Suara.com - Kepala Badan Kebijakan Fiskal (Kepala BKF) Febrio Kacaribu mengatakan kontribusi sektor pertanian sangat besar bagi Produk Domestik Bruto (PDB) Indonesia, rata-rata sebesar 13 persen. Namun, kontribusi pajak sektor pertanian relatif sangat kecil.
Oleh karena itu, untuk asas keadilan, diperlukan proporsi yang seimbang untuk kontribusi pajaknya.
"Kontribusi sektor pertanian sangat besar bagi Produk Domestik Bruto (PDB) Indonesia, rata-rata sebesar 13 persen. (Namun) sektor pertanian relatif sangat kecil pada kontribusi pajak. Dalam konteks beban penerimaan pajak, kita ingin ada proporsionality. Bahwa ada sektor yang menghasilkan besar, harusnya juga menghasilkan kontribusi pajak yang sebanding," jelasnya pada Media briefing virtual tentang Pajak Pertambahan Nilai (PPN) Produk Pertanian Tertentu pada Kamis, (6/8/2020).
Oleh karena itu, pemerintah ingin memberi kepastian hukum dengan PMK 89/PMK.010/2020 karena dahulu PPN sempat dibatalkan oleh Mahkamah Agung atas gugatan KADIN terkait Tandan Buah Segar (putusan MA 70 P/HUM/2013, kemudian PP 81/2015 yang mengganti PP 31 Tahun 2007 terkait bidang peternakan dan perikanan tetap diberikan PPN dibebaskan, serta PP 12 Tahun 2001 terkait PPN Dibebaskan di bidang usaha pertanian, perkebunan, kehutanan, peternakan, perburuan, penangkapan, penangkaran, perikanan baik penangkapan maupun budidaya.
"Ketidakpastian hukum yang ingin kita address dengan mengeluarkan PMK 89. Bagaimana kita mau memberikan kepastian hukum yang jelas supaya pelaku bisnisnya atau pelaku usahanya yang masuk kategori Wajib Pajaknya petani besar, yang memiliki omzet Rp4,8 miliar ke atas pertahun, bukan petani kecil," jelasnya.
Sekarang, dengan PMK 89/PMK.010/2020 produk pertanian, perkebunan, dan kehutanan terutang PPN.
Kemudian tidak dapat diberikan lagi fasilitas pembebasan PPN akibat dibatalkan MA, dan mekanisme DPP nilai lain dikenai PPN dengan tarif efektif 1 persen.
Adapun Barang Hasil Pertanian yang termasuk dalam lingkup aturan PMK 89 adalah produk pertanian seperti holtikultura yang terdiri dari buah-buahan (non Barang kena Pajak (BKP), kebutuhan pokok) sayur-sayuran (non BKP, kebutuhan pokok), tanaman hias dan obat (BKP), tanaman pangan (non BKP, kebutuhan pokok) seperti padi, jagung, kacang tanah, ubi kayu, beras dan gabah.
Kemudian produk perkebunan seperti kakao, kopi, aren, jambu mete, lada, pala, cengkeh, karet, teh, tembakau, tebu, kapas, kapuk, kayu manis, kina, vanili, nilam, jarak pagar, sereh, atsiri, kelapa, tanaman perkebunan dan sejenisnya (produk perkebunan semua BKP).
Selanjutnya, produk kehutanan dalam dua kategori yaitu Hasil Hutan Kayu dan Hasil Hutan Bukan Kayu.
Baca Juga: Jadwal Uji Klinis Vaksin COVID-19 Sinovac Biotech di Bandung
Hasil Hutan Kayu seperti Kayu Bulat besar/kecil, Kayu Bulat Sawut, kayu Bulat Karet, Kayu Bulat kering.
Untuk Hasil Hutan Bukan Kayu seperti Rotan Asalan, rotan bundar WS, Gubal Gaharu dan Kamedangan, Kopal damar, Biji Kemiri kering/daging biji kering, biji Tengkawang (Hasil Hutan semuanya BKP).
Petani diberikan pilihan Dasar Pengenaan Pajak (DPP) Nilai Lain. DPP Nilai Lain merupakan dasar pengenaan PPN yang ditetapkan Menteri Keuangan dan ditujukan untuk transaksi/penyerahan tertentu.
