Suara.com - Tahun 2017 industri jasa keuangan di Indonesia dibayangi pertumbuhan ekonomi dan daya beli yang tidak menentu. Namun industri ini justru semakin ramai dengan kehadiran perusahaan teknologi finansial (Tekfin). Regulator pun berusaha melindungi baik konsumen dan penyedia jasa keuangan (PJK) dengan terus memperketat pengawasan di bidang ini. Di sisi lain, regulator sempat kecolongan karena lemahnya pengawasan internal dari PJK itu sendiri.
Tahun lalu terdapat tiga kasus besar di industri keuangan, yakni perjual-belian data nasabah, kasus transfer raksasa Standard Chartered, dan kasus Paradise Paper yang menyeret nama-nama besar di Indonesia. Kasus perjual-belian data nasabah diungkap oleh kepolisian pada Agustus lalu. Tak tanggung-tanggung, ada lebih dari dua juta informasi rahasia dan pribadi seperti kepemilikan apartemen, kartu kredit dan mobil mewah.
Menurut Advisor Anti Money Laundering dari Infinitum Advisory Kornelis Wicaksono, data nasabah merupakan informasi sensitif yang harus dilindungi dengan baik oleh setiap PJK. Namun hingga saat ini, belum ada satu pun sanksi yang dijatuhkan pada PJK. “Jika merujuk pada negara lain semisal Inggris, kerahasiaan data konsumen adalah hal yang sakral tidak hanya di industri keuangan. Malah, kebocoran data dapat mengakibatkan denda senilai empat persen dari omset perusahaan,” ujarnya di Jakarta, Rabu (3/1/10`8).
Hal tersebut membuktikan manajemen risiko perusahaan masih belum berjalan dengan baik dan tidak tegasnya sanksi dari regulator. Untuk meminimalisir resiko di industri keuangan, penerapan Prinsip Mengenal Nasabah (Know Your Customer, KYC) mutlak dilakukan. “Saat menerima permohonan pembiayaan, KYC dan credit scoring wajib dilakukan. Ini penting dilakukan untuk mencegah orang atau perusahaan pelaku kejahatan finansial untuk mengakses sistem keuangan,” ujar Kornel.
Salah satu kendala dari proses KYC di Indonesia adalah memastikan akurasi data yang diterima dari nasabah. Namun informasi KTP saja tidak cukup untuk menentukan tingkat risiko dari nasabah. Untuk credit scoring misalnya, diperlukan cross-check data keuangan dan sejarah perusahaan. Sedangkan untuk KYC, diperlukan informasi lengkap mengenai posisi seseorang di perusahaan-perusahaan yang terdaftar di Indonesia.
Advisor di Infinitum Advisory ini menambahkan, berkaca dari negara lain seperti Singapura, Inggris, dan Australia, mereka memiliki database terpusat yang bebas diakses untuk memastikan informasi terbaru mengenai perusahaan itu benar adanya.
Di negara-negara tersebut publik bahkan bisa dengan mudah melihat jika seseorang itu bekerja di beberapa perusahaan sekaligus dan memiliki posisi apa. Hal ini sangat berguna untuk melihat potensi benturan kepentingan, eksposur politis, dan sejarah reputasi bisnis.
Efektivitas PPATK dan Lembaga penegak hukum lain sangat terkait erat dengan kualitas pemrosesan KYC di PJK. Data yang tidak sesuai akan membuat tingkat risiko seseorang menjadi salah. Koruptor dan teroris dapat lolos dari monitoring jika proses KYC tidak dilakukan dengan baik.
Bagaimana dengan kinerja PPATK sendiri? Baru-baru ini yaitu di bulan Desember, PPATK menyatakan kinerja rezim Anti Pencucian Uang dan Pencegahan Pendanaan Terorisme di Indonesia sudah cukup baik. Hal ini tercermin dari naiknya Indeks Persepsi Publik Anti Pencucian Uang dan Pencegahan Pendanaan Terorisme 2017 menjadi 5,31 dari 5,21 di tahun 2016. Namun angka ini tetap jauh dari angka maksimal yaitu 10.
Baca Juga: Inilah Isi Regulasi Baru Bank Indonesia Terkait Fintech
Keterbatasan Sumber Daya
Sebagai gambaran, rata-rata bank di Indonesia diperkirakan menggelontorkan dana sebesar 3,59 juta dolar Amerika Serikat untuk proses kepatuhan anti pencucian uang di tahun 2016. Sedangkan di enam negara Asia, yaitu RRT, Hong Kong, Indonesia, Malaysia, Singapura dan Thailand, rata-rata proses KYC memakan bagian 14 persen dari keseluruhan proses kepatuhan anti pencucian uang PJK di tahun 2016.
