Suara.com - Upaya pemerintah untuk mendorong penggunaan Rooftop Photovoltaic (PV) atau PLTS Atap (Rooftop) dengan mengubah regulasi harga beli listriknya dari semula 65% menjadi 100% akan menimbulkan ketidakadilan bagi sebagian besar pelanggan listrik PT PLN (Persero).
Pelanggan harus membayar listrik lebih mahal sebagai dampak kenaikan Biaya Pokok Produksi (BPP) akibat pertambahan jumlah PLTS Atap yang masif dan harga beli listriknya yang tinggi.
Nanang Hariyanto, pakar energi listrik dari Sekolah Teknik Elektro dan Informatika (STEI) Institut Teknologi Bandung, mengatakan jika dipasang PLTS Atap, beban yang ada di rumah akan mengambil lebih dulu energi yang dihasilkan dari PLTS Atap.
Sisanya dari solar radiasi yang dihasilkan kemudian dikirim ke jaringan PLN. Dari jaringan PLN kemudian dikirim ke rumah-rumah yang lain. Harga listrik sisa harus dibeli PLN dengan harga yang sama dengan harga jual listrik PLN sebesar Rp1.440,7 per KWh.
“Ini yang saya lihat tidak adil. Waktu pengiriman ada susut energi karena melalui jaringan PLN. Belum lagi ada biaya pemeliharaan jaringan dan biaya pengembalian investasi jaringan PLN. Harganya harus adil,” ujar Nanang saat diskusi dengan media secara virtual ditulis Senin (16/8/2021).
Sebelumnya, Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) mendorong pengembangan PLTS Atap secara masif. Hal ini demi mempercepat bauran energi terbarukan (EBT) menjadi 23% pada 2025.
Salah satu insentif yang disiapkan pemerintah adalah revisi terhadap Peraturan ESDM Nomor 49 Tahun 2018 tentang Penggunaan Sistem Pembangkit Listrik Tenaga Surya Atap Oleh Konsumen PT Perusahaan Listrik Negara (Persero).
Isi dari Permen ESDM yang sedang diharmonisasi tersebut menyatakan bahwa tarif ekspor-impor PLTS Atap akan mencapai hingga 100% atau naik 35% dibandingkan dengan peraturan lama yang hanya 65%. Artinya, PLN harus membeli 100 persen listrik PLTS atap.
Menurut Nanang, harga jual listrik dari PLTS Atap lebih mahal dibandingkan pembangkit PLTS non-Atap. Dia mencontohkan PLTS non-Atap seperti PLTS Cirata harga jual listriknya adalah US$4 sen per KWh atau setara Rp600 per KWh. Sedangkan PLTS Atap dijual ke PLN seharga Rp1.440 per KWh.
Baca Juga: Best 5 Oto: Viral Toyota Alphard Main Lumpur, Pemain Bayern Munich Pakai Mobil Listrik
“Akibatnya, tentu saja Biaya Pokok Produksi (BPP) PLN akan naik,” kata Ketua Laboratorium Sistem Tenaga Listrik ITB.
Selain itu, lanjut Nanang, sistem kelistrikan Jawa Bali ditopang banyak Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) yang harus terus menerus beroperasi. Namun karena ada PLTS Atap, beban akan dipenuhi terlebih dahulu dari pasokan PLTS Atap.
Akibatnya, operasi PLTU di tekan kebawah. PLTU yang biasanya beroperasi 70-80%, karena ada PLTS Atap, beban turun sehingga menekan operasi PLTU hingga 50-60%.
“Karena turun, keberadaan PLTS Atap menekan operasi PLTU operasinya hingga 50-60. Dampaknya, efisiensi PLTU menjadi rendah,” ungkap Nanang.
Akibat dua faktor itu, BPP pembangkit Jawa Bali menjadi naik. Semua pelanggan PLN akan menanggungnya. Padahal penyedia rooftop hanya beberapa persen. Kalau naik, harus disubsidi oleh negara. Jadi beban APBN.
“Akibat PV Rooftop yang hanya beberapa persen itu menyebabkan 70 juta pelanggan PLN merasakan dampak kenaikan BPP. Kecuali negara mau menanggung, silakan,” ujarnya.
Berita Terkait
Terpopuler
- 4 Link DANA Kaget Khusus Jumat Berkah: Klaim Saldo Gratis Langsung Cuan Rp 345 Ribu
- 7 Rekomendasi Parfum Terbaik untuk Pelari, Semakin Berkeringat Semakin Wangi
- Unggahan Putri Anne di Tengah Momen Pernikahan Amanda Manopo-Kenny Austin Curi Perhatian
- 8 Moisturizer Lokal Terbaik untuk Usia 50 Tahun ke Atas, Solusi Flek Hitam
- 15 Kode Redeem FC Mobile Aktif 10 Oktober 2025: Segera Dapatkan Golden Goals & Asian Qualifier!
Pilihan
-
Grand Mall Bekasi Tutup, Netizen Cerita Kenangan Lawas: dari Beli Mainan Sampai Main di Aladdin
-
Jay Idzes Ngeluh, Kok Bisa-bisanya Diajak Podcast Jelang Timnas Indonesia vs Irak?
-
278 Hari Berlalu, Peringatan Media Asing Soal Borok Patrick Kluivert Mulai Jadi Kenyataan
-
10 HP dengan Kamera Terbaik Oktober 2025, Nomor Satu Bukan iPhone 17 Pro
-
Timnas Indonesia 57 Tahun Tanpa Kemenangan Lawan Irak, Saatnya Garuda Patahkan Kutukan?
Terkini
-
Pakar Pangan Menilai Harga Gabah di Masa Pemerintahan Prabowo Menyenangkan
-
Hadirkan Musik Kelas Dunia Melalui Konser Babyface dengan Penawaran Eksklusif BRImo Diskon 25%
-
RDN BCA Dibobol Rp 70 Miliar, OJK Akui Ada Potensi Sistemik
-
ESDM Pastikan Revisi UU Migas Dorong Investasi Baru dan Pengelolaan Energi yang Berkelanjutan
-
Penyaluran Pupuk Subsidi Diingatkan Harus Sesuai HET, Jika Langgar Kios Kena Sanksi
-
Tak Mau Nanggung Beban, Purbaya Serahkan Utang Kereta Cepat ke Danantara
-
Modal Asing Rp 6,43 Triliun Masuk Deras ke Dalam Negeri Pada Pekan Ini, Paling Banyak ke SBN
-
Pertamina Beberkan Hasil Penggunaan AI dalam Penyaluran BBM Subsidi
-
Keluarkan Rp 176,95 Miliar, Aneka Tambang (ANTM) Ungkap Hasil Eksplorasi Tambang Emas Hingga Bauksit
-
Emiten PPRO Ubah Hunian Jadi Lifestyle Hub, Strategi Baru Genjot Pendapatan Berulang