Jika biasanya PPN dihitung 10 persen dari harga jual, dengan mekanisme NILAI LAIN, DPP-nya hanya sebesar 1 persen dari harga jualnya. Jadi, kalau dihitung, tarif efektif PPN yang dibayar hanya sebesar 1 persen.
"Kemudahan PMK ini, petani diberikan pilihan untuk menggunakan mekanisme Dasar Pengenaan Pajak (DPP) Nilai Lain, petani hanya mengadministrasikan PPN yang dipungut dan disetor sebesar 1 persen dari harga jual. Intinya PPN yang dipungut dan disetor efektifnya adalah 1 persen dari harga jual. Untuk penyerahan ke Badan Usaha Industri, PPN dipungut dan disetorkan oleh badan usaha industri tersebut sehingga petani tidak perlu memungut dan menyetor PPN," pungkasnya.
Ia juga menekankan bahwa aturan ini tidak berhubungan dengan kondisi pandemi Covid-19.
Berita Terkait
-
Mentan Amran Pastikan Pemerintah Tangani Penuh Pemulihan Lahan Pertanian Puso Akibat Bencana
-
Ekonom UI Prediksi Pertumbuhan Ekonomi Indonesia Q4 Tak Capai Target Imbas Banjir Sumatra
-
Melawan Lesu Global: Ekonomi Indonesia Bidik 5,4% di 2026, Hilirisasi Jadi Senjata Utama!
-
Wamentan Sudaryono Pastikan Pemulihan Sawah Terdampak Bencana di 3 Provinsi, Tanah Bisa Diolah Lagi
-
Wamentan Sudaryono Promosikan Peluang Investasi Pertanian ke Rumania, Indonesia Swasembada Beras
Terpopuler
- 4 Daftar Mobil Bekas Pertama yang Aman dan Mudah Dikendalikan Pemula
- 6 Rekomendasi Mobil Bekas Kabin Luas di Bawah 90 Juta, Nyaman dan Bertenaga
- Dua Rekrutan Anyar Chelsea Muak dengan Enzo Maresca, Stamford Bridge Memanas
- Calon Pelatih Indonesia John Herdman Ngaku Dapat Tawaran Timnas tapi Harus Izin Istri
- Harga Mepet Agya, Intip Mobil Bekas Ignis Matic: City Car Irit dan Stylish untuk Penggunaan Harian
Pilihan
-
CERPEN: Liak
-
Rencana KBMI I Dihapus, OJK Minta Bank-bank Kecil Jangan Terburu-buru!
-
4 Rekomendasi HP 5G Murah Terbaik: Baterai Badak dan Chipset Gahar Desember 2025
-
Entitas Usaha Astra Group Buka Suara Usai Tambang Emas Miliknya Picu Bencana Banjir Sumatera
-
PT Titan Infra Sejahtera: Bisnis, Profil Pemilik, Direksi, dan Prospek Saham
Terkini
-
Industri Pindar Tumbuh 22,16 Persen, Tapi Hadapi Tantangan Berat
-
Perilaku Konsumen RI Berubah, Kini Maunya Serba Digital
-
Bagaimana Digitalisasi Mengubah Layanan Pertamina
-
Memahami Pergerakan Harga Bitcoin, Analisis Teknikal Sudah Cukup?
-
BRI Market Outlook 2026: Disiplin Valuasi dan Rotasi Sektor Menjadi Kunci
-
BCA Kembali Menjadi Juara Umum Annual Report Award, Diikuti BCA Syariah pada Klaster Rp1 Triliun
-
ESDM: Rusia-Kanada Mau Bantu RI Bangun Pembakit Listrik Tenaga Nuklir
-
Bos Lippo Ungkap 5 Modal Indonesia Hadapi Ketidakpastian Global 2026
-
Purbaya Larang Bea Cukai Sumbangkan Pakaian Bekas Hasil Sitaan ke Korban Banjir Sumatra
-
Purbaya Sewot Teknologi AI Bea Cukai Dibandingkan dengan Milik Kemenkes: Tersinggung Gue!