Suara.com - Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) resmi mengajukan banding terhadap putusan Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Jakarta dengan terdakwa anggota Komisi II DPR dari Fraksi Partai Golkar 2009-2014 Markus Nari.
"KPK telah menyampaikan secara resmi langkah untuk melakukan banding terhadap putusan Pengadilan Tindak Pidana Korupsi dengan terdakwa Markus Nari," ucap Juru Bicara KPK Febri Diansyah di Jakarta, Selasa.
Pada prinsipnya, kata Febri, pertimbangan banding dilakukan agar uang hasil korupsi dapat kembali ke masyarakat secara maksimal melalui mekanisme uang pengganti.
"Karena dalam putusan Pengadilan Tipikor tersebut, tuntutan uang pengganti yang dikabulkan baru berjumlah 400 ribu dolar AS. Uang ini merupakan uang yang diduga diterima terdakwa dari Andi Narogong di dekat TVRI Senayan," kata Febri.
Sedangkan dugaan penerimaan lain, lanjut Febri, yaitu 500 ribu dolar AS saat ini tidak diakomodasi dalam putusan tingkat pertama tersebut.
Ia menyatakan bahwa Jaksa Penuntut Umum KPK cukup meyakini dugaan penerimaan dari Andi Narogong selaku koordinator pengumpul fee proyek KTP-elektronik melalui keponakan Setya Novanto bernama Irvanto Hendra Pambudi Cahyo di ruang Rapat Fraksi Golkar tersebut terbukti di pengadilan.
"Oleh karena itu, KPK mengajukan banding karena KPK cukup meyakini, seharusnya terdakwa terbukti menerima 900 ribu dolar AS atau setara lebih dari Rp12 miliar sehingga uang tersebut diharapkan nantinya dapat masuk ke kas negara," ungkap dia.
Selain itu, kata dia, KPK tentu juga berharap penanganan kasus korupsi KTP-elektronik tersebut dapat membongkar secara maksimal bagaimana persekongkolan aktor politik dan birokrasi dalam "mengondisikan" sejak awal proyek triliunan rupiah tersebut sejak tahap penyusunan anggaran, perencanaan proyek hingga implementasi.
"Apalagi KTP elektronik adalah sesuatu yang sangat vital bagi administrasi kependudukan dan merupakan kepentingan seluruh masyarakat Indonesia. Oleh karena itu, dukungan dari semua pihak untuk pekerjaan panjang ini sangat dibutuhkan," ujar Febri.
Baca Juga: Ada Sosok Carmuk ke Jokowi soal Presiden 3 Periode, Ini Kata Fadli Zon
Sebelumnya, Markus telah divonis enam tahun penjara karena terbukti memperoleh 400 ribu dolar AS dari proyek KTP elektronik dan menghalang-halangi pemeriksaan perkara KTP elektronik di persidangan.
Vonis itu dibacakan ketua majelis hakim Franky Tumbuwun di pengadilan Tindak Pidana Korupsi, Jakarta, Senin (11/11). Selain itu, Markus juga diminta untuk membayar uang pengganti sebesar 400 ribu dolar AS.
Majelis hakim yang terdiri dari Franky Tumbuwun, Emilia Djadjasubagdja, Rosmina, Anwar, dan Sukartono itu juga menuntut pencabutan hak politik Markus.
"Menjatuhkan pidana tambahan berupa pencabutan hak terdakwa untuk menduduki dalam jabatan publik selama 5 tahun terhitung sejak terdakwa selesai menjalani hukuman pemidanaan," kata Tumbuwun.
Putusan itu lebih rendah dibanding tuntutan jaksa penuntut umum KPK yang meminta agar Markus divonis 9 tahun penjara ditambah denda Rp500 juta subsider 6 bulan kurungan ditambah kewajiban membayar uang pengganti sebesar 900 ribu dolar AS. (Antara)
Berita Terkait
-
Sri Mulyani Geram Banyak Pejabat Nyambi Jadi Makelar
-
KPK Periksa Ajudan Wali Kota Medan Kasus Suap Proyek Tahun 2019
-
Sri Mulyani Sebut Kemenkeu Sudah 15 Tahun Perangi Korupsi, Hasilnya?
-
Dugaan Korupsi Jiwasraya Disebut-sebut Dilakukan Manajemen Lama
-
Mundur sebagai Penasihat KPK, Tsani: Bukan untuk Provokasi Pegawai
Terpopuler
- Selamat Datang Elkan Baggott Gantikan Mees Hilgers Bela Timnas Indonesia, Peluangnya Sangat Besar
- KPK: Perusahaan Biro Travel Jual 20.000 Kuota Haji Tambahan, Duit Mengalir Sampai...
- Jangan Ketinggalan Tren! Begini Cara Cepat Ubah Foto Jadi Miniatur AI yang Lagi Viral
- Hari Pelanggan Nasional 2025: Nikmati Promo Spesial BRI, Diskon Sampai 25%
- Maki-Maki Prabowo dan Ingin Anies Baswedan Jadi Presiden, Ibu Jilbab Pink Viral Disebut Korban AI
Pilihan
-
Media Lokal: AS Trencin Dapat Berlian, Marselino Ferdinan Bikin Eksposur Liga Slovakia Meledak
-
Rieke Diah Pitaloka Bela Uya Kuya dan Eko Patrio: 'Konyol Sih, tapi Mereka Tulus!'
-
Dari Anak Ajaib Jadi Pesakitan: Ironi Perjalanan Karier Nadiem Makarim Sebelum Terjerat Korupsi
-
Nonaktif Hanya Akal-akalan, Tokoh Pergerakan Solo Desak Ahmad Sahroni hingga Eko Patrio Dipecat
-
Paspor Sehari Jadi: Jurus Sat-set untuk yang Kepepet, tapi Siap-siap Dompet Kaget!
Terkini
-
Terungkap! Rontgen Gigi Hingga Tato Bantu Identifikasi WNA Korban Helikopter Kalsel
-
Misteri Dosen UPI Hilang Terpecahkan: Ditemukan di Lembang dengan Kondisi Memprihatinkan
-
Dugaan Badai PHK Gudang Garam, Benarkah Tanda-tanda Keruntuhan Industri Kretek?
-
Israel Bunuh 15 Jurnalis Palestina Sepanjang Agustus 2025, PJS Ungkap Deretan Pelanggaran Berat
-
Mengenal Tuntutan 17+8 yang Sukses Bikin DPR Pangkas Fasilitas Mewah
-
IPI: Desakan Pencopotan Kapolri Tak Relevan, Prabowo Butuh Listyo Sigit Jaga Stabilitas
-
Arie Total Politik Jengkel Lihat Ulah Jerome Polin saat Demo: Jangan Nyari Heroiknya Doang!
-
Sekarang 'Cuma' Dapat Rp65,5 Juta Per Bulan, Berapa Perbandingan Gaji DPR yang Dulu?
-
SBY: Seni Bukan Hanya Indah, Tapi 'Senjata' Perdamaian dan Masa Depan Lebih Baik
-
Hartanya Lenyap Rp 94 Triliun? Siapa Sebenarnya 'Raja Kretek' di Balik Gudang Garam