Suara.com - Menteri Keuangan Republik Indonesia, Sri Mulyani Indrawati, menyampaikan kritik pedas terhadap kebijakan tarif resiprokal yang diterapkan oleh Presiden Amerika Serikat (AS) kepada sejumlah negara, termasuk Indonesia.
Dalam Sarasehan Ekonomi Bersama Presiden Republik Indonesia yang disiarkan melalui YouTube Sekretariat Presiden pada Selasa (8/3/2025), Sri Mulyani dengan tegas menyatakan bahwa logika di balik perhitungan tarif timbal balik tersebut sulit dipahami oleh para ekonom.
"Tarif resiprokal yang disampaikan oleh Amerika terhadap 60 negara menggambarkan cara penghitungan tarif tersebut yang saya rasa semua ekonomi yang sudah belajar ekonomi tidak bisa memahami," ujarnya di hadapan forum yang dihadiri oleh Presiden dan para ahli ekonomi.
Bendahara negara ini bahkan secara blak-blakan menuding bahwa mantan Presiden AS, Donald Trump, telah mengesampingkan prinsip-prinsip ilmu ekonomi dalam pengambilan keputusan terkait tarif. Menurutnya, motivasi utama di balik kebijakan tersebut lebih berorientasi pada upaya menutup defisit perdagangan AS dengan mitra dagangnya, alih-alih didasarkan pada pertimbangan ekonomi yang rasional.
"Jadi ini juga sudah tidak berlaku lagi ilmu ekonomi, yang penting pokoknya tarif duluan karena tujuannya adalah menutup defisit. Tidak ada ilmu ekonominya di situ. Menutup defisit, itu artinya saya tidak ingin bergantung atau beli kepada orang lain lebih banyak dari apa yang saya bisa jual kepada orang lain," beber Sri Mulyani dengan nada prihatin.
Lebih lanjut, ia menggambarkan kebijakan tarif resiprokal ini sebagai tindakan yang "murni transaksional" dan tanpa landasan ilmiah ekonomi yang kuat. Bahkan, dengan nada sedikit menyindir, Sri Mulyani menyampaikan bahwa ilmu ekonomi yang selama ini dipelajari oleh para sarjana ekonomi seolah menjadi "tidak berguna" dalam menghadapi realitas kebijakan yang didorong oleh pragmatisme semata.
"Itu purely transactional. Tidak ada landasan ilmu ekonominya. Jadi teman-teman ini ada ISEI (Ikatan Sarjana Ekonomi Indonesia) di sini, mohon maaf tidak berguna pak ilmunya hari-hari ini," tambahnya, yang disambut dengan tawa kecil dari para peserta sarasehan.
Dalam kesempatan tersebut, Sri Mulyani juga mengungkapkan bahwa Presiden Prabowo Subianto sebenarnya telah memberikan pembekalan kepada jajaran kabinetnya mengenai kondisi geopolitik dan ekonomi global yang semakin didominasi oleh pendekatan realis dan pragmatis sejak berakhirnya Perang Dunia II. Namun, ia mengakui bahwa realitas perubahan global ini terjadi lebih cepat dari perkiraan dan menuntut respons yang tepat dan cepat pula.
Kebijakan tarif resiprokal AS ini, di mana Indonesia turut terkena dampak dengan tarif sebesar 32 persen, telah memicu respons negatif dari berbagai negara dan mengguncang pasar keuangan global. Sri Mulyani menyoroti bagaimana China, yang awalnya diperkirakan akan mengambil sikap hati-hati, justru menunjukkan ketegasan yang serupa dengan AS dalam merespons kebijakan tarif tersebut.
Baca Juga: Tarif Impor Naik, Komisi VI Desak Pemerintah Tempuh Jalur WTO
"Dan ini menimbulkan suatu eskalasi, makanya pemburukan di pasar uang dalam dua hari terakhir ini karena respon kedua sesudah China menyampaikan retaliasi," tuturnya, menggambarkan kekhawatiran akan dampak lanjutan dari perang dagang yang semakin memanas.
