- OJK dan DPR sepakat terapkan skema risk sharing asuransi kesehatan swasta yang mewajibkan peserta bayar minimal 5 persen klaim mulai Januari 2026.
- Aturan baru ini akan diatur dalam Peraturan OJK (POJK) untuk memastikan penggunaan layanan kesehatan terukur dan berkelanjutan.
- Skema pembagian risiko ini bersifat opsional dan bertujuan menekan kenaikan premi akibat tingginya rasio klaim industri.
"Rancangan POJK tentang Penguatan Ekosistem Asuransi Kesehatan sudah beberapa kali dibahas dengan Kementerian Hukum, dan kami menunggu proses harmonisasinya lebih lanjut," lanjut Mahendra.
Pro dan Kontra
Guru Besar Ekonomi Universitas Indonesia Prof Dr Budi Frensidy menilai skema co-payment atau risk sharing penting bagi industri asuransi dan akan menguntungkan nasabah. Dalam kajiannya, ia mengungkapkan rasio klaim asuransi kesehatan di Indonesia sudah jauh melampaui premi yang dibayarkan, yakni mencapai 131,2 persen pada 2023 dan 121,9 persen pada 2024.
Angka ini menunjukkan perusahaan asuransi secara kotor mengalami kerugian signifikan dari produk kesehatan yang mereka jual. Jika kondisi ini terus berlanjut, keberlangsungan industri asuransi jiwa (yang sering menjual produk kesehatan) terancam, yang berdampak pada stabilitas sektor keuangan.
Ia menilai aturan baru ini didasari oleh fakta bahwa tanpa pembagian risiko, perusahaan asuransi akan terus menaikkan premi secara drastis (kenaikan rata-rata premi bahkan mencapai 43 persen pada tahun lalu) agar tidak merugi.
Karenanya skema risk sharing harus dipandang sebagai bentuk kontrol untuk mengatasi moral hazard pemegang polis, pekerja medis, dan rumah sakit.
"(Dari sisi pasien), moral hazard penggunaan asuransi tidak bijak, seperti terjadinya overklaim, terutama untuk rawat jalan. Dari sisi pekerja medis atau rumah sakit, sembarangan membebankan obat atau sengaja menambah rawat inap tidak dibutuhkan pasien," ujarnya.
Tujuan akhirnya adalah agar kenaikan premi tahunan yang sangat tinggi dapat dihindari, sehingga premi asuransi kesehatan komersial tetap murah dan terjangkau bagi masyarakat.
"Dalam kondisi ekonomi sulit seperti saat ini, konsumen harus ikut menanggung biaya medis tentu memberatkan. Tetapi tanpa skema ini, premi asuransi yang naik tinggi dari tahun ke tahun akan menyebabkan asuransi kesehatan komersial semakin tidak terjangkau. Sehingga masyarakat hanya dapat bertumpu pada Jaminan Kesehatan Nasional dari Badan Penyelenggara Jaminan (BPJS) Kesehatan. Ini, pada akhirnya akan semakin memberatkan BPJS dan juga pemerintah," lanjutnya.
Baca Juga: OJK: Industri Asuransi Dilarang Naikkan Tarif Premi Tanpa Izin Nasabah
Sementara Ketua Umum Asosiasi Asuransi Umum Indonesia (AAUI) Budi Herawan mengatakan risk sharing yang digodok OJK sifatnya tidak memaksa, melainkan mewajibkan perusahaan menyediakan pilihan produk tanpa pembagian risiko, sekaligus memberi ruang bagi produk yang menggunakan fitur risk sharing atau deductible.
"Selain itu istilah risk sharing ini juga ada di beberapa negara seperti Jepang, Singapura dan Jerman. Jepang misalnya menetapkan co-payment sekitar 30 persen bagi mayoritas peserta jaminan kesehatan, dengan plafon perlindungan biaya untuk kasus besar," lanjut dia.
Sedangkan, Singapura menggunakan kombinasi deductible dan co-insurance melalui MediShield Life dan Integrated Shield Plan, dengan aturan minimal co-payment 5 persen yang diatur Kementerian Kesehatan.
