Posisi Utang Luar Negeri Indonesia pada Tahun 2015 adalah sebesar Rp4.192 triliun berdasarkan data Bank Indonesia. Pada Tahun 2016 posisi Utang Luar Negeri Indonesia telah meningkat menjadi Rp4.347 triliun atau naik sejumlah Rp155 triliun atau sebesar 3,56 persen. Sedangkan pada Tahun 2017, posisi Utang Luar Negeri Indonesia telah menjadi Rp4.478 triliun atau naik lagi sejumlah Rp131 triliun.
Posisi Utang Luar Negeri yang setiap tahun meningkat dan kontribusi PDB yang stagnan mengindikasikan tak berjalannya roda perekonomian seperti yang diharapkan Presiden secara meroket walau telah mengeluarkan 16 paket kebijakan ekonomi.
Alokasi anggaran infrastruktur pada Tahun Anggaran 2015 adalah sebesar Rp290 triliun disebut sebagai alokasi terbesar sepanjang 10 tahun terakhir. Anggaran infrastruktur terbesar lainnya di atas Rp200 triliun teralokasi pada Tahun 2014 sejumlah Rp206,6 Trilyun. Pada Tahun 2016 alokasinya menjadi Rp313 triliun atau naik sejumlah Rp23 triliun dibanding alokasi Tahun 2015. Sementara anggaran infrastruktur Tahun 2017 kembali meningkat menjadi Rp 387,3 Trilyun atau naik sejumlah Rp 74,3 Trilyun, meningkat 3 (tiga) kali lipat dari Tahun 2016. Rencananya alokasi anggaran infrastruktur ini pada Tahun Anggaran 2018 pada RAPBN akan dinaikkan lagi menjadi Rp 409 Trilyun.
Kita menyayangkan alokasi anggaran yang tak masuk akal ini masih belum memberikan daya ungkit (leverage) selama 3 (tiga) tahun, tetapi tahun berikutnya juga mau ditambah lagi.
Ekonomi Konstitusi
Kita tentu perlu bertanya, kemana saja alokasi anggaran infrastruktur yang sangat besar itu mengalir sementara pertumbuhan ekonomi dan PDB tak berubah signifikan. Janji penegakkan konstitusi melalui jargon kemandirian ekonomi sampai saat ini belum terbukti. Justru pelanggaran Undang-Undang dan peraturan yang telah terjadi pada proses perjalanan pemerintahan Presiden Joko Widodo secara umum di hampir segala bidang.
Di bidang Ekonomi yang paling populer saat ini adalah masalah reklamasi Teluk Jakarta, ditentang oleh publik pembangunannya karena tak mengindahkan pasal 33 UUD 1945 yang memerintahkan, ayat 1: Perekonomian disusun sebagai USAHA BERSAMA berdasar atas azas KEKELUARGAAN.
Ayat 2 nya menyatakan bahwa: Cabang-cabang produksi yang PENTING bagi NEGARA dan yang menguasai HAJAT HIDUP ORANG BANYAK dikuasai oleh Negara. Artinya, apakah realisasi janji Trisskti dan Nawacita itu telah diimplementasikan, seperti soal kemandirian ekonomi yang lebih penting dan bagaimanakah posisi sektor-sektor yang menguasai hajat hidup orang banyak, seperti para petani, nelayan, pekerja, pengusaha kecil dan menengah serta Koperasi?
Maka dari itu, Presiden dan pemerintahan yang dipimpinnya tidak bisa mengabaikan prinsip ayat 1 dalam pengelolaan ekonomi nasional. Sedangkan ayat 3 nya menyatakan bahwa: Bumi, Air dan kekayaan alam yang terkandung didalamnya dikuasai oleh Negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.
Baca Juga: 2 Januari 2018, Jokowi Resmikan Kereta Api Bandara Soekarno-Hatta
Artinya, penyerahan ekonomi nasional terutama cabang-cabang produksi penting dan yang menguasai hajat hidup orang banyak kepada korporasi jelas sekali melanggar pasal konsitusi tersebut. Sebab, sangat tampak nyata dari berbagai data dam fakta yang tersebar secara luas, bahwa pembangunannya dan memberikan kesempatan mereka menjadi besar tak memberikan manfaat pada kesejahteraan masyarakat dan hanya untuk kesejahteraan atau kemakmuran orang per orang.
Sebagai contoh mutakhir, berdasarkan pengakuan para nelayan yang kehilangan pekerjaan dan mata pencaharian di sekitar wilayah Teluk Jakarta yang biasanya mereka memperoleh penghasilan rata-rata per hari Rp. 500.000, maka pemerintah dengan memberikan izin pada pengembang untuk membangun Teluk Jakarta melalui reklamasi telah menghilangkan penghidupan dan pekerjaan yang layak bagi masyarakat. Jika dihitung rata-rata per bulan maka setiap nelayan kehilangan penghasilan untuk menafkahi keluarganya sebesar Rp 10.000.000 sampai Rp 12.500.000. Apakah ini bukan pelanggaran konstitusi lagi dan tindakan penghilangan Hak Azasi Manusia (HAM) untuk memperoleh pekerjaan dan penghidupan yang layak?
