Suara.com - Dalam diskursus pertambangan di Indonesia, istilah 'reklamasi' sering kali dipandang sekadar sebagai syarat administratif yang harus dipenuhi perusahaan untuk mempertahankan izin operasi.
Padahal, esensi dari reklamasi jauh melampaui penanaman pohon semata. Ia adalah sebuah upaya sistematis untuk mengembalikan fungsi ekologis yang sempat terganggu akibat aktivitas ekstraksi sumber daya alam.
Di tengah sorotan global terhadap praktik pertambangan yang bertanggung jawab (responsible mining), pemahaman mendalam mengenai urgensi reklamasi menjadi krusial. Tidak hanya sebagai bentuk kepatuhan terhadap regulasi negara, tetapi sebagai wujud etika bisnis dalam menjaga keberlanjutan lingkungan.
Hal ini tercermin dari langkah strategis yang diambil oleh pelaku industri seperti Harita Nickel (PT Trimegah Bangun Persada Tbk), yang menempatkan reklamasi bukan sebagai beban, melainkan sebagai inti dari strategi keberlanjutan perusahaan.
Secara yuridis, reklamasi bukanlah sebuah pilihan sukarela, melainkan mandat mutlak yang mengikat setiap pemegang Izin Usaha Pertambangan (IUP). Negara telah mengatur hal ini secara tegas untuk memastikan kekayaan alam yang diambil tidak meninggalkan kerusakan permanen bagi generasi mendatang.
Akademisi sekaligus pengamat Ilmu Lingkungan dari Universitas Indonesia (UI), Dr. Tri Edhi Budhi Soesilo, M.Sc., memberikan perspektif mendalam mengenai hal ini. Menurutnya, pemahaman reklamasi harus dikembalikan pada definisi legal yang kuat.
"Reklamasi dalam konteks pertambangan menurut saya dari Ilmu Lingkungan, semua harus mengacu pada definisi menurut UU No. 4/2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara yang mendefinisikan reklamasi sebagai 'Reklamasi adalah kegiatan yang dilakukan sepanjang tahapan usaha pertambangan untuk menata, memulihkan, dan memperbaiki kualitas lingkungan dan ekosistem agar dapat berfungsi kembali sesuai peruntukannya' Pasal 1 (26))," ujar Tri Edhi, dalam wawancara eksklusif bersama Redaksi Suara.com pada Selasa (18/11/2025).
Lebih lanjut, Tri Edhi menekankan bahwa kata kunci dari definisi tersebut adalah 'berfungsi kembali sesuai peruntukannya'. Hal ini sejalan dengan prinsip dasar ilmu lingkungan yang meliputi interaksi, interdependensi, diversitas, keselarasan (harmoni), dan keberlanjutan.
"Dalam konteks keberlanjutan, pertanyaannya adalah apa yang hendak diberlanjutkan dari segi lingkungan hidup. Jawabannya adalah FUNGSI ekosistem," tegasnya.
Baca Juga: BP Taskin Apresiasi Program CSR Harita Nickel di Pulau Obi: Dukung Kemandirian Ekonomi
Aktivitas pertambangan, khususnya di sisi hulu (upstream), secara alamiah akan membuka tutupan vegetasi dan mengupas tanah untuk mengambil bijih mineral. Kondisi ini tentu mengganggu rona awal lingkungan.
"Tentu saja fungsi ekosistem akan terganggu, karena rona awal yang tadinya tutupan vegetasi menjadi terbuka dan tanah terkupas. Di bagian hilir (downstream) juga ada proses lanjutan untuk memurnikan bijih yang menggunakan bermacam-macam teknologi," jelas Tri Edhi.
"Menyadari bahwa fungsi ekosistem pada awalnya terganggu, maka sudah menjadi kewajiban pemegang Izin Usaha Pertambangan untuk memulihkan kembali fungsi ekosistem yang terganggu tersebut dengan salah satu caranya adalah reklamasi. Disitulah urgensi dilakukannya reklamasi lahan bekas kegiatan pertambangan," tambahnya.
