Suara.com - Miftakhutin (47) dan empat rekan sesama pembatik khas Batik Batang Rifaiyah melantunkan Sholawat manakala cucuk, bagian yang berfungsi sebagai mata pena tempat keluarnya malam atau lilin, menggores permukaan kain. Mereka sedang mencanting, proses membuat batik tulis khas Batang, yang semakin hari semakin sulit ditemui di pasaran. Sholawatan, merupakan salah satu ciri khas dalam proses pembuatan Batik Tulis Batang yang sudah ada sejak tahun 1600-an, dimana kebanyakan pembatik adalah santriwati dari Kyai Haji Ahmad Rifai. Tradisi ini, masih dilakukan secara turun temurun hingga saat ini.
“Sedih. Sepuluh tahun ke depan, mungkin sudah tidak ada lagi pengrajin Batik Tulis Batang premium, karena saat ini hanya tersisa tiga pembatik tulis premium, dan hanya dua orang saja yang masih aktif karena usia mereka semakin sepuh," ”tutur Utin, nama panggilannya.
Utin pantas resah. Dulu, di tahun 2012 ia mendirikan Kelompok Usaha Bersama (KUB) Tunas Cahaya. Hal ini ia lakukan untuk mengumpulkan pengrajin Batik Tulis Batang yang terbiasa bekerja sendiri-sendiri di rumah dan hasil karyanya diwariskan hanya kepada anak-anaknya saja, atau jika dijual pun dihargai dengan sangat murah.
“Pola ini membuat minat anak muda untuk membatik semakin turun. Karena untuk menghasilkan sebuah batik tulis premium dibutuhkan waktu hingga satu tahun bahkan lebih, untuk batik tulis halus dibutuhkan waktu setidaknya enam bulan, batik tulis sedang antara satu hingga tiga bulan, dan batik tulis biasa sekitar satu bulanan,” kata Utin.
Dulu, untuk batik tulis biasa harganya sangat murah, di kisaran Rp 750.000, di mana uang itu belum tentu cukup untuk membeli bahan dan proses produksi.
Sebelum pandemi Covid-19, KUB Tunas Cahaya sempat mempersatukan 20-an pembatik khas Batik Tulis Batang Rifaiyah. Namun setelah pandemi, hanya tersisa tujuh pembatik saja.
“Kebanyakan pembatik kini bekerja di sektor lain seiring semakin sulitnya ekonomi,” kata Utin.
Karena itulah, kini KUB Tunas Cahaya menetapkan harga Rp 1,2 juta untuk batik tulis biasa, Rp 2,5 juta untuk batik tulis sedang, Rp 4 juta untuk batik tulis halusan, dan Rp 5 jutaan lebih untuk batik tulis premium. Nilai ini merupakan harga yang layak untuk karya seni adi luhung, mengingat kerumitan dan panjangnya proses produksinya.
Tak jauh dari rumah Utin, masih di desa Kalipucang, Umriyah (85) yang dikenal dengan panggilan Ma Si’um, tetap setia dengan cantingnya. Di usia sepuhnya, ia setiap bulan masih aktif menghasilkan setidaknya satu atau dua karya Batik Tulis Batang kualitas biasa. Di mana untuk motif Alas Roban, parade binatang yang digambar memiliki kekhasannya tersendiri. Yaitu, memiliki tubuh terpotong karena larangan menggambar makhluk hidup pada ajaran yang dianut jamaah Rifaiyah.
Baca Juga: Pesona Rizky Ridho Jadi Model Busana Batik, Ramai Digombali Pemain Timnas hingga Kekasih
Selain motif Alas Roban yang khas, Batik Tulis Batang memiliki ciri khas lain yaitu teknik tiga pewarnaan atau dikenal dengan tiga negeri, teknik warna sogan ireng-irengan atau warna coklat kehitam-hitaman. Dan untuk proses menggambar, ada kebiasaan yang disebut remukan, di mana malam atau lilin batik akan diremukkan sehingga menciptakan motif garis yang tidak tegas alias seperti luber.
