Suara.com - Vaksinasi Covid-19 merupakan salah satu bentuk perlindungan diri terhadap virus corona. Meski begitu, bukan berarti orang yang sudah divaksin tidak akan terkena infeksi.
Semua negara, termasuk Indonesia, mewajibkan seluruh masyarakatnya untuk vaksin Covid-19. Ini dilakukan demi terciptanya herd immunity sehingga kasus infeksi dapat ditekan.
Namun ternyata, memaksa orang untuk menjalani vaksinasi justru menghasilkan kontra-produktif, menurut sebuah studi baru.
Penelitian mengamati survei yang dilakukan terhadap 2.653 penduduk selama gelombang pertama dan kedua pandemi di Jerman. Para peneliti menganalisis bagaimana sikap masyarakat berubah dari waktu ke waktu selama 2020.
Responden ditanya seberapa besar kemungkinan mereka akan vaksin, jika didasarkan pada paksaan hukum atau melakukannya secara sukarela.
Hasilnya menunjukkan, responden cenderung akan vaksinasi jika mereka tidak diwajibkan melakukannya.
Peneliti berpendapat bahwa memaksa orang untuk vaksinasi dapat menghilangkan hak mereka untuk berbuat baik (yakni dengan vaksinasi), dianggap terlalu mengontrol dan mengurangi kepercayaan pada vaksin.
"Karena, 'jika vaksin itu aman dan efektif, mengapa penegakan hukum diperlukan?'," tulis psikolog dan ekonom perilaku Katrin Schmelz, dari University of Konstanz, Jerman, dilansir Science Alert.
Meski begitu, Katrin Schmelz, mengakui bahwa wajib vaksin mungkin harus berperan di negara-negara dan dalam situasi tertentu, seperti tingkat vaksinasi sangat rendah. Tetapi, pendekatan tersebut harus dilalukan secara hati-hati.
Baca Juga: Presiden Brasil Berencana Tak Wajibkan Pakai Masker yang Sudah Vaksin Covid-19
Temuan di sini dapat berguna dalam skenario apa pun di mana para pemimpin ingin mengubah pikiran masyarakatnya, dari mempromosikan gaya hidup rendah karbon hingga meningkatkan toleransi di antara masyarakat.
"Ada banyak kasus di mana kepatuhan warga negara secara sukarela terhadap suatu kebijakan sangat penting karena kapasitas penegakan negara terbatas, dan karena hasilnya mungkin bergantung pada cara kebijakan itu sendiri mengubah keyakinan dan preferensi warga negara," imbuh Schmelz.
"Terkadang pendekatan yang lebih lembut lebih baik," kata dia kemudian.
Berita Terkait
Terpopuler
- KPU Tak Bisa Buka Ijazah Capres-Cawapres ke Publik, DPR Pertanyakan: Orang Lamar Kerja Saja Pakai CV
- Cara Edit Foto Pernikahan Pakai Gemini AI agar Terlihat Natural, Lengkap dengan Prompt
- Anak Jusuf Hamka Diperiksa Kejagung Terkait Dugaan Korupsi Tol, Ada Apa dengan Proyek Cawang-Pluit?
- Dedi Mulyadi 'Sentil' Tata Kota Karawang: Interchange Kumuh Jadi Sorotan
- Ditunjuk Jadi Ahli, Roy Suryo Siapkan Data Akun Fufufafa Dukung Pemakzulan Gibran
Pilihan
-
Belajar dari Cinta Kuya: 5 Cara Atasi Anxiety Attack Saat Dunia Terasa Runtuh
-
Kritik Menkeu Purbaya: Bank Untung Gede Dengan Kasih Kredit di Tempat yang Aman
-
PSSI Diam-diam Kirim Tim ke Arab Saudi: Cegah Trik Licik Jelang Ronde 4 Kualifikasi Piala Dunia 2026
-
Pemain Eropa Telat Gabung, Persiapan Timnas Indonesia Terancam Kacau Jelang Hadapi Arab Saudi
-
PSSI Protes AFC, Wasit Laga Timnas Indonesia di Ronde 4 Kok dari Timur Tengah?
Terkini
-
Pijat Bukan Sekadar Relaksasi: Cara Alami Menjaga Kesehatan Fisik dan Mental
-
3.289 Kasus Baru Setiap Tahun: Mengenal Multiple Myeloma Lebih Dekat Sebelum Terlambat
-
Konsistensi Lawan Katarak Kongenital, Optik Ini Raih Penghargaan Nasional
-
Apa Itu HB Dosting Hexyl? Doktif Klaim Hexylresorcinol Pengganti Hydroquinone
-
Perempuan Wajib Tahu! 10.000 Langkah Sederhana Selamatkan Tulang dari Pengeroposan
-
Kemenkes Catat 57 Persen Orang Indonesia Sakit Gigi, Tapi Cuek! Ini Dampak Ngerinya Bagi Kesehatan
-
5 Rekomendasi Obat Cacing yang Aman untuk Anak dan Orang Dewasa, Bisa Dibeli di Apotek
-
Sering Diabaikan, Masalah Pembuluh Darah Otak Ternyata Bisa Dideteksi Dini dengan Teknologi DSA
-
Efikasi 100 Persen, Vaksin Kanker Rusia Apakah Aman?
-
Tahapan Skrining BPJS Kesehatan Via Aplikasi dan Online