Suara.com - Deretan Kontroversi Hidroksiklorokuin Sebagai Obat untuk Infeksi Covid-19
Hydroxychloroquine atau hidroksiklorokuin sempat digadang-gadang sebagai obat yang dapat mengurangi gejala akibat infeksi Covid-19. Hingga kini, dunia masih belum bisa menemukan obat maupun vaksin Covid-19.
Obat ini sendiri awalnya diperuntukkan untuk obat anti-malaria. Tapi belum lama ini, Badan Kesehatan Dunia WHo menangguhkan uji coba penggunaan hidroksiklorokuin karena diduga memiliki lebih banyak mudarat daripada kegunaan bagi pasien Covid-19.
Berikut ini, telah Suara.com rangkumkan lima berita kontroversi hidroksiklorokuin bagi pasien Covid-19 yang telah kami sajikan untuk Anda.
1. Hidroksiklorokuin Berisiko Timbulkan Masalah Jantung pada Pasien Covid-19
Hidroksiklorokuin, obat yang dijadikan perawatan Covid-19 ternyata tidak memberikan efek positif. Sebaliknya, obat itu disebut berisiko membuat masalah jantung dan kematian.
Melansir dari South China Morning Post, penelitian terhadap hampir dari 100.000 kasus dari 671 rumah sakit di enam benua menyatakan, bahwa hidroksiklorokuin tidak memberikan efek pada pasien Covid-19. Penelitian tersebut telah diterbitkan di The Lancet pada Jumat (22/5/2020).
2. Studi: Obat Hidroksiklorokuin Tingkatkan Risiko Kematian Pasien Covid-19
Baca Juga: Ratusan Bangunan Di Pesisir Gunungkidul Hancur Dihantam Gelombang Tinggi
Studi: Obat Hidroksiklorokuin Tingkatkan Risiko Kematian Pasien Covid-19
Hidroksiklorokuin adalah obat anti-malaria yang disebut bisa melawan virus corona Covid-19 oleh Presiden Amerika Serikat, Donald Trump. Tetapi, sebuah penelitian menemukan obat itu tidak menunjukkan manfaat dalam mengobati pasien di Veterans Health Administration.
3. Khawatir Soal Aspek Keselamatan, WHO Tangguhkan Uji Coba Hidroksiklorokuin
Organisasi Kesehatan Dunia WHO mengatakan pada Senin (25/5/2020) bahwa mereka akan menghentikan sementara waktu uji coba hidroksiklorokuin (hydroxychloroquine) sebagai terapi pengobatan Covid-19. Hal ini lantaran para ahli perlu meninjau semua bukti yang tersedia sampai saat ini.
Dilansir dari Time, dalam jumpa pers, direktur jenderal WHO Tedros Adhanom Ghebreyesus mengatakan bahwa berdasarkan sebuah makalah yang diterbitkan pekan lalu di Lancet, disebutkan bahwa orang yang menggunakan hydroxychloroquine berisiko lebih tinggi mengalami kematian dan masalah jantung, sehingga uji cobanya akan ditangguhkan.
Berita Terkait
Terpopuler
- Terungkap! Kronologi Perampokan dan Penculikan Istri Pegawai Pajak, Pelaku Pakai HP Korban
- 5 Rekomendasi Motor yang Bisa Bawa Galon untuk Hidup Mandiri Sehari-hari
- 5 Bedak Padat yang Bagus dan Tahan Lama, Cocok untuk Kulit Berminyak
- 5 Parfum Aroma Sabun Mandi untuk Pekerja Kantoran, Beri Kesan Segar dan Bersih yang Tahan Lama
- 7 Pilihan Sepatu Lokal Selevel Hoka untuk Lari dan Bergaya, Mulai Rp300 Ribuan
Pilihan
-
Pertamina Bentuk Satgas Nataru Demi Pastikan Ketersediaan dan Pelayanan BBM
-
Jenderal TNI Muncul di Tengah Konflik Lahan Jusuf Kalla vs GMTD, Apa Perannya?
-
Geger Keraton Solo: Putra PB XIII Dinobatkan Mendadak Jadi PB XIV, Berujung Walkout dan Keributan
-
Cetak 33 Gol dari 26 Laga, Pemain Keturunan Indonesia Ini Siap Bela Garuda
-
Jawaban GoTo Usai Beredar Usul Patrick Walujo Diganti
Terkini
-
Waspada "Diabesity", Mengapa Indonesia Jadi Sarang Penyakit Kombinasi Diabetes dan Obesitas?
-
Gaya Hidup Modern Picu Kelelahan, Inovasi Wellness Mulai Dilirik Masyarakat Urban
-
Rahasia Anak Tumbuh Percaya Diri dan Kreatif, Jessica Iskandar Beberkan Kuncinya
-
BRIN Uji Rokok Elektrik: Kadar Zat Berbahaya Lebih Rendah, Tapi Perlu Pengawasan
-
Sering Luput Dari Perhatian Padahal Berbahaya, Ketahui Cara Deteksi dan Pencegahan Aritmia
-
Vape Bukan Alternatif Aman: Ahli Ungkap Risiko Tersembunyi yang Mengintai Paru-Paru Anda
-
Kesehatan Perempuan dan Bayi jadi Kunci Masa Depan yang Lebih Terjamin
-
8 Olahraga yang Efektif Menurunkan Berat Badan, Tubuh Jadi Lebih Bugar
-
Cara Efektif Mencegah Stunting dan Wasting Lewat Nutrisi yang Tepat untuk Si Kecil
-
Kisah Pasien Kanker Payudara Menyebar ke Tulang, Pilih Berobat Alternatif Dibanding Kemoterapi