Yang terbaru OJK sedang membuat rancangan aturan yang mengharuskan tekfin melakukan credit scoring melalui pihak ketiga. Di beberapa negara seperti Amerika Serikat dan Jerman, penggunaan pihak ketiga untuk melakukan credit scoring adalah hal yang lumrah. Nama-nama seperti FICO dan VantageScore di Amerika Serikat dan SCHUFA di Jerman sudah tidak asing di telinga banker dan pelaku peer-to-peer lending.
Namun beberapa tekfin justru menolak rancangan OJK ini dengan alasan hal ini akan memberatkan mereka dan kualitas scoring tidak dapat diandalkan. “Kita harus belajar dari negara lain yang tidak menganggap remeh KYC. Di awal tahun ini otoritas keuangan Inggris menjatuhkan sanksi pada bank raksasa Deutsche Bank senilai 163 juta pounds atas keteledoran dalam hal anti pencucian uang. Otoritas Singapura seakan tidak mau kalah, dengan memberikan sanksi terhadap banyak bank-bank global seperti Credit Suisse dan UOB karena sudah melanggar undang-undang anti pencucian uang,” sambungnya.
Malah, OJK Singapura turut memberikan sanksi tambahan yaitu pelarangan atau blacklist dari industri keuangan terhadap banyak petinggi bank yang terkait isu pencucian uang Lembaga 1MDB milik Malaysia. Secara total otoritas Singapura mengeluarkan pelarangan terhadap delapan orang terkait isu 1MDB.
Santernya pemberitaan negatif di media tentu berdampak pada turunnya tingkat kepercayaan publik terhadap integritas bank pelaku. Kerugian reputasi terlihat jelas di laporan keuangan Deutsche Bank awal tahun ini, di mana pendapatan perusahaan terjun bebas sebesar 10 persen. Manajemen menyalahkan aliran berita-berita buruk menjadi penyebab buruknya laporan keuangan tersebut. Hal ini membuktikan kerugian reputasi memiliki dampak langsung bagi operasional perusahaan.
Tag
Berita Terkait
-
Usut Kasus CSR, KPK Panggil Politikus Nasdem Rajiv
-
OJK: Jakarta Peringkat Ketiga Aduan Investasi Bodong, Kerugian Nasional Capai Rp142 Triliun
-
Terungkap! Cara Fintech Lending Manfaatkan AI: Analisis Risiko Lebih Akurat atau Manipulasi Data?
-
OJK Catat Nilai Kerugian dari Scam Capai Rp 7 Triliun
-
Menkeu Purbaya Bakal Hapus Kredit Macet di Bawah Rp1 Juta
Terpopuler
- Penyerang Klub Belanda Siap Susul Miliano Bela Timnas Indonesia: Ibu Senang Tiap Pulang ke Depok
- 27 Kode Redeem FC Mobile Terbaru 26 Oktober: Raih 18.500 Gems dan Pemain 111-113
- Gary Neville Akui Salah: Taktik Ruben Amorim di Manchester United Kini Berbuah Manis
- 7 Rekomendasi Sunscreen Mengandung Alpha Arbutin untuk Hilangkan Flek Hitam di Usia 40 Tahun
- 7 Pilihan Parfum HMNS Terbaik yang Wanginya Meninggalkan Jejak dan Awet
Pilihan
-
Menkeu Purbaya Tebar Surat Utang RI ke Investor China, Kantongi Pinjaman Rp14 Triliun
-
Dari AMSI Awards 2025: Suara.com Raih Kategori Inovasi Strategi Pertumbuhan Media Sosial
-
3 Rekomendasi HP Xiaomi 1 Jutaan Chipset Gahar dan RAM Besar, Lancar untuk Multitasking Harian
-
Tukin Anak Buah Bahlil Naik 100 Persen, Menkeu Purbaya: Saya Nggak Tahu!
-
Menkeu Purbaya Mau Tangkap Pelaku Bisnis Thrifting
Terkini
-
Kebiasaan Mager Bisa Jadi Beban Ekonomi
-
Jurus Korporasi Besar Jamin Keberlanjutan UMKM Lewat Pinjaman Nol Persen!
-
Purbaya Sepakat sama Jokowi Proyek Whoosh Bukan Cari Laba, Tapi Perlu Dikembangkan Lagi
-
Dorong Pembiayaan Syariah Indonesia, Eximbank dan ICD Perkuat Kerja Sama Strategis
-
Respon Bahlil Setelah Dedi Mulyadi Cabut 26 Izin Pertambangan di Bogor
-
Buruh IHT Lega, Gempuran PHK Diprediksi Bisa Diredam Lewat Kebijakan Menkeu Purbaya
-
Menkeu Purbaya Tebar Surat Utang RI ke Investor China, Kantongi Pinjaman Rp14 Triliun
-
IHSG Merosot Lagi Hari Ini, Investor Masih Tunggu Pertemuan AS-China
-
Ada Demo Ribut-ribut di Agustus, Menkeu Purbaya Pesimistis Kondisi Ekonomi Kuartal III
-
Bahlil Blak-blakan Hilirisasi Indonesia Beda dari China dan Korea, Ini Penyebabnya