Suara.com - Aktivis sekaligus buruh PT Catur Putra Surya (CPS) di Porong, Sidoarjo, Jawa Timur yakni Marsinah ditemukan tewas mengenaskan di hutan di Dusun Jegong, Wilangan, Nganjuk, Jawa Timur. Jasadnya ditemukan tepat hari ini 8 Mei 1993 atau 26 tahun silam, usai melakukan aksi demo menuntut kenaikan upah.
Kematian Marsinah hingga kini masih menyisakan misteri yang belum terpecahkan. Sebelum ditemukan tewas, Marsinah memimpin aksi demonstrasi buruh PT CPS. Mereka menuntut adanya kenaikan gaji dari Rp 1.700 menjadi Rp 2.250 per hari sesuai dengan instruksi Gubernur KDH TK I Jawa Timur yang tertuang dalam Surat Edaran Nomor 50 Tahun 1992.
Pada 3 Mei 1993, sebanyak 150 buruh dari total 200 buruh yang bekerja di pabrik arloji itu melakukan aksi mogok kerja. Marsinah yang saat itu masih berusia 24 tahun berdiri di barisan terdepan menyuarakan hak-hak buruh yang selama ini tak pernah terpenuhi.
Aksi mogok kerja digelar selama dua hari. Di hari kedua, pihak manajemen perusahaan memanggil 15 orang perwakilan untuk melakukan mediasi. Meski mediasi berjalan alot, pihak perusahaan akhirnya mau memenuhi segala tuntutan yang diajukan oleh para buruh.
Diintimidasi Militer
Perjuangan Marsinah dan ratusan buruh lainnya untuk menyuarakan hak mereka memang menemui akhir bahagia: dikabulkan oleh perusahaan. kenaikan gaji pokok sebesar 20 persen sesuai peraturan telah disepakati oleh perusahaan akan dipenuhi.
Namun, kabar suka cita tersebut berujung pada pemanggilan 10 buruh PT CPS oleh militer. Mereka yang dipanggil merupakan para buruh yang paling lantang bersuara selama unjuk rasa berlangsung. Mengetahui hal itu, Marsinah pun datang mendampingi teman-temannya.
Dalam pertemuan itu dengan perwira Kodim, para buruh diminta untuk mengundurkan diri dengan alasan tenaga mereka sudah tak dibutuhkan lagi oleh perusahaan. Meski berada di bawah ancaman, Marsinah tak gentar.
Dari pertemuan tersebut, parsas buruh pun membubarkan diri. Buruh lainnya memutuskan untuk pulang ke kediaman masing-masing sementara Marsinah pamit untuk makan.
Baca Juga: Prabowo Terima Data Penghitungan Suara, BPN Akan Ekspose Senin Depan
Tak disangka, ternyata itu adalah pertemuan terakhir para buruh dengan Marsinah. Sejak malam itu, Marsinah menghilang selama 3 hari.
Luka Di Sekujur Tubuh
Absennya Marsinah bekerja di pabrik arloji membuat rekan-rekan buruh gusar. Awalnya, mereka menduga Marsinah izin pulang ke kampung halamannya di Nganjuk.
Selama tiga hari Marsinah menghilang, rekan-rekan buruh berusaha mencari keberadaan Marsinah. Pada 8 Mei 1993 pagi, mereka dikejutkan dengan kabar Marsinah ditemukan tewas dengan kondisi penuh luka di hutan kawasan Nganjuk.
Jasad Marsinah dibawa ke RUmah Sakit Umum Daerah Nganjuk untuk dilakukan autopsi. Dari hasil visum et repertum yang dilakukan, ada luka robek teratur sebanjang 3 sentimeter di tubuh Marsinah. Luka tersebut ditemui mulai dari dinding kiri lubang kemaluan hingga ke rongga perut.
Tulang panggul bagian depan hancur dan di dalam tubuhnya ditemukan serpihan tulang. Tak hanya itu, selaput dara Marsinah robek, kantung kemih dan usus bawah mengalami memar hingga rongga perut mengalami pendarahan.
Usai dimakamkan, makam Marsinah kembali dibongkar untuk dilakukan autopsi ulang. Dari otopsi yang dilakukan oleh tim dokter RSUD Dr. Soetomo Surabaya, hasil autopsi menunjukkan hal yang sama dengan sebelumnya.