Landasan hukum ini diperkuat dengan revisi regulasi melalui UU No. 3/2020 tentang Perubahan atas UU No. 4/2009, yang semakin mempertegas sanksi dan kewajiban perusahaan dalam menyusun rencana reklamasi sejak tahap eksplorasi hingga pascatambang.
Harita Nickel: Menerjemahkan Kewajiban Menjadi Aksi Nyata
Memahami urgensi tersebut, Harita Nickel melalui entitas operasionalnya di Pulau Obi, Halmahera Selatan, telah mengintegrasikan kewajiban reklamasi ke dalam peta jalan keberlanjutan perusahaan yang bertajuk 'Strategically Green: A Roadmap to Responsible Mining'. Perusahaan menyadari bahwa keberhasilan sejati tidak hanya diukur dari pencapaian produksi nikel, tetapi seberapa baik lahan bekas tambang dapat dikembalikan fungsinya.
Berita Terkait
-
Anak Usaha MDKA Reklamasi Lahan Seluas 84,96 Hektare di Tujuh Bukit
-
Harita Nickel Masuk Daftar Perusahaan Tambang yang Penuhi Standar Perlindungan HAM
-
'Kami Akan Mati di Sini', Sumpah Setia Warga Pulau Pari Pertahankan Tanah Kelahiran
-
Peneliti IPB Ungkap Kondisi Perairan Pulau Obi
-
Laba Bersih NCKL Melambung 35 Persen di 9M25, Manajemen Ungkap Laporan Hari Ini
Terpopuler
- Media Swiss Sebut PSSI Salah Pilih John Herdman, Dianggap Setipe dengan Patrick Kluivert
- 8 Promo Makanan Spesial Hari Ibu 2025, dari Hidangan Jepang hingga Kue
- PSSI Tunjuk John Herdman Jadi Pelatih, Kapten Timnas Indonesia Berikan Komentar Tegas
- 7 Sepatu Murah Lokal Buat Jogging Mulai Rp100 Ribuan, Ada Pilihan Dokter Tirta
Pilihan
-
Indosat Gandeng Arsari dan Northstar Bangun FiberCo Independent, Dana Rp14,6 Triliun Dikucurkan!
-
Kredit Nganggur Tembus Rp2,509 Triliun, Ini Penyebabnya
-
Uang Beredar Tembus Rp9891,6 Triliun per November 2025, Ini Faktornya
-
Pertamina Patra Niaga Siapkan Operasional Jelang Merger dengan PIS dan KPI
-
Mengenang Sosok Ustaz Jazir ASP: Inspirasi di Balik Kejayaan Masjid Jogokariyan
Terkini
-
Pemerintah Mulai Pangkas Kuota Ekspor Gas Secara Bertahap
-
Kuota Mudik Gratis Nataru 2026 Berpeluang Ditambah, Cek Link Resmi dan Tujuan
-
Saham INET Melesat 24 Persen Usai Kantongi Restu OJK untuk Rights Issue Jumbo
-
Pabrik VinFast Subang Didemo Warga Kurang dari 24 Jam Setelah Diresmikan
-
Gus Ipul Datangi Purbaya, Usul Bansos Korban Bencana Sumatra Rp 15 Ribu per Hari
-
Hadapi Libur Nataru, BRI Optimistis Hadirkan Layanan Perbankan Aman
-
Nilai Tukar Rupiah Ambruk Gara-gara Kredit Nganggur
-
Purbaya Mau Kemenkeu Terjun Langsung Bangun Proyek Sekolah Impian Prabowo
-
KB Bank Percepat Transformasi Aset Melalui Transaksi Sukuk Rp400 Miliar dengan Tjiwi Kimia
-
UMP 2026 di Jakarta, Jawa Barat, dan Jawa Timur dengan Estimasi Formula Baru