataan demo dipicu hoaks, arah diskusi di ruang publik berubah. Dari 21.971 percakapan di Facebook yang dikumpulkan, narasi yang dominan adalah demonstran tidak paham substansi UU dan dukungan terhadap Jokowi.
Apa yang membuat manuver politik pemerintah, yang banyak pihak disebut dengan istilah gaslighting, berhasil?
Baca Juga: DPR dan Pemerintah Tak Transparan, Cucu Bung Hatta: UU Cipta Kerja Cacat
Gaslighting
Strategi pemerintah melibatkan teknik retorika yang mengambinghitamkan pihak lain.
Pakar sastra dan filsafat Amerika Serikat Kenneth Burke menyebut praktik retorika yang sudah dikenal lama ini dengan istilah “scapegoating” atau pengambinghitaman.
Dalam perkembangannya, teknik mengambinghitamkan pihak lawan dengan tujuan untuk membingungkan publik publik dikenal dengan teknik gaslighting.
Dalam kaidah ilmu psikologi, teknik gaslighting ini merupakan salah satu strategi untuk menyerang lawan dengan mempertanyakan kredibilitas lawan tersebut
Kajian psikologi merujuk pelaku gaslighting memanipulasi korbannya dan lingkungan di sekitarnya agar korban percaya bahwa ia berhalusinasi dan tidak kompeten melakukan penilaian terhadap sesuatu hal.
Dalam konteks politik, fenomena penggunaan teknik gaslighting ini misalnya dilakukan dengan sangat terbuka dan berulang-ulang oleh Presiden Amerika Serikat Donald Trump.
Selain Trump, Presiden Bill Clinton juga pernah melakukan taktik ini saat ia menyangkal melakukan hubungan seksual dengan Monica Lewinsky, dengan tujuan untuk melindungi keluarganya.
Teknik gaslighting ini juga digunakan untuk mempertahankan hegemoni rasial kulit putih atas kulit hitam di Amerika. Saat terjadi gerakan Black Lives Matter, misalnya, muncul juga narasi All Lives Matter yang dianggap memiliki tujuan terselubung yakni melanggengkan hegemoni kulit putih
Dalam melanggengkan hegemoni gender, teknik gaslighting hadir ketika muncul narasi yang menyerang perempuan sebagai makhluk emosional dan kurang rasional dibanding laki-laki. Dalam kasus kekerasan domestik di Amerika Serikat, institusi kedokteran dan hukum biasanya turut membangun narasi ini dengan melabeli korban kekerasan “gila” dan “emosional”.
Resep sukses gaslighting
Gaslighting dalam konteks politik termasuk bentuk kontemporer dari propaganda karena mengandung unsur manipulasi, kekuatan persuasi yang besar, efek persuasi yang masif.
Ada dua komponen dasar yang menentukan kesuksesan teknik gaslighting: disinformasi dan lingkungan yang mendukung narasi tersebut.
Ada dua jenis penyebaran disinformasi dalam teknik gaslighting. Yang pertama adalah menyampaikan disinformasi secara terencana untuk menutupi pelanggaran janji politik atau kesalahan yang diperbuat. Dan yang kedua adalah penyampaian disinformasi secara serampangan di berbagai kesempatan.
Selain penyebaran disinformasi, teknik gaslighting bisa bekerja efektif jika narasi yang dibangun mendapat dukungan.
Misalnya strategi gaslighting Trump sering kali berhasil karena narasi yang ia bangun diperluas oleh pendukung Trump di media sosial dan juga media-media partisan partai Republik.
Trump misalnya pernah mengaburkan informasi di media sosial dengan mencuit bahwa lawan politiknya ketika itu Hillary Clinton yang memulai isu bahwa mantan Presiden Barack Obama tidak memiliki akta kelahiran dari pemerintah Amerika Serikat. Narasi ini berhasil menarik perhatian media arus utama dan menjadi besar karena diperbesar oleh pendukung Trump di media sosial dan juga media-media partisan.
