Diskusi bertajuk 'Kejarlah Pajak Kau Kuampuni' di Warung Daun Cikini, Jakarta Pusat, Sabtu (23/7/ 2016). [Suara.com/Nikolaus Tolen]
Tidak semua masyarakat menerima kehadiran Undang-undang Pengampunan Pajak atau Tax Amnesty. Masih ada sebagian masyarakat, yang menilai bahwa disahkannya UU tersebut menghadirkan ketidakadilan terhadap wajib pajak.
Karenanya, pihak yang tidak terima tersebut mengajukan gugatan berupa uji materi atau judicial review UU Pengampunan Pajak ke Mahkamah Konstitusi. Ketua Yayasan Satu Keadilan, Sugeng Teguh Santoso mengatakan bahwa salah satu pasal yang akan digugat ke Mahkamah Konstitusi adalah pasa I angka 1 tentang definisi pajak.
"Yang menyebutkan bahwa Pengampunan Pajak adalah penghapusan Pajak yang seharusnya terutang, tidak dikenai sanksi administrasi perpajakan dan sanksi pidana perpajakan, dengan membayar uang tebusan sebagaimana di atur dalam undang-undang ini," kata Sugeng di Warung Daun, Jalan Cikini Nomor 26 Cikini, Jakarta Pusat, Sabtu (23/7/2016).
Adapun pasal lainnya, kata Sugeng yang juga disorot adalah Pasal 22, tentang imunitas terhadap pejabat yang berwenang melaksanakan UU tersebut.
"Pasal 22 berbunyi, Menteri, Wakil Menteri, pegawai Kementrian Keuangan dan pihak lain yang berkaitan dengan pelaksanaan pengampunan pajak, tidak dapat dilaporkan, digugat, dilakukan penyelidikan, dilakukan penyidikan, atau dituntut, baik secara perdata maupun pidana jika dalam melaksanakan tugas didasarkan pada itikad baik dan sesuai dengan ketentuan perundang-undangan," katanya.
Sugeng menduga, pasal tersebut dimasukkan dalam UU Tax Amnesty karena khawatir kebijakan ini akan dipermasalahkan oleh rezim selanjutnya. Padahal, pasal tersebut berpotensi menimbulkan abuse of power atau penyalahgunaan wewenang.
"Jadi orang yang punya uang dari hasil korupsi pada Orde Baru, korupsi setelah Orde Baru, narkoba dan hasil BLBI yang dulu ada di luar negeri di cuci bersih, cukup dideklarasi saja tidak perlu direpatrasi juga," katanya.
Menurut Sugeng pengampunan pajak bagi para koruptor juga terlalu murah dan terlalu mengistimewakan orang yang mempuyai uang. Sudah murah, lanjut Sugeng uang yang diberikan juga menjadi intensif penghapusan pidana lain, hasil kejahatan di cuci bersih dan tidak ada jaminan uang tersebut direpatriasi.
"Ini terlalu mengistimewakan orang yang mempuyai duit. Hanya kena uang tebusan 2,4,5,6,8 dan 10 persen terlalu murah uang tebusanya, padahal kalau kena pajak bisa kena 25 persen," kata Sugeng.
Komentar
Berita Terkait
Terpopuler
- 5 Motor Matic Paling Nyaman & Kuat Nanjak untuk Liburan Naik Gunung Berboncengan
- 5 Mobil Bekas yang Perawatannya Mahal, Ada SUV dan MPV
- 5 Perbedaan Toyota Avanza dan Daihatsu Xenia yang Sering Dianggap Sama
- 5 Mobil SUV Bekas Terbaik di Bawah Rp 100 Juta, Keluarga Nyaman Pergi Jauh
- 13 Promo Makanan Spesial Hari Natal 2025, Banyak Diskon dan Paket Hemat
Pilihan
-
Senjakala di Molineux: Nestapa Wolves yang Menulis Ulang Rekor Terburuk Liga Inggris
-
Live Sore Ini! Sriwijaya FC vs PSMS Medan di Jakabaring
-
Strategi Ngawur atau Pasar yang Lesu? Mengurai Misteri Rp2.509 Triliun Kredit Nganggur
-
Libur Nataru di Kota Solo: Volume Kendaraan Menurun, Rumah Jokowi Ramai Dikunjungi Wisatawan
-
Genjot Daya Beli Akhir Tahun, Pemerintah Percepat Penyaluran BLT Kesra untuk 29,9 Juta Keluarga
Terkini
-
Daftar 611 Pinjol Ilegal Tahun 2025, Update Terbaru OJK Desember
-
Daftar Bank yang Tutup dan 'Bangkrut' Selama Tahun 2025
-
Pemerintah Kucurkan Bantuan Bencana Sumatra: Korban Banjir Terima Rp8 Juta hingga Hunian Sementara
-
Apa Itu MADAS? Ormas Madura Viral Pasca Kasus Usir Lansia di Surabaya
-
Investasi Semakin Mudah, BRI Hadirkan Fitur Reksa Dana di Super Apps BRImo
-
IPO SUPA Sukses Besar, Grup Emtek Mau Apa Lagi?
-
Strategi Ngawur atau Pasar yang Lesu? Mengurai Misteri Rp2.509 Triliun Kredit Nganggur
-
BUMN Infrastruktur Targetkan Bangun 15 Ribu Huntara untuk Pemulihan Sumatra
-
Menpar Akui Wisatawan Domestik ke Bali Turun saat Nataru 2025, Ini Penyebabnya
-
Pemerintah Klaim Upah di Kawasan Industri Sudah di Atas UMP, Dorong Skema Berbasis Produktivitas