Pembunuhan Tak Terungkap
Hingga kini, kasus pembunuhan terhadap Marsinah belum juga dapat terbongkar. Aparat membentuk tim terpadu dan mencokok 8 orang petinggi PT CPS. Penangkapan ini dinilai menyalahi proses hukum lantaran dilakukan tanpa surat penangkapan.
Mereka disiksa untuk mengakui telah melakukan skenario pembunuhan terhadap Marsinah. Pemilik PT CPS Yudi Susanto ikut dibekuk. Setelah 18 hari berlalu, petinggi PT CPS baru diketahui sudah mendekam di Polda Jatim.
Yudi Susanto divonis 17 tahun penjara sementara staf lainnya mendapatkan vonis beragam mulai dari 4 hingga 12 tahun. Saat proses naik banding di Pengadilan Tinggi Yudi dinyatakan bebas.
Di tingkat kasasi, Mahkamah Agung membebaskan para terdakwa dari segala dakwaan atau bebas murni. Banyak pihah yang menyayangkan hal tersebut dan menduga adanyaa rekayasa penyelidikan.
Setelah 26 tahun berlalu, kasus Marsinah belum juga bisa terungkap. Dalang di balik pembunuhan Marsinah belum diketahui. Perjuangan Marsinah dalam melawan ketidakadilan pun kini menjadi sejarah, ia disebut sebagai pahlawan buruh.
Berita Terkait
Terpopuler
- Media Belanda Heran Mauro Zijlstra Masuk Skuad Utama Timnas Indonesia: Padahal Cadangan di Volendam
- Anak Wali Kota Prabumulih Bawa Mobil ke Sekolah, Padahal di LHKPN Hanya Ada Truk dan Buldoser
- Harta Kekayaan Wali Kota Prabumulih, Disorot usai Viral Pencopotan Kepala Sekolah
- Profil Djamari Chaniago: Jenderal yang Dulu Pecat Prabowo, Kini Jadi Kandidat Kuat Menko Polkam
- Profil Wali Kota Prabumulih: Punya 4 Istri, Viral Usai Pencopotan Kepsek SMPN 1
Pilihan
-
Kemiskinan dan Ketimpangan Ekonomi RI Seperti Lingkaran Setan
-
Core Indonesia Sebut Kebijakan Menkeu Purbaya Suntik Rp200 Triliun Dinilai Salah Diagnosis
-
When Botanies Meets Buddies: Sporadies Meramban Bunga Jadi Cerita
-
Ternyata Ini Rahasia Kulit Cerah dan Sehat Gelia Linda
-
Kontras! Mulan Jameela Pede Tenteng Tas Ratusan Juta Saat Ahmad Dhani Usulkan UU Anti Flexing
Terkini
-
Tito Karnavian: Satpol PP Harus Humanis, Bukan Jadi Sumber Ketakutan
-
Wamenkum Sebut Gegara Salah Istilah RUU Perampasan Aset Bisa Molor, 'Entah Kapan Selesainya'
-
'Abuse of Power?' Kemendagri Sebut Wali Kota Arlan Langgar Aturan Copot Kepala SMP 1 Prabumulih
-
Strategi Baru Senayan: Mau RUU Perampasan Aset Lolos? UU Polri Harus Direvisi Dulu
-
Misi Penyelamatan Pekerja Tambang Freeport Berlanjut, Ini Kabar Terbarunya
-
Buntut Aksi Pemukulan Siswa ke Guru, Dikeluarkan Sekolah dan Ayah yang Polisi Terancam Sanksi
-
Perkuat Pertahanan Laut Indonesia, PLN dan TNI AL Jalin Kolaborasi
-
Korban Pemerkosaan Massal '98 Gugat Fadli Zon: Trauma dan Ketakutan di Balik Penyangkalan Sejarah
-
Pengamat: Dasco Punya Potensi Ubah Wajah DPR Jadi Lebih 'Ramah Gen Z'
-
Cuma Minta Maaf Usai Ditemukan Polisi, Kejanggalan di Balik Hilangnya Bima Permana Putra