Berdasarkan data dan informasi tersebut, bahwa dapat disimpulkan belum ada indikasi bekerjanya janji Trisakti dan Nawacita Presiden Jokowi terkait dengan realisasi kinerja yang yang telah dicapai, satu-satunya capaian yang bisa dicatat adalah pembangunan infrastruktur yang massif dan dengan alokasi anggaran yang sangat besar atau fantastis. Hal ini secara fisik tampak nyata oleh masyarakat dengan berbagai pembangunan jalan umum dan khusus (Tol) jembatan, bendungan dan rel kereta api.
Namun, pembangunan fisik yang megah tampilannya ini tidak diikuti oleh kinerja ekonomi dan industri sebagai penopang perekonomian nasional yang akan memberi manfaat dan dampak pada penyelesaian indikator makro ekonomi di atas. Secara sederhana dapat disampaikan bahwa pembangunan infrastruktur megah dan mentereng, tetapi ekonomi menjadi kerempeng. Secara mikro ekonomi Rumah Tangga adalah sebuah keluarga yang punya infrastruktur rumah dan peralatan yang lengkap tetapi tak satupun anggota keluarga yang bekerja atau kalaupun bekerja tak mampu mencukupi kebutuhan hidupnya secara lengkap alias kurang gizi.
Tanpa tata kelola ekonomi yang adil antara entitas ekonomi BUMN, Koperasi dan Swasta dalam pekerjaan proyek-proyek infrastruktur, maka tak akan mungkin distribusi pendapatan akan terjadi pada masyarakat, meskipun pemerataan infrastruktur wilayah terjadi.
Dengan demikian jalannya pembangunan dan roda perekonomian bangsa dan negara selama 3 (tiga) tahun pemerintahan Presiden Joko Widodo tidak taat pada dasar negara Pancasila dan konstitusi UUD 1945 serta terlebih penting dan utama adalah tidak ditujukan untuk kesejahteraan seluruh rakyat Indonesia, melainkan hanya untuk orang per orang atau sekelompok orang.
Tag
Berita Terkait
-
Pemerataan Pembangunan Infrastruktur hingga ke Wilayah Timur Indonesia
-
Industri Horeka RI Wajib Berubah atau Kehilangan Daya Saing
-
Kuras Anggaran Rp4,1 Triliun, WSKT Ungkap Progres Proyek LRT Jakarta Fase 1B
-
Strategi BUMN Ritel Dorong UMKM Miliki Daya Saing Global
-
Bukan Infrastruktur Besar, Daftar Proyek yang Dibangun di Era Pemerintahan Prabowo
Terpopuler
- Pengamat Desak Kapolri Evaluasi Jabatan Krishna Murti Usai Isu Perselingkuhan Mencuat
- Profil Ratu Tisha dan Jejak Karier Gemilang di PSSI yang Kini Dicopot Erick Thohir dari Komite
- Bukan Denpasar, Kota Ini Sebenarnya Yang Disiapkan Jadi Ibu Kota Provinsi Bali
- Profil Djamari Chaniago: Jenderal yang Dulu Pecat Prabowo, Kini Jadi Kandidat Kuat Menko Polkam
- Tinggi Badan Mauro Zijlstra, Pemain Keturunan Baru Timnas Indonesia Disorot Aneh Media Eropa
Pilihan
-
Gelombang Keracunan MBG, Negara ke Mana?
-
BUMN Tekstil SBAT Pasrah Menuju Kebangkrutan, Padahal Baru IPO 4 Tahun Lalu
-
Kemiskinan dan Ketimpangan Ekonomi RI Seperti Lingkaran Setan
-
Core Indonesia Sebut Kebijakan Menkeu Purbaya Suntik Rp200 Triliun Dinilai Salah Diagnosis
-
When Botanies Meets Buddies: Sporadies Meramban Bunga Jadi Cerita
Terkini
-
Program AND untuk 71 SLB, Bantuan Telkom Dalam Memperkuat Akses Digitalisasi Pendidikan
-
Dari Anak Tukang Becak, KUR BRI Bantu Slamet Bangun Usaha Gilingan hingga Bisa Beli Tanah dan Mobil
-
OJK Turun Tangan: Klaim Asuransi Kesehatan Dipangkas Jadi 5 Persen, Ini Aturannya
-
BUMN Tekstil SBAT Pasrah Menuju Kebangkrutan, Padahal Baru IPO 4 Tahun Lalu
-
Buat Tambahan Duit Perang, Putin Bakal Palak Pajak Buat Orang Kaya
-
Bank Mandiri Akan Salurkan Rp 55 Triliun Dana Pemerintah ke UMKM
-
Investasi Properti di Asia Pasifik Tumbuh, Negara-negara Ini Jadi Incaran
-
kumparan Green Initiative Conference 2025: Visi Ekonomi Hijau, Target Kemandirian Energi Indonesia
-
LHKPN Wali Kota Prabumulih Disorot, Tanah 1 Hektare Lebih Dihargai 40 Jutaan
-
Masyarakat Umum Boleh Ikut Serta, Pegadaian Media Awards Hadirkan Kategori Citizen Journalism