Suara.com - Sekurangnya 8 pakar teknologi dana keamanan pangan dan ilmu kimia dari perguruan tinggi ternama di Indonesia menyebut, air galon kemasan berbahan polikarbonat (PC) masih aman untuk dikonsumsi masyarakat. Menurut mereka, material bahan baku kemasan galon berbahan PC aman untuk air minum dengan kemasan yang digunakan berulang kali.
Pakar Teknologi Produk Polimer/Plastik, sekaligus Kepala Laboratorium Green Polymer Technology Fakultas Teknik Universitas Indonesia (FTUI), Assoc. Prof. Dr. Mochamad Chalid, S.Si., M.Sc. Eng., menegaskan hal tersebut.
BPA Berlebih akan Dibuang dari Tubuh
Sementara itu, pakar Teknologi Pangan dari IPB, Dr Eko Hari Purnomo, menegaskan bahwa kandungan BPA dalam galon air minum dalam kemasan berbahan PC tidak membahayakan kesehatan. PC yang mengandung BPA itu digunakan untuk galon air minum hanya karena sifatnya yang keras, kaku, transparan, mudah dibentuk, dan relatif tahan panas.
“Berdasarkan data-data yang ada, penggunaan kemasan galon jenis ini tidak banyak menimbulkan resiko kesehatan, terutama dari sudut pandang BPA-nya. Apalagi untuk produk air, itu potensinya kecil sekali mengingat BPA tidak larut dalam air,” kata Eko.
“Menurut saya, informasi-informasi dari penelitian yang bukan dari galon PC inilah yang kemudian diambil oleh orang-orang yang masih mempertanyakan bahaya BPA dalam galon PC ini. Sementara, dari berbagai studi yang sudah dilakukan menunjukkan bahwa migrasi BPA dari galon PC ke dalam minuman terutama air itu masih jauh di bawah batas migrasi yang diizinkan,” ucapnya.
Ahli kimia sekaligus pakar polimer dari Institut Teknologi Bandung (ITB), Ahmad Zainal Abidin, menegaskan BPA dan PC itu dua hal yang berbeda. Banyak masyarakat yang salah mengartikan antara bahan kemasan plastik PC dan BPA sebagai prekursor pembuatnya.
Menurutnya, BPA memang ada dalam proses untuk pembuatan plastik PC.
Dosen Biokimia dari Fakultas MIPA Institut Pertanian Bogor (IPB), Syaefudin, PhD, mengungkapkan bahwa Bisphenol-A (BPA) yang tidak sengaja dikonsumsi para konsumen dari kemasan pangan akan dikeluarkan lagi dari dalam tubuh. Menurutnya, BPA akan diubah di dalam hati menjadi senyawa lain sehingga dapat lebih mudah dikeluarkan lewat urin.
“Kalau BPA itu tidak sengaja dikonsumsi oleh kita tubuh kita, misalkan dari air minum dalam kemasan yang mengandung BPA, maka itu akan dikeluarkan lagi. Ada proses glukoronidase di hati, dimana ada enzim yang mengubah BPA itu menjadi senyawa lain yang mudah dikeluarkan tubuh lewat urin,” katanya.
Selain itu, kata Syaefudin, sebenarnya BPA ini memiliki biological half life atau waktu paruh biologisnya. Artinya, ketika BPA itu misalnya satuannya 10, masuk dalam tubuh, dia selama 5-6 jam akan cuma tersisa 5.
“Yang setengahnya lagi itu dikeluarkan dari tubuh. Artinya, yang berpotensi untuk menjadi toksik dalam tubuh itu sebenarnya sudah berkurang,” tuturnya.
Ahli teknologi pangan, yang juga guru besar Ilmu dan Teknologi Pangan IPB, Prof. Dedi Fardiaz, mengatakan, sebetulnya tentang migrasi dari zat kontak pangan ke produk pangannya itu sudah diatur dalam Peraturan BPOM Nomor 20 Tahun 2019 tentang Kemasan Pangan.
Peraturan itu menyebutkan beberapa yang wajib dilakukan label bebas dari zat kontak pangannya itu tidak hanya kemasan berbahan PC yang mengandung BPA saja, tapi juga produk lainnya seperti melamin perlengkapan makan dan minum, kemasan pangan plastik polistirena (PS), kemasan pangan timbal (Pb), Kadmium (Cd), Kromium VI (Cr VI), merkuri (Hg), kemasan pangan Polivinil Klorida (PVC) dari senyawa Ftalat, kemasan pangan Polyethylene terephthalate (PET), juga kemasan pangan kertas dan karton dari senyawa Ftalat.
Khusus yang terkait BPA, dia mengatakan, BPOM telah menetapkan satuan untuk keamanan pangannya sama dengan yang lain, yang disebut TDI (tolerable daily intake), sesuai ketentuan dalam Peraturan Badan POM Nomor 20 Tahun 2019 tentang Kemasan Pangan, batas migrasi maksimal BPA adalah sebesar 0,6 bagian per juta (bpj, mg/kg).
Pada pertengahan tahun lalu, kata Dedi, BPOM juga telah melakukan pengujian terhadap migrasi BPA terhadap AMDK berbahan PC dan menemukan bahwa hasilnya rendah sekali dibandingkan dengan persyaratan kandungan dalam airnya.
