Suara.com - Kementerian Kesehatan (Kemenkes) melakukan inovasi teknologi baru dengan menyebarkan nyamuk Wolbachia sebagai upaya untuk mengurangi penyebaran DBD di Indonesia. Meskipun, nyamuk Wolbachia ini diklaim bisa menurunkan penularan demam berdarah dengue (DBD), namun serangga ini tetap-lah jenis nyamuk. Sehingga tak sedikit orang yang tetap merasa khawatir dengan efek gigitan nyamuk Wolbachia ini.
Merangkum dari berbagai sumber, nyamuk wolbachia yang belakangan banyak disorot sebenarnya merupakan nyamuk aedes aegypti yang telah diinfeksi dengan bakteri Wolbachia. Penggunaan bakteri ini memiliki tujuan untuk mengendalikan penularan virus Dengue, penyebab DBD jika terkena gigitannya.
Sampai saat ini, rencana pelepasan telur nyamuk Wolbachia ke sejumlah daerah itu masih ditangguhkan lantaran adanya pro kontra di masyarakat. Sebab ada kekhawatiran apabila akan terjadi dampak kesehatan terhadap tubuh manusia akibat pelepasan nyamuk Wolbachia ini.
Peneliti Pusat kedokteran Tropis Universitas Gadjah Mada (UGM) sekaligus anggota peneliti World Mosquito Program (WMP) Yogyakarta, Dr Riris Andono Ahmad, BMedSc, MPH, PhD mengungkapkan, bahwa bakteri wolbachia hanya bisa tinggal di dalam sel tubuh nyamuk saja. Sehingga ketika keluar dari sel tubuh serangga dengan bakteri tersebut akan mati.
"Misalnya saja nyamuk menggigit ada di ludah, ludah itu bukan sel, jadi dia tidak bisa di ludah nyamuk. Ada mungkin di sel kelenjar ludahnya, tetapi bakteri tersebut tidak bisa keluar dari selnya," katanya saat melakukan media briefing.
Dijelaskan bahwa, saat nyamuk menggigit manusia, maka bakteri wolbachia tidak akan bisa menular ke manusia atau berpindah ke tempat yang lain. Adapun penularan nyamuk wolbachia hanya bisa terjadi lewat perkawinan.
Terkait kekhawatiran sejumlah masyarakat yang menyebut jika Wolbachia bisa menginfeksi tubuh manusia, secara tegas Riris mengatakan jika Wolbachia tidak akan menginfeksi manusia dan minim terjadi transmisi horizontal kepada spesies lain. Menariknya lagi, Wolbachia tidak akan mencemari lingkungan biotik maupun abiotik.
Lebih lanjut, Riris menyampaikan bahwa penelitian terhafap teknologi Wolbachia sudah dilakukan di Yogyakarta selama 12 tahun terakhir ini sejak tahun 2011 lalu. Penelitian dimulai dari tahap penelitian fase kelayakan dan keamanan (tahun 2011-2012), fase pelepasan skala dengan junlah terbatas (tahun 2013-2015), fase pelepasan skala luas (tahun 2016-2020), dan juga fase implementasi (tahun 2021-2022).
Di dunia, kata Riris, penelitian pertama terhadap Aplikasi Wolbachia untuk Eliminasi Dengue (AWED) dilakukan di Yogyakarta dengan menerapkan desain Cluster Randomized Controlled Trial (CRCT).
Baca Juga: 5 Fakta Menarik Nyamuk Wolbachia, Ternyata Berhasil Turunkan Kasus DBD Hingga 77 Persen
Melalui hasil studi oleh AWED menunjukkan jika nyamuk Aedes aegypti ber-Wolbachia bisa menurunkan kasus dengue hingga sebesar 77.1%. Bahkan nyamuk ini dapat menurunkan rawat inap yang disebabkan dengue sebesar 86%.
Tak sampai di situ, menurut hasil dari studi tersebut serta hasil di beberapa negara lainnya yang menerapkan teknologi WMP ini, bakteri Wolbachia untuk pengendalian Dengue sudah direkomendasikan oleh WHO Vector Control Advisory Group sejak tahun 2021.
Senada, peneliti Bakteri Wolbachia dan Demam Berdarah dari Departemen Kebijakan dan Manajemen Kesehatan Fakultas Kedokteran Kesehatan Masyarakat dan keperawatan Universitas Gadjah Mada (UGM), Prof DR Adi Utarini, M Sc, MPH, PhD juga menyatakan bahwa, efek samping yang diberikan oleh nyamuk ini bukanlah efek dari bakteri wolbachia, tapi melainkan dari gigitan nyamuknya.
"Dan ini bervariasi dari satu orang ke orang lainnya. Ada yang bentol-bentol dan ada yang juga tidak," katanya.
"Meskipun efek gatal dan munculnya bentol tetap sama yang membedakan adalah nyamuk Wolbachia ini tidak lagi menularkan virus dengue" pungkasnya.
Demikianlah ulasan tentang gigitan nyamuk Wolbachia. Semoga informasi ini bermanfaat!
Berita Terkait
Terpopuler
- 18 Kode Redeem FC Mobile Terbaru 26 September: Klaim Pemain 108-112 dan Hujan Gems
- Thom Haye Akui Kesusahan Adaptasi di Persib Bandung, Kenapa?
- Rekam Jejak Brigjen Helfi Assegaf, Kapolda Lampung Baru Gantikan Helmy Santika
- Saham DADA Terbang 2.000 Persen, Analis Beberkan Proyeksi Harga
- Ahmad Sahroni Ternyata Ada di Rumah Saat Penjarahan, Terjebak 7 Jam di Toilet
Pilihan
-
Profil Agus Suparmanto: Ketum PPP versi Aklamasi, Punya Kekayaan Rp 1,65 Triliun
-
Harga Emas Pegadaian Naik Beruntun: Hari Ini 1 Gram Emas Nyaris Rp 2,3 Juta
-
Sidang Cerai Tasya Farasya: Dari Penampilan Jomplang Hingga Tuntutan Nafkah Rp 100!
-
Sultan Tanjung Priok Cosplay Jadi Gembel: Kisah Kocak Ahmad Sahroni Saat Rumah Dijarah Massa
-
Pajak E-commerce Ditunda, Menkeu Purbaya: Kita Gak Ganggu Daya Beli Dulu!
Terkini
-
Infeksi Silang di Rumah Sakit? Linen Medis Antivirus Ini Jadi Solusi!
-
Golden Period Jadi Kunci, RS Ini Siapkan Layanan Cepat Tangani Stroke
-
Nada Tarina Pamer Bekas Jahitan Operasi, Kenapa Skoliosis Lebih Rentan pada Wanita?
-
Apa Itu Tylenol: Obat yang Diklaim Donald Trump Bisa Bikin Autis
-
Mengenal Osteosarcoma, Kanker Tulang Ganas yang Mengancam Nyawa Anak dan Remaja
-
Viral Guyonan Lelaki Manja saat Sakit, Dokter Saraf Bongkar Fakta Toleransi Nyeri
-
Bukan Cuma Pekerja, Ternyata Orang Tua juga Bisa Burnout karena Masalah Membesarkan Anak
-
Benarkah Diet Keto Berisiko untuk Kesehatan? Ini Jawaban Ahli
-
Tren Mengkhawatirkan! Mengapa Kasus Kanker pada Anak Muda Meningkat?
-
Gaya Hidup Higienis: Kebiasaan Kecil yang Berdampak Besar bagi Tubuh