Suara.com - Belakangan ini, kasus kekerasan seksual menjadi salah satu berita hangat di berbagai media sosial, media digital, hingga televisi.
Mulai dari kasus glorifikasi yang dilakukan pada seorang artis yang baru saja keluar dari penjara, pelecehan seksual di salah satu lembaga penyiaran milik pemerintah, hingga meninggalnya seorang perawat karena dilecehkan oleh sekelompok anggota masyarakat.
Kasus pelecehan seksual bukanlah barang baru. Hal ini sudah terjadi sejak lama dan selalu menjadi salah satu tugas besar pemerintah, penegak hukum, maupun masyarakat.
Alih-alih melapor, kebanyakan penyintas memilih diam. Di beberapa kondisi, penyintas kekerasan seksual yang berhasil melapor malah menjadi korban pernikahan dengan pelaku. Tidak sedikit bahkan yang setelah melapor justru mendapat stigma negatif dari publik.
Menurut Falah Farras, Psikolog Klinis yang juga Co-Founder Social Connect, pelecehan seksual sulit dilaporkan karena kurangnya bukti. Sehingga ketika ingin melapor, penyintas merasa ragu. Belum lagi anggapan orang lain ketika penyintas melaporkan kejadian tidak senonoh yang mereka terima.
"Ketika pelecehan seksual terjadi, penyintas atau korban merasa kesulitan untuk mengumpulkan bukti. Jarang ada yang memiliki bukti foto atau rekaman."
"Penyintas juga mengalami kesulitan karena yang menjadi saksi hanyalah pelaku dan korban itu sendiri. Itu biasanya yang jadi alasan mengapa penyintas kekerasa seksual lebih sulit untuk bercerita atau melapor," tuturnya dikutip dari siaran pers, Rabu (22/9/2021).
Apalagi bila korban atau penyintas tersebut berasal dari kalangan laki-laki. Ada stigma maskulin yang melekat di masyarakat. Laki-laki tidak boleh lemah, tidak boleh cengeng, dan tidak boleh takut. Hal ini juga menjadi alasan yang menghambat korban melaporkan tindak kekerasan seksual yang mereka terima.
Belum lagi munculnya Post Traumatic Stress Disorder (PTSD) di diri penyintas tersebut. Efeknya bisa dalam bentuk hyperarrousal atau kesulitan mengingat kejadian yang terjadi hingga tubuh tidak bisa bergerak (freeze) ketika pelecehan terjadi.
Lantas, apa yang bisa dilakukan penyintas kekerasan seksual agar bisa pulih dari trauma?
Baca Juga: Dipanggil Komnas HAM Soal Dugaan Pelecehan Pegawai KPI, Kapolres: Masih Penyelidikan
1. Stabilisasi Emosi
Ketika berada di masa trauma atau PTSD, penyintas biasanya akan merasakan emosi lebih intens dibanding biasanya. Emosi negatif seperti sedih, marah, hingga menyalahkan diri sendiri jadi muncul lebih sering. Penyintas juga jadi mudah terpicu karena beberapa hal tertentu.
Untuk mengatasi hal ini, Farras menyarankan penyintas untuk melakukan stabilisasi emosi, terutama ketika emosi tersebut sedang meluap. Misalnya dengan mencari metode coping yang paling sesuai seperti menangis, meditasi, atau melakukan hal-hal positif, atau mencari bantuan dari profesional.
2. Memproses Ingatan Kembali
Karena kekerasan seksual merupakan hal yang traumatis, biasanya ingatan akan hal tersebut akan sangat melekat dan sulit diterima oleh tubuh.
Sehingga dapat mengganggu kehidupan penyintas. Dengan memproses ingatan kembali, penyintas akan ‘diajak’untuk menoleransi pengalaman tersebut atau tidak terlalu reaktif terhadap ingatan itu.
"Kita coba memperbaiki emosi yang terjadi dalam ingatan itu. ‘Oke, itu memang bagian dari hidupku, bagian dari pengalaman yang sudah aku lalui."
"Pada saat itu aku marah, tapi saat sekarang, aku dengan diriku yang sekarang.’ Proses itu kita menarik diri kita ke masa saat ini, dan yang masa lalu itu kita terima sebagai pengalaman hidup. Lebih ke mengubah toleransi emosinya," ujar pria tersebut.
Berita Terkait
Terpopuler
- Naksir Avanza Tahun 2015? Harga Tinggal Segini, Intip Pajak dan Spesifikasi Lengkap
- 5 Krim Kolagen Terbaik yang Bikin Wajah Kencang, Cocok untuk Usia 30 Tahun ke Atas
- 7 Rekomendasi Ban Motor Anti Slip dan Tidak Cepat Botak, Cocok Buat Ojol
- Innalillahi, Aktor Epy Kusnandar Meninggal Dunia
- 5 Mobil Bekas Senyaman Karimun Budget Rp60 Jutaan untuk Anak Kuliah
Pilihan
-
Seberapa Kaya Haji Halim? Crazy Rich dengan Kerajaan Kekayaan tapi Didakwa Rp127 Miliar
-
Toba Pulp Lestari Dituding Biang Kerok Bencana, Ini Fakta Perusahaan, Pemilik dan Reaksi Luhut
-
Viral Bupati Bireuen Sebut Tanah Banjir Cocok Ditanami Sawit, Tuai Kecaman Publik
-
6 HP Tahan Air Paling Murah Desember 2025: Cocok untuk Pekerja Lapangan dan Petualang
-
Drama Sidang Haji Alim: Datang dengan Ambulans & Oksigen, Ratusan Pendukung Padati Pengadilan
Terkini
-
Ikan Sidat, Harta Karun Gizi Asli Indonesia: Rahasia Nutrisi Tinggi dalam Susu Flyon
-
Wajib Tahu! Kata Dokter, Korset Pasca Caesar Bukan Cuma Tren, Tapi Kunci Pemulihan Cepat
-
Bocoran Zaskia Sungkar: 3 Produk Wajib Ada untuk Kulit Newborn, Apa Saja?
-
Mengapa Jenazah Banjir Sumatera Tanpa Identitas Dikuburkan Tanpa Tunggu Identifikasi?
-
Rahasia Umbi Garut di Minuman Ini: Solusi Alami Obati GERD dan Maag yang Direkomendasikan Ahli Gizi!
-
Kewalahan Hadapi Dunia Digital? Ini Tantangan Parenting Terbesar Orang Tua Masa Kini
-
Cuaca Lagi Labil, Ini Tips Atasi Demam Anak di Rumah
-
Gangguan Irama Jantung Intai Anak Muda, Teknologi Ablasi Dinilai Makin Dibutuhkan
-
BPOM Edukasi Bahaya AMR, Gilang Juragan 99 Hadir Beri Dukungan
-
Indonesia Masuk 5 Besar Kelahiran Prematur Dunia, Siapkah Tenaga Kesehatan Menghadapi Krisis Ini?