Pengamat komunis di Indonesia, Alfian Tanjung, mendeklarasikan Barisan Ganyang Komunis Indonesia di Gedung Gerakan Pemuda Islam Indonesia, Jalan Menteng Raya, Jakarta Pusat, Jumat(3/6/2016). [suara.com/Nikolaus Tolen]
Pengamat gerakan komunis Indonesia Alfian Tanjung mendeklarasikan Barisan Ganyang Komunis Indonesia di Gedung Gerakan Pemuda Islam Indonesia, Jalan Menteng Raya, Jakarta Pusat, Jumat (3/6/2016). Dia mendesak pemerintah menegakkan peraturan perundang-undangan yang melarang penyebaran paham komunis, Marxis, dan Lenin.
"Pemberontakan PKI tahun 1926, 1948, dan 1965 adalah fakta sejarah menjadi catatan hitam untuk gerakan PKI. Sejak reformasi 1998, PKI menunjukkan eksistensi dan gerakannya dalam upaya membangkitkan PKI melalui Infiltrasi, kerja di kalangan musuh, kaderisasi, agitasi dan propaganda, serta provokasi untuk melumpuhkan kalangan antikomunis," kata Alfian Tanjung.
Jaringan ganyang PKI yang berasal dari sejumlah daerah tersebut berkomitmen untuk melawan semua aktivitas yang berbau komunisme.
"Ini masih sebuah jaringan, kita bukan organisasi. Kita akan mengajak siapa saja, tidak hanya dari Islam yang tugasnya untuk melawan komunis," katanya.
Alfian Tanjung dan kawan-kawan menyatakan siap menertibkan semua atribut berbau PKI. Bahkan, semua aktivitas, seperti pemutaran film berbau penyebaran komunis juga akan mereka tertibkan.
"Kami akan menuntut pemerintah untuk melarang penayangan film-film yang mengarah pada ideologi komunis, di antaranya Senyap dan Pulau Buru Tanah Air Beta. Dan juga harus memblokir situs-situs yang menyebarkan paham komunis," kata Alfian.
Pembicaraan tentang PKI mengemuka lagi setelah berlangsung simposium nasional bertema Membedah Tragedi 1965 yang diselenggarakan di Hotel Aryaduta, Jakarta Pusat, pada Senin (18/4/2016) dan Selasa (19/4/2016). Ketua Panitia Pengarah Simposium Nasional Membedah Tragedi 1965 adalah Letjen (Purn) Agus Widjojo. Agus merupakan Gubernur Lemhanas. Simposium ini diprakarsai oleh Dewan Pertimbangan Presiden, Komnas HAM, Forum Solidaritas Anak Bangsa serta didukung Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum dan Keamanan Luhut Binsar Panjaitan.
Simposium tersebut semangatnya mendorong negara melakukan rekonsiliasi dengan korban peristiwa 1965.
Tak lama kemudian, muncul simposium baru yang semangatnya untuk menolak rekonsiliasi seperti yang diinginkan simposium di Aryaduta. Yakni, simposium nasional bertajuk Mengamankan Pancasila dari Ancaman Kebangkitan Partai Komunis Indonesia dan Ideologi yang diselenggarakan di Balai Sarbini, Jakarta, pada Rabu (1/6/2016) dan Kamis (2/6/2016). Simposium anti PKI ini diketuai Letnan Jenderal (Purn) TNI Kiki Syahnakri.
Wakil ketua DPR dari Fraksi Gerindra Fadli Zon menyalahkan pemerintah atas munculnya polemik kebangkitan PKI akhir-akhir ini. Fadli menilai pemerintah ikut terlibat mengangkat masalah yang sebenarnya sudah selesai.
"Yang membuat kekisruhan dari awal pemerintah, pemerintah mengangkat satu masalah yang sebenarnya sudah selesai," kata Fadli di gedung Nusantara III, DPR RI, Jakarta, Rabu (1/6/2016).