"Yang paling penting ke depan adalah edukasi publik supaya skema ini dipahami bukan sebagai pengalihan beban, tetapi sebagai cara menjaga keberlanjutan manfaat kesehatan, mencegah moral hazard, dan tetap memastikan perlindungan bagi kelompok rentan melalui pengecualian yang sudah ditetapkan regulator," tandasnya.
Meski demikian menurut Tulus Abadi dari Forum Konsumen Berdaya Indonesia (FKBI), konsumen atau nasabah akan dirugikan oleh aturan ini. Tulus dalam keterangannya mengatakan moral hazard dalam industri asuransi tidak hanya datang dari nasabah tapi juga penyedia jasa medis dan perusahaan asuransi itu sendiri.
Karenanya ia menilai, skema risk sharing hanya akan semakin memberatkan nasabah asuransi kesehatan.
Berita Terkait
-
Menkeu Purbaya Ngeluh Saham Gorengan, Apa Gebrakan OJK?
-
Peserta Asuransi Kesehatan Swasta Harus Ikut Bayar Biaya RS Mulai Januari 2026
-
Fraud Asuransi Kesehatan: Rugikan Triliunan Rupiah dan Pengaruhi Kualitas Layanan Medis!
-
OJK Turun Tangan: Klaim Asuransi Kesehatan Dipangkas Jadi 5 Persen, Ini Aturannya
-
Asuransi Kesehatan Keluarga Muda 2025: Jangan Cuma Lihat Premi Murah, Ini Cara Membedahnya!
Terpopuler
- 5 Body Lotion dengan Kolagen untuk Usia 50-an, Kulit Kencang dan Halus
- 8 Bedak Translucent untuk Usia 50-an, Wajah Jadi Flawless dan Natural
- Sepatu On Cloud Ori Berapa Harganya? Cek 5 Rekomendasi Paling Empuk buat Harian
- 6 Sabun Cuci Muka dengan Kolagen agar Kulit Tetap Kenyal dan Awet Muda
- 5 Sepatu Lari Rp300 Ribuan di Sports Station, Promo Akhir Tahun
Pilihan
-
Hasil SEA Games 2025: Mutiara Ayu Pahlawan, Indonesia Siap Hajar Thailand di Final
-
Stok BBM Shell Mulai Tersedia, Cek Lokasi SPBU dan Harganya
-
Kekuatan Tersembunyi Mangrove: Bisakah Jadi Solusi Iklim Jangka Panjang?
-
Orang Pintar Ramal Kans Argentina Masuk Grup Neraka di Piala Dunia 2026, Begini Hasilnya
-
6 Rekomendasi HP Rp 3 Jutaan Terbaik Desember 2025, Siap Gaming Berat Tanpa Ngelag
Terkini
-
Mantapkan Papua Sebagai Hub Digital Kawasan Timur Indonesia, Layanan neuCentrIX Hadir di Jayapura
-
Purbaya Target Kantongi Rp 23 Triliun dari Bea Keluar Emas dan Batu Bara Tahun Depan
-
Indonesia Eximbank Dorong Potensi Ekspor Kemiri Nusa Tenggara Barat
-
Purbaya Ungkap Bobrok Ekspor Komoditas RI, Ungkap Kinerja Bea Cukai
-
Tak Hanya Kredit, Bank Mandiri Buka Akses Pasar Ekspor UMKM di Jabar
-
PLTA Singkarak dan PLTU Teluk Sirih Tetap Beroperasi Pasok Listrik Sumbar
-
IHSG Pecah Rekor Lagi Ditutup Tembus Level 8.710, Apa Saja Pendorongnya?
-
Jelang Nataru, Mendag Busan Ungkap Kondisi Pasokan Bahan Pokok: Harga Cabai dan Bawang Mahal
-
Alasan Purbaya Tarik Bea Keluar Batu Bara Tahun Depan: Hilirisasi hingga Dekarbonisasi
-
Rupiah Jadi Mata Uang Asia Terlemah Hari Ini