Pola yang sama juga terlihat dalam kasus pemerintah dengan narasi hoaks di balik demo. Narasi Presiden digaungkan oleh akun pendukungnya, seperti Denny Siregar dan laman Info Seputar Presiden
Dukungan dari Bank Dunia dan pengacara Indonesia terkemuka Hotman Paris juga dipakai untuk membentuk argumen dari narasi presiden bahwa UU ini baik bagi Indonesia. Media massa pun turut mendukungnya dengan pemberitaan yang memperkuat narasi tersebut.
Selain itu, teknik ini juga berhasil karena memanfaatkan kondisi politik yang semakin terpolarisasi sejak pemilihan presiden 2019. Hal ini mengakibatkan orang-orang yang berada di kubu Jokowi akan membela narasinya habis-habisan.
Artikel ini sebelumnya tayang di The Conversation.
Berita Terkait
-
'Geruduk' Istana di Hari Tani, Petani Sodorkan 6 Tuntutan Keras untuk Prabowo: Cabut UU Cipta Kerja!
-
Demo Ricuh Kemarin Beda dengan Aksi 28 Agustus, Dasco: Itu Aspirasi Buruh, Bukan Aksi Lanjutan...
-
PSN: Karpet Merah Korporasi atau Kunci Kemajuan? Gugatan di MK Buka Tabir Dampak Proyek Strategis
-
Suara Kritis untuk Omnibus Law: Di Balik Janji Manis Ada Kemunduran Hijau
-
Ironi di Ruang Sidang MK: Warga Terdampak PSN Datang dari Jauh, Pemerintah Minta Tunda, DPR Absen
Terpopuler
- Lupakan Louis van Gaal, Akira Nishino Calon Kuat Jadi Pelatih Timnas Indonesia
- Mengintip Rekam Jejak Akira Nishino, Calon Kuat Pelatih Timnas Indonesia
- 7 Mobil Keluarga 7 Seater Seharga Kawasaki Ninja yang Irit dan Nyaman
- Link Download Logo Hari Santri 2025 Beserta Makna dan Tema
- Baru 2 Bulan Nikah, Clara Shinta Menyerah Pertahankan Rumah Tangga
Pilihan
-
5Laga Klasik Real Madrid vs Juventus di Liga Champions: Salto Abadi Ronaldo
-
Prabowo Isyaratkan Maung MV3 Kurang Nyaman untuk Mobil Kepresidenan, Akui Kangen Naik Alphard
-
Suara.com Raih Penghargaan Media Brand Awards 2025 dari SPS
-
Uang Bansos Dipakai untuk Judi Online, Sengaja atau Penyalahgunaan NIK?
-
Dedi Mulyadi Tantang Purbaya Soal Dana APBD Rp4,17 Triliun Parkir di Bank
Terkini
-
Jadwal Playoffs MPL ID S16: RRQ Absen, ONIC-BTR Menunggu di Upper Bracket
-
Cara Membuat Rumah Menakjubkan di Minecraft Pocket Edition
-
BRIN Temukan Mikroplastik Berbahaya di Air Hujan Jakarta, Ini Bahayanya bagi Tubuh
-
Xiaomi Rilis Proyektor Murah: Dukung HyperOS dan Layar 120 Inci
-
Penantian 13 Tahun Berakhir, Ninja Gaiden 4 Resmi Rilis dengan Kisah Ikonis
-
Nyamuk Ditemukan di Islandia, Pertanda Iklim Global Kian Menghangat
-
Baru Rilis, Game Jurassic World Evolution 3 Dapat Review Positif
-
Spesifikasi iQOO 15: Andalkan Snapdragon 8 Elite Gen 5, Skor AnTuTu Tembus 4 Juta
-
39 Kode Redeem FF Terbaru 22 Oktober 2025, Hadiah Timnas Indonesia Lengkap hingga Skin Unik
-
LFP Innovation Day 2025: Epson Luncurkan SureColor SC-S9130, Akurasi Tinggi Industri Signage Pro