Menurut Fadli rekonsiliasi di tingkat masyarakat sudah terbangun sehingga pemerintah tidak perlu mencari-cari siapa yang menjadi korban dan siapa yang menjadi pelaku.
"Tidak perlu lagi rekonsiliasi yang mengangkat-angkat siapa yang menjadi korban, siapa yang menjadi pelaku," tutur Fadli.
"Karena saat itu, kan situasinya adalah chaos, kadang-kadang ada situasi antara membunuh dan dibunuh. Itu yang diceritakan, saya belum lahir," Fadli menambahkan.
Fadli mengatakan saat ini sudah tidak ada lagi diskriminasi terhadap mereka yang dicurigai sebagai terlibat PKI. Anak cucu mereka pun sudah diberikan keleluasaan mendapatkan hak sebagai warga negara Indonesia.
Berbeda di zaman Orde Baru yang memang membatasi hak orang-orang yang terindikasi sebagai anggota dan keluarga PKI.
"Jadi untuk apa? Toh tidak ada lagi diskriminasi terhadap mereka. Tidak ada lagi kematian perdata atau apa. Dulu, kan memang pernah suatu masa, di jaman Orde Baru mereka ditandai dengan eks tapol dan sebagainya. Tapi, kan sudah tidak ada, mereka mau ikut di DPR juga boleh, jadi sudah cair," tutur Fadli.
Menurut Fadli peristiwa 65 cukup dijadikan bagian dari sejarah dan diambil hikmahnya.
"Rekonsiliasi yang sudah cair lebih 50 tahun ini seharusnya ya sudah berjalan, kita ingat sebagai bagian dari pelajaran sejarah, diambil hikmahnya," kata Fadli.
Ketua Setara Institute Hendardi angkat bicara mengenai maraknya razia terhadap penggunaan simbol palu arit, menyusul sejumlah pelarangan terhadap kegiatan yang mempromosikan pengungkapan kebenaran peristiwa 1965 akhir-akhir ini.
Hendari menduga propaganda tentang kebangkitan PKI yang mengaitkan sejumlah kegiatan yang mempromosikan pengungkapan kebenaran peristiwa 1965, baik melalui film, diskusi, dan penerbitan buku, merupakan desain pihak-pihak yang tidak bertanggung jawab untuk mengadu domba masyarakat, menghalangi niat negara melakukan rekonsiliasi, dan membenarkan seluruh pembatasan dan persekusi kebebasan sipil.
Hendardi menambahkan penyebaran stigma PKI terhadap beberapa kegiatan telah membangkitkan kebencian orang pada upaya-upaya persuasif, dialogis, dan solutif bagi pemenuhan hak-hak korban peristiwa 1965.
"Agak ganjil ketika TNI dan Polri merasa confirm bahwa PKI akan bangkit, padahal mereka memiliki intelijen yang bisa memberikan informasi akurat perihal fenomena di balik berbagai pembatasan dan persekusi atas kebebasan berekspresi, berpendapat, dan berkumpul yang dalam tiga bulan terakhir terus terjadi," kata Hendardi kepada Suara.com, Rabu (11/5/2016).
Hendardi mengatakan kalangan awam pun sebenarnya ragu akan propaganda kebangkitan PKI, mengingat konstruksi ketatanegaraan Indonesia yang semakin demokratis.
Di sisi lain, kata dia, PKI sebagai sebuah partai juga mustahil bisa berdiri di Indonesia. Menurut dia, sikap TNI dan Polri yang turut mereproduksi propaganda tersebut menunjukkan bahwa intelijen mereka tidak bekerja.
"Atau bisa jadi justru pihak TNI adalah bagian dari kelompok yang melakukan penolakan atas upaya masyarakat sipil mendorong pengungkapan kebenaran. Situasi ini jelas tidak produktif bagi praktik demokrasi dan pemajuan HAM. Apalagi statement-statement Menhan RI misalnya, bukan malah menyejukkan, tapi malah menyebarkan kebencian dan memperkuat segregasi sosial," katanya.