Baca Juga: Autisme Terjadi karena Multifaktor, Pakar: Tak Ada Hubungannya dengan Konsumsi Air Minum Kemasan
“Setelah dihitung ternyata paparannya itu jauh sekali di bawah itu. Artinya relatif aman,” ujarnya.
Dosen dan Peneliti dari Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan IPB, Dr. Nugraha E. Suyatma, STP, DEA, juga menyampaikan ketidaksetujuannya terhadap pihak-pihak yang mengatakan air minum kemasan galon PC itu berbahaya untuk kesehatan. Menurutnya, galon-galon itu sebelum diedarkan sudah diuji terlebih dulu residu BPA-nya berapa. Migrasinya juga sudah dites dulu oleh pabriknya dan sudah memiliki standar keamanan pangan.
“Aair galon polikarbonat itu relatif aman untuk digunakan dan tidak perlu sampai dilabeli BPA Free,” tuturnya.
Guru Besar Bidang Keamanan Pangan & Gizi di Fakultas Ekologi Manusia (FEMA) Institut Pertanian Bogor (IPB) Prof Dr. Ir. Ahmad Sulaeman, MS, C.Ht, mengatakan, pencantuman logo recycle dengan nomor serta nama bahan kemasan di bawah kemasan botol minuman untuk saat ini sudah cukup aman, dan tidak perlu ditambah embel-embel bebas BPA.
Vice-Chair Codex Alimentarius Commission (CAC), Prof. Dr. Ir. Purwiyatno Hariyadi, M.Sc, yang juga peneliti senior Seafast Center LPPM IPB mengatakan regulasi keamanan pangan diskriminatif yang hanya diberlakukan pada satu produk tertentu saja bukan prinsip regulatory yang baik. Menurutnya, hal itu bisa menyebabkan tujuan dari kebijakan yang mau dibuat itu tidak tercapai.
Menurut Purwiyatno, penelitian yang dilakukan hanya kepada produknya saja belum cukup untuk menyimpulkan bahwa itu membahayakan bagi kesehatan.
“Kalau kita bicara mengenai risiko keamanan pangan maka landasannya adalah bukannya ada atau tidak ada bahaya dalam hal ini BPA dalam produknya, tetapi seberapa besar paparan atau exposure BPA tersebut terhadap masyarakat,” ujarnya.
Berita Terkait
-
Tanya Nutrisionis: Apakah Air Minum Dalam Kemasan Lebih Baik Daripada Air Tanah?
-
Sebaiknya Pilih Air Minum Kemasan Berbahan Polikarbonat atau PET? Ini Kata Peneliti IPB
-
Peduli Kesehatan dan Isu Lingkungan, Perusahaan Air Minum Ini Berkomitmen Hadirkan Hidrasi Sehat
-
Soal Pelabelan BPA di Galon Air, Pengamat: Belum Ada Negara Lain yang Mewajibkan
-
Pakar Minta BPOM Fair Soal Pelabelan Lolos Batas Uji Aman Pada Kemasan
Terpopuler
- 6 Ramalan Shio Paling Beruntung di Akhir Pekan 4-5 Oktober 2025
- DANA Kaget Jumat Berkah: Klaim Saldo Gratis Langsung Cair Rp 255 Ribu
- Fakta-Fakta Korupsi Bupati HSS Kalsel, Diduga Minta Dana Proyek Puluhan Miliar
- 20 Kode Redeem FC Mobile Terbaru 4 Oktober 2025, Klaim Ballon d'Or dan 16.000 Gems
- 18 Kode Redeem FC Mobile Terbaru 3 Oktober: Klaim Ballon d'Or 112 dan Gems
Pilihan
-
Formasi Bocor! Begini Susunan Pemain Arab Saudi Lawan Timnas Indonesia
-
Getol Jualan Genteng Plastik, Pria Ini Masuk 10 Besar Orang Terkaya RI
-
BREAKING NEWS! Maverick Vinales Mundur dari MotoGP Indonesia, Ini Penyebabnya
-
Harga Emas Terus Meroket, Kini 50 Gram Dihargai Rp109 Juta
-
Bursa Saham 'Pestapora" di Awal Oktober: IHSG Naik, Transaksi Pecahkan Rekor
Terkini
-
Gerakan Kaku Mariah Carey saat Konser di Sentul Jadi Sorotan, Benarkah karena Sakit Fibromyalgia?
-
Di Balik Rak Obat dan Layar Digital: Ini Peran Baru Apoteker di Era Kesehatan Modern
-
Kesibukan Kerja Kerap Tunda Pemeriksaan Mata, Layanan Ini Jadi Jawaban
-
Langkah Tepat Pengobatan Kanker Ovarium: Masa Remisi Lebih Panjang Hingga Tahunan
-
Katarak yang Tidak Dioperasi Berisiko Meninggal Dunia Lebih Awal, Ini Alasannya
-
Pemantauan Aktif Vaksinasi Dengue di DKI Jakarta: Kolaborasi Menuju Nol Kematian 2030
-
Atasi Pembesaran Prostat Tanpa Operasi Besar? Kenali Rezum, Terapi Uap Air yang Jadi Harapan Baru
-
Dukungan untuk Anak Pejuang Kanker, Apa Saja yang Bisa Dilakukan?
-
Anak Sering Mengeluh Mata Lelah? Awas, Mata Minus Mengintai! Ini Cara Mencegahnya
-
Dokter dan Klinik Indonesia Raih Penghargaan di Cynosure Lutronic APAC Summit 2025