Situasi semakin memburuk ketika Presiden Trump melalui platform media sosialnya mengancam akan menaikkan tarif impor dari China menjadi 50 persen setelah negara Tirai Bambu tersebut mengeluarkan respons balasan. Sri Mulyani menilai bahwa kondisi ini merupakan eskalasi yang belum mencapai titik akhir dan akan sulit untuk diredam mengingat melibatkan langsung kepala negara.
"Sesudah China menyampaikan retaliasi, Presiden Trump dengan Twitter mengatakan saya akan menaikkan lagi tarifnya menjadi 50 persen. Ini adalah eskalasi yang belum berakhir. Dan karena ini sudah menyangkut Presiden dengan Presiden, biasanya akan sangat sulit untuk face saving-nya," pungkas Sri Mulyani.
Menghadapi dinamika global yang penuh ketidakpastian ini, Sri Mulyani menekankan pentingnya bagi Indonesia untuk bersikap terbuka, pragmatis, dan sekaligus lincah (agile) dalam merumuskan dan mengimplementasikan kebijakan ekonomi.
Pemerintah Indonesia dituntut untuk terus memantau perkembangan situasi global, menganalisis dampaknya terhadap perekonomian nasional, dan mengambil langkah-langkah strategis untuk melindungi kepentingan bangsa di tengah gejolak perdagangan internasional yang semakin intens. Pernyataan keras Sri Mulyani ini menjadi sinyal kuat bahwa Indonesia tidak akan tinggal diam dalam menghadapi kebijakan perdagangan yang dianggap tidak adil dan tidak berlandaskan prinsip ekonomi yang sehat.
Tag
Berita Terkait
Terpopuler
- 4 Sepatu Lokal Senyaman On Cloud Ori, Harga Lebih Terjangkau
- 5 Body Lotion Niacinamide untuk Cerahkan Kulit, Harganya Ramah Kantong Ibu Rumah Tangga
- Menguak PT Minas Pagai Lumber, Jejak Keluarga Cendana dan Konsesi Raksasa di Balik Kayu Terdampar
- 5 HP Murah Terbaik 2025 Rekomendasi David GadgetIn: Chip Mumpuni, Kamera Bagus
- 55 Kode Redeem FF Terbaru 9 Desember: Ada Ribuan Diamond, Item Winterlands, dan Woof Bundle
Pilihan
-
Entitas Usaha Astra Group Buka Suara Usai Tambang Emas Miliknya Picu Bencana Banjir Sumatera
-
PT Titan Infra Sejahtera: Bisnis, Profil Pemilik, Direksi, dan Prospek Saham
-
OJK: Kecurangan di Industri Keuangan Semakin Canggih
-
PT Tusam Hutani Lestari Punya Siapa? Menguasai Lahan Hutan Aceh Sejak Era Soeharto
-
Harga Minyak Melonjak: AS Sita Kapal Tanker di Lepas Pantai Venezuela
Terkini
-
Diresmikan Prabowo, Jembatan Ini Habiskan 10 Ribu Ton Semen
-
Akhir Tahun jadi Berkah Buat Industri Logistik
-
IHSG Turun Dibayangi The Fed, Ini Analisis Rekomendasi Saham Trading Jumat 12 Desember
-
CPNS 2026 Diutamakan untuk Fresh Graduate, Menpan-RB Ungkap Alasannya
-
Ancam Rumahkan 16 Ribu Pegawai Bea Cukai, Purbaya Sebut Perintah dari 'Bos Atas'
-
SHIP Tambah 1 Armada VLGC Perluas Pasar Pelayaran Migas Internasional
-
Mentan Amran Pastikan Pemerintah Tangani Penuh Pemulihan Lahan Pertanian Puso Akibat Bencana
-
Strategi Asabri Hindari Fraud dalam Pengelolaan Dana Pensiun
-
Bisnis Properti di Negara Tetangga Tertekan, Fenomena Pajak Bisa Jadi Pelajaran
-
Manuver Purbaya Tarik Bea Keluar Emas, Ini Efeknya Versi Ekonom UI