Hendari menambahkan publik perlu tahu bahwa korban dari propaganda bukan hanya korban 1965, tetapi kebebasan sipil warga. Bahkan, mereka yang tidak membahas soal PKI pun dipersekusi dengan stigma yang sama.
"Jokowi sebaiknya segera bersikap soal rencana menyusun skema penuntasan pelanggaran HAM berat masa lalu, sehingga dinamika dan kohesi sosial tidak rusak akibat propaganda-propaganda yang tidak berdasar," kata Hendardi.
"Pemberontakan PKI tahun 1926, 1948, dan 1965 adalah fakta sejarah menjadi catatan hitam untuk gerakan PKI. Sejak reformasi 1998, PKI menunjukkan eksistensi dan gerakannya dalam upaya membangkitkan PKI melalui Infiltrasi, kerja di kalangan musuh, kaderisasi, agitasi dan propaganda, serta provokasi untuk melumpuhkan kalangan antikomunis," kata Alfian Tanjung.
Jaringan ganyang PKI yang berasal dari sejumlah daerah tersebut berkomitmen untuk melawan semua aktivitas yang berbau komunisme.
"Ini masih sebuah jaringan, kita bukan organisasi. Kita akan mengajak siapa saja, tidak hanya dari Islam yang tugasnya untuk melawan komunis," katanya.
Alfian Tanjung dan kawan-kawan menyatakan siap menertibkan semua atribut berbau PKI. Bahkan, semua aktivitas, seperti pemutaran film berbau penyebaran komunis juga akan mereka tertibkan.
"Kami akan menuntut pemerintah untuk melarang penayangan film-film yang mengarah pada ideologi komunis, di antaranya Senyap dan Pulau Buru Tanah Air Beta. Dan juga harus memblokir situs-situs yang menyebarkan paham komunis," kata Alfian.
Pembicaraan tentang PKI mengemuka lagi setelah berlangsung simposium nasional bertema Membedah Tragedi 1965 yang diselenggarakan di Hotel Aryaduta, Jakarta Pusat, pada Senin (18/4/2016) dan Selasa (19/4/2016). Ketua Panitia Pengarah Simposium Nasional Membedah Tragedi 1965 adalah Letjen (Purn) Agus Widjojo. Agus merupakan Gubernur Lemhanas. Simposium ini diprakarsai oleh Dewan Pertimbangan Presiden, Komnas HAM, Forum Solidaritas Anak Bangsa serta didukung Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum dan Keamanan Luhut Binsar Panjaitan.
Simposium tersebut semangatnya mendorong negara melakukan rekonsiliasi dengan korban peristiwa 1965.
Tak lama kemudian, muncul simposium baru yang semangatnya untuk menolak rekonsiliasi seperti yang diinginkan simposium di Aryaduta. Yakni, simposium nasional bertajuk Mengamankan Pancasila dari Ancaman Kebangkitan Partai Komunis Indonesia dan Ideologi yang diselenggarakan di Balai Sarbini, Jakarta, pada Rabu (1/6/2016) dan Kamis (2/6/2016). Simposium anti PKI ini diketuai Letnan Jenderal (Purn) TNI Kiki Syahnakri.
Wakil ketua DPR dari Fraksi Gerindra Fadli Zon menyalahkan pemerintah atas munculnya polemik kebangkitan PKI akhir-akhir ini. Fadli menilai pemerintah ikut terlibat mengangkat masalah yang sebenarnya sudah selesai.
"Yang membuat kekisruhan dari awal pemerintah, pemerintah mengangkat satu masalah yang sebenarnya sudah selesai," kata Fadli di gedung Nusantara III, DPR RI, Jakarta, Rabu (1/6/2016).
Menurut Fadli rekonsiliasi di tingkat masyarakat sudah terbangun sehingga pemerintah tidak perlu mencari-cari siapa yang menjadi korban dan siapa yang menjadi pelaku.
"Tidak perlu lagi rekonsiliasi yang mengangkat-angkat siapa yang menjadi korban, siapa yang menjadi pelaku," tutur Fadli.
"Karena saat itu, kan situasinya adalah chaos, kadang-kadang ada situasi antara membunuh dan dibunuh. Itu yang diceritakan, saya belum lahir," Fadli menambahkan.
Fadli mengatakan saat ini sudah tidak ada lagi diskriminasi terhadap mereka yang dicurigai sebagai terlibat PKI. Anak cucu mereka pun sudah diberikan keleluasaan mendapatkan hak sebagai warga negara Indonesia.
Berbeda di zaman Orde Baru yang memang membatasi hak orang-orang yang terindikasi sebagai anggota dan keluarga PKI.
"Jadi untuk apa? Toh tidak ada lagi diskriminasi terhadap mereka. Tidak ada lagi kematian perdata atau apa. Dulu, kan memang pernah suatu masa, di jaman Orde Baru mereka ditandai dengan eks tapol dan sebagainya. Tapi, kan sudah tidak ada, mereka mau ikut di DPR juga boleh, jadi sudah cair," tutur Fadli.
Menurut Fadli peristiwa 65 cukup dijadikan bagian dari sejarah dan diambil hikmahnya.
"Rekonsiliasi yang sudah cair lebih 50 tahun ini seharusnya ya sudah berjalan, kita ingat sebagai bagian dari pelajaran sejarah, diambil hikmahnya," kata Fadli.
Ketua Setara Institute Hendardi angkat bicara mengenai maraknya razia terhadap penggunaan simbol palu arit, menyusul sejumlah pelarangan terhadap kegiatan yang mempromosikan pengungkapan kebenaran peristiwa 1965 akhir-akhir ini.
Hendari menduga propaganda tentang kebangkitan PKI yang mengaitkan sejumlah kegiatan yang mempromosikan pengungkapan kebenaran peristiwa 1965, baik melalui film, diskusi, dan penerbitan buku, merupakan desain pihak-pihak yang tidak bertanggung jawab untuk mengadu domba masyarakat, menghalangi niat negara melakukan rekonsiliasi, dan membenarkan seluruh pembatasan dan persekusi kebebasan sipil.
Hendardi menambahkan penyebaran stigma PKI terhadap beberapa kegiatan telah membangkitkan kebencian orang pada upaya-upaya persuasif, dialogis, dan solutif bagi pemenuhan hak-hak korban peristiwa 1965.
"Agak ganjil ketika TNI dan Polri merasa confirm bahwa PKI akan bangkit, padahal mereka memiliki intelijen yang bisa memberikan informasi akurat perihal fenomena di balik berbagai pembatasan dan persekusi atas kebebasan berekspresi, berpendapat, dan berkumpul yang dalam tiga bulan terakhir terus terjadi," kata Hendardi kepada Suara.com, Rabu (11/5/2016).
Hendardi mengatakan kalangan awam pun sebenarnya ragu akan propaganda kebangkitan PKI, mengingat konstruksi ketatanegaraan Indonesia yang semakin demokratis.
Di sisi lain, kata dia, PKI sebagai sebuah partai juga mustahil bisa berdiri di Indonesia. Menurut dia, sikap TNI dan Polri yang turut mereproduksi propaganda tersebut menunjukkan bahwa intelijen mereka tidak bekerja.
"Atau bisa jadi justru pihak TNI adalah bagian dari kelompok yang melakukan penolakan atas upaya masyarakat sipil mendorong pengungkapan kebenaran. Situasi ini jelas tidak produktif bagi praktik demokrasi dan pemajuan HAM. Apalagi statement-statement Menhan RI misalnya, bukan malah menyejukkan, tapi malah menyebarkan kebencian dan memperkuat segregasi sosial," katanya.
Hendari menambahkan publik perlu tahu bahwa korban dari propaganda bukan hanya korban 1965, tetapi kebebasan sipil warga. Bahkan, mereka yang tidak membahas soal PKI pun dipersekusi dengan stigma yang sama.
"Jokowi sebaiknya segera bersikap soal rencana menyusun skema penuntasan pelanggaran HAM berat masa lalu, sehingga dinamika dan kohesi sosial tidak rusak akibat propaganda-propaganda yang tidak berdasar," kata Hendardi.
Komentar
Berita Terkait
-
AJI Kecam Pengusiran Jurnalis Saat Meliput Simposium Anti-PKI
-
Kivlan: Kita Sudah Laporkan PKI ke Polisi-TNI, Ah, Luhut Gimana
-
Setelah Diusir, Wartawan Rappler Kuliahi FPI soal Sejarah PKI
-
Kivlan Zen Klaim Orangnya Ikut Kongres PKI Pimpinan Wahyu S
-
Kivlan Zein: Luhut, Hati-hati Ngomong, Jangan Sok Jadi Presiden
Terpopuler
- Media Belanda Heran Mauro Zijlstra Masuk Skuad Utama Timnas Indonesia: Padahal Cadangan di Volendam
- Pengamat Desak Kapolri Evaluasi Jabatan Krishna Murti Usai Isu Perselingkuhan Mencuat
- Anak Wali Kota Prabumulih Bawa Mobil ke Sekolah, Padahal di LHKPN Hanya Ada Truk dan Buldoser
- Profil Ratu Tisha dan Jejak Karier Gemilang di PSSI yang Kini Dicopot Erick Thohir dari Komite
- Harta Kekayaan Wali Kota Prabumulih, Disorot usai Viral Pencopotan Kepala Sekolah
Pilihan
-
Kemiskinan dan Ketimpangan Ekonomi RI Seperti Lingkaran Setan
-
Core Indonesia Sebut Kebijakan Menkeu Purbaya Suntik Rp200 Triliun Dinilai Salah Diagnosis
-
When Botanies Meets Buddies: Sporadies Meramban Bunga Jadi Cerita
-
Ternyata Ini Rahasia Kulit Cerah dan Sehat Gelia Linda
-
Kontras! Mulan Jameela Pede Tenteng Tas Ratusan Juta Saat Ahmad Dhani Usulkan UU Anti Flexing
Terkini
-
Buka Peluang Periksa Menhut Raja Juli dan Eks Menteri LHK Siti Nurbaya, KPK Ungkap Alasannya!
-
Usai Periksa Dirjen PHU Kemenag, KPK Akui Kejar Juru Simpan Hasil Korupsi Kuota Haji
-
Nyesek! Disita KPK dari Ustaz Khalid Basalamah Terkait Korupsi Haji, Uang Jemaah Tak Bisa Kembali?
-
KPK Ungkap Kasus Kredit Fiktif BPR Jepara Artha Rugikan Negara Hingga Rp 254 Miliar
-
Reno dan Farhan Masih Hilang, KemHAM: Jangan Buru-buru Disebut Korban Penghilangan Paksa!
-
Mardiono Didukung Jadi Caketum PPP Jelang Muktamar X, Amir Uskara Komandoi Tim Relawan Pemenangan
-
Terkuak! Alasan Ustaz Khalid Basalamah Cicil Duit Korupsi Haji ke KPK
-
Periksa Dirjen PHU Hampir 12 Jam, KPK Curiga Ada Aliran Uang Panas dari Kasus Korupsi Kuota Haji
-
Mardiono Tanggapi Munculnya Calon Ketum Eksternal: PPP Punya Mekanisme dan Konstitusi Baku
-
Solidaritas Komunitas Kripto, Salurkan Bantuan Logistik untuk Korban Banjir di Bali