“Membatik itu bagian hidup Ma’e,” kata Muthola’ah (37), anak bungsu Umriyah.
Dari hasil membatik, Umriyah setidaknya bisa menghidupi anak-anaknya selepas sang suami wafat di tahun 1998. Ia juga mampu menyekolahkan atau memasukkan anak-anaknya ke pondok pesantren. Namun, konsistensi membatik Umriyah tidak menurun pada putri-putri mereka yang beristirahat membatik sejak bertahun-tahun lalu. Dan, salah satunya karena harga Batik Batang yang jauh dari nilai keekonomian.
“Susah memang mencari penerus Batik Tulis Batang,” kata Utin.
Bertahan demi Warisan Budaya
Para pemerhati, pewaris, pecinta budaya dan Batik Tulis Batang tidak mau berdiam diri. Ragam upaya dilakukan, salah satu di antaranya dengan memasukkan batik sebagai bagian dalam pelajaran tata busana di SMKN 1 Warungasem.
Berita Terkait
-
Gara-Gara Insiden Ini, Pesawat Batik Air Disamakan dengan Yamaha Mio, Kok Bisa?
-
Mengulik Kisah Perjalanan Para Pembatik Nitik di Kelurahan Trimulyo
-
Ciptakan Motif Unik, Anak Down Syndrome Berkreasi dengan Batik Shibori
-
Mengenal 3 Bahan Tekstil Kain Batik
-
Pandam Adiwastra Janaloka Peduli Lingkungan dengan Beralih ke Pewarna Alami
Terpopuler
- Terungkap! Kronologi Perampokan dan Penculikan Istri Pegawai Pajak, Pelaku Pakai HP Korban
- 5 Rekomendasi Motor yang Bisa Bawa Galon untuk Hidup Mandiri Sehari-hari
- 5 Bedak Padat yang Bagus dan Tahan Lama, Cocok untuk Kulit Berminyak
- 5 Parfum Aroma Sabun Mandi untuk Pekerja Kantoran, Beri Kesan Segar dan Bersih yang Tahan Lama
- 7 Pilihan Sepatu Lokal Selevel Hoka untuk Lari dan Bergaya, Mulai Rp300 Ribuan
Pilihan
-
Jenderal TNI Muncul di Tengah Konflik Lahan Jusuf Kalla vs GMTD, Apa Perannya?
-
Geger Keraton Solo: Putra PB XIII Dinobatkan Mendadak Jadi PB XIV, Berujung Walkout dan Keributan
-
Cetak 33 Gol dari 26 Laga, Pemain Keturunan Indonesia Ini Siap Bela Garuda
-
Jawaban GoTo Usai Beredar Usul Patrick Walujo Diganti
-
Waduh, Rupiah Jadi Paling Lemah di Asia Lawan Dolar Amerika Serikat
Terkini
-
Daftar Pemegang Saham BUMI Terbesar, Dua Keluarga Konglomerat Masih Mendominasi
-
Tips dan Cara Memulai Investasi Reksa Dana dari Nol, Aman untuk Pemula!
-
Danantara Janji Kembalikan Layanan Premium Garuda Indonesia
-
Strategi Bibit Jaga Investor Pasar Modal Terhindar dari Investasi Bodong
-
ESDM Ungkap Alasan Sumber Listrik RI Mayoritas dari Batu Bara
-
Program Loyalitas Kolaborasi Citilink dan BCA: Reward BCA Kini Bisa Dikonversi Jadi LinkMiles
-
IHSG Berbalik Loyo di Perdagangan Kamis Sore, Simak Saham-saham yang Cuan
-
COO Danantara Tampik Indofarma Bukan PHK Karyawan, Tapi Restrukturisasi
-
COO Danantara Yakin Garuda Indonesia Bisa Kembali Untung di Kuartal III-2026
-
Panik Uang di ATM Mendadak Hilang? Segera Lakukan